“Baiklah-baiklah. Sebentar lagi roti kesukaan kamu matang. Kamu duduk dulu,” ucap Kakek. “Devian kenapa kamu tidak bilang pada kakek? kakek bisa mengirimkannya ke rumah kalian.” Devian menggeleng. “Biar saja kek, dia belum tahu kalau toko ini akan ditutup. Jadi biarkan saja dia datang ke sini untuk yang terakhir kali.” Tak lama berbincang dengan kakeknya, Devian menyusul istrinya yang duduk di samping jendela. Kakek mengangguk. Dari awal Devian dengan kakeknya sudah berbicara tentang toko roti yang akan dibuat skala lebih besar. Yang artinya toko roti yang kecil ini harus segera ditutup untuk membuka toko roti yang lebih besar. “Dulu kamu sering dilihat perempuan di kasir itu.” Irene menunjuk kasir yang berisi seorang wanita. “Aku dulu terkenal. Banyak perempuan yang datang karena ingin bertemu denganku, bukan hanya membeli roti.” Devian mengucapkannya dengan percaya diri sekali. Irene berdecak pelan. “Kamu sengaja tebar pesona. Kamu senang pasti dulu.” Devian menggeleng
“Tok tok!” Devian mendongak. “Masuk.” Seorang laki-laki masuk. Edo adalah sekretarisnya. “Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda.” “Namanya Siska mantan pegawai anda.” “Suruh masuk.” Devian menghela nafas. “Ada apa lagi dengannya.” Akhirnya seorang perempuan masuk ke dalam ruangan Devian. Perempuan yang sempat menjadi mainan Devian yang pada akhirnya dibuang begitu saja. Devian menyesal, sungguh. Jika dia bisa memutar waktu dia tidak akan menyakiti banyak hati wanita. “Apa yang ingin kau bicarakan denganku?” tanya Devian. Siska mendekat. “Sir saya ingin bekerja di sini. Saya tidak masalah saya tidak tempatkan di mana saja. Yang penting saja bekerja di sini, Sir karena saya tidak dipecat di sana.” Devian mengernyit. “Kau dipecat?” “Iya, Sir. Direktur yang baru tidak menginginkan saya sehingga saya langsung dipecat. Awalnya saya ditawari untuk bekerja sebagai staff biasa dengan syarat saya menjadi simpanan manajer, saya tidak mau Sir. Saya tidak mau bekerja di sana.”
Hari ini tiba-tiba saja Irene ingin pergi belanja perlengkapan melahirkan bersama sahabatnya. Irene bersama Helena memasuki sebuah mall terbesar di kota. Mereka berjalan dengan lancar. “Apakah kau sudah tahu bayinya perempuan atau laki-laki?” tanya Helena. Irene menggeleng. “Belum. Ini masih terlalu awal sebenarnya.” “Tidak masalah. Kalau begitu cari warna yang netral saja.” Helena mengajak Irene masuk ke dalam sebuah toko pakaian bayi. Di sanalah merea membeli banyak pakaian untuk bayi Irene. Setelah menghabiskan banyak waktu berkeliling di mall, mereka memutuskan untuk pergi ke sebuah restoran terdekat. “Bukankah itu suamimu?” tanya Helena saat melihat Devian bersama seorang perempuan cantik. “Tapi dengan siapa? Sekretarisnya?” “Setahuku sekretaris Devian itu laki-laki.” Irene menatap Devian yang berada di samping seorang perempuan. Di hadapan mereka ada seorang pria yang sepertinya rekan bisnis. Irene mengernyit. Irene menarik Helena untuk duduk di bangku yang sedikit lebih
Helena mengerjap. “Maka dari itu aku tidak memberitahunya supaya dia tidak marah. Lagupula nanti aku akan bertobat. Saat kita menikah nanti, aku tidak akan bermain-main seperti itu lagi. Aku akan fokus menjaga anak kita di rumah.” Perdebatan dimulai. Irene menggeleng pelan. Ada Helena dan Devian, pasti ada juga perdebatan. Helena yang tidak suka mengalah, sedangkan Devian yang suka memancing keributan. “Bulshit.” Devian menggeleng. ia teringat sesuatu. “Jangan bilang kau pergi ke klub dengan Royce!” tuduhnya. “Astaga.” “Bagaimana kau tahu..” lirih Helena tidak percaya. “Jika belum selesai dengan masa lalumu, jangan memulai hubungan baru dengan orang lain. Kau akan menyesal, kau akan merasa bersalah nanti,” ucap Devian dengan sungguh-sungguh. “Kasihan pacarmu yang sekarang, dia menyukaimu dan kau malah pergi dengan pria lain saat dia sedang tugas.” Helena mengerjap. “Aku bingung.” Menutup wajahnya dengan tiba-tiba. Kemudian menangis. “Kalian tahu kan hatiku ini sangat lemah d
Devian tidak mengira akan menjadi sangat sibuk setelah mendirikan perusahaan sendiri. Apalagi ia belum mempunyai banyak pegawai yang membantunya. Jam 10 malam, seharusnya ia sudah bersama istrinya di rumah. Namun dirinya masih berkutat dengan dokumen. Ia sudah memberitahu Irene untuk tidak menunggunya. [Irene sayang, jangan menungguku. Aku ada banyak pekerjaan. Kamu langsung tidur saja ya.] [Iya, jangan terlalu larut pulangnya. Kamu juga butuh istirahat] Seperti itulah. Hingga pukul 11 malam. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi. Kemudian berdiri dan berjalan keluar. “Kenapa kau masih di sini?” tanya Devian. Ia berhenti saat meliha Siska yang masih berada di bangku sekretaris. Bahkan komputernya masih menyala. “Jangan bilang kau menungguku?” tanya Devian. Siska menggeleng. “Edo baru saja menghubungi saya, katanya dia masih sakit dan tidak bisa bekerja besok. Jadi saya membereskan pekerjaan untuk besok supaya tidak terlalu keteteran. Apalagi jadwal anda yang masih belum dijadwal
Irene terbangun lebih dulu. Ia menatap pakaian mereka yang berserakan di lantai. Irene mengambil kemeja Devian yang berwarna biru. Namun ada satu goresan yang berwarna merah. Nodanya samar dan tidak terlalu jelas. Namun Irene yakin itu adalah noda merah dari lipstik. Irene mengambilnya—mencium aromanya namun tidak menghasilkan apapun. Irene menghela nafas. “Sayang kenapa kamu bangun pagi-pagi?” Devian menyibak selimut. Dengan keadaan yang masih telanjang memeluk tubuh Irene dari belakang. “Ini apa? Kenapa ada noda lipstik di kemeja kamu?” tanya Irene. Devian mengambilnya. Ia melihat noda yang tercetak samar di kemejanya. “Ini..” “Noda apa? Jelaskan padaku kenapa ada lipstik di kemeja kamu? Kamu bilang kamu tidak bersama wanita lain tapi ini apa?” Devian menghela nafas. “Irene aku mohon kamu jangan berpikiran buruk dulu. Aku bisa menjelaskannya.” Devian memegang bahu Irene. “Jadi kemarin aku ada rapat evaluasi, dan pakaianku berantakan. Akhirnya Siska membantuku merapikan d
“Sialan!” teriak Devian mengusap rambutnya. “Maaf, Sir.” “Bukan salahmu.” Devian memang tidak langsung menyusul Irene karena setelah ini ia masih ada rapat dan bertemu dengan para pemegang saham perusahaannya. Devian menatap jendela, di sanalah ia melihat mobil Irene pergi dari area parkiran. Ia akan mengawasi Irene melalui GPS yang sudah terpasang di ponsel Irene. Jadi ia bisa memantau ke mana Irene pergi. ~~ Irene tidak punya tujuan. Ia tidak punya keluarga. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke makam ibu dan suadar kembarnya. Irene bersimpuh di makam ibunya. “Mom… Irene rindu mom. Irene rindu Iresh juga.” Irene mengusap batu nisan ibunya. “Lihat Irene dari jauh ya. Irene akan berusaha kuat. Irena akan jadi ibu yang baik seperti Mom.” Ia kemudian beralih ke makam saudara kembarnya. “Iresh, sebentar lagi kau menjadi uncle. Aku harap kau bisa melihatku dan anakku di atas sana. Iresh aku juga merindukanmu…” Irene mengusap batu nisan. Irene menunduk—menangis dengan sese
Giselle ragu. “Seharusnya Devian yang memberitahu kamu sendiri Irene. Mom yakin Devian akan menceritakan sendiri. Mom takut terlalu ikut campur dalam hubungan kalian.” “Tadi Irene melihatnya menggendong sekretarisnya sendiri Mom. Irene juga menemukan kemeja Devian ada jejak lipstik berwarna merah. Irene tidak bisa berpikiran jernih saat ini. Irene takut kenyataannya sesuai dengan pikiran Irene.” Giselle mendekat. Mengusap pipi menantunya itu yang sudah basah. “Satu yang bisa Mom pastikan. Devian itu sangat mencintai kamu. Dari dulu hingga sekarang. dari dulu kalian masih di SMA. Cinta dia cuma untuk kamu, Irene.” “Bicarakan masalah kalian baik-baik.” Giselle menuntuk Irene untuk duduk di ranjang. “Tidurlah. Mom akan di sini.” Akhirnya Irene tidur ditemani oleh ibu mertuanya. Giselle mengusap bahu Irene lembut agar lebih nyaman. “Kamu harus tahu, Devian tidak pernah melupakan kamu. Dari dulu kalian masih SMA sampai sekarang.” Irene menutup mata sambil mendengarkan ucapan Gisel