Halo salam kenal, saya Indah Riera. Shirea series merupakan karya pertama saya di Goodnovel. Makasih banyak udah mengikuti kisah ini sampai book 2 dan makasih banyak juga buat supportnya selama ini. Semoga kisah ini bisa selalu dinikmati oleh pecinta genre fantasi bertema kerajaan. Jangan lupa bintangnya supaya karya ini tidak tenggelam hehe.. ^^ Karya yang akan publish berikutnya adalah kisah Pangeran dari kerajaan Vainea yang bernama Rein (anak dari Selena dan Azura). Di epilog kisah ini sendiri timeline-nya sudah 15 tahun kemudian, yang berarti dua tokoh kesayangan kita di sini sudah tiada (janji ga nangis ya) dan untuk (couple bocil) Pangeran Hans dan Putri Helena pun akhirnya mereka sama-sama sudah dewasa, begitu pun dengan Putri Erina yang udah jadi penasehatnya Rein di istana. Rein sendiri juga memiliki masalah hidup yang berat seperti orang tuanya. Penasaran? Yukk nantikan Shirea book 3 yang berujudul REIN. Sampai jumpa lagi.. ^^
"Erick awas!!"Sebuah cahaya melesat menghantam wanita yang mendorong tubuh pria di hadapannnya dan-lagi-lagi aku terbangun dengan tubuh berkeringat setelah itu. Aku tahu itu hanya mimpi, tapi aku tidak tahu kenapa mimpi itu selalu mendatangiku. Mimpi tentang wanita itu--Putri Mahkota, yang selalu kukagumi.Aku menjuntaikan kaki ke lantai dengan rambut acak-acakan untuk meneguk segelas air. Cahaya malam menembus jendela hingga ruanganku begitu temaram. Di sudut ruangan kutatap sebuah papan besar yang ditutup kain, kemudian perlahan kubuka penutup itu.Jemariku mulai menyusuri wajah wanita yang berdiri anggun di dalam sana dengan pakaian kebesaran khas Putri Mahkota Axylon. Wajah yang begitu natural dengan riasan yang paling sederhana untuk seukuran Putri agung sepertinya."Tuan Putri," gumamku pada lukisan di hadapanku. "Akhir-akhir ini aku selalu memimpikanmu. Aku tidak mengerti kenapa bisa seperti itu. Apa karena aku selalu mengagumimu dan mengidolakanmu?"Aku menyentuh lukisan itu
Aku melangkah di lorong temaram menuju ruang baca. Ini adalah hari ketiga setelah Tuan Fredy datang dan aku tak menyangka jika Raja Vainea akan mengirim surat secepat ini, seolah-olah perdamaian ini tak ingin ditunda.Namun disisi lain aku masih kebingungan dengan persiapanku mengingat aku diminta berkunjung sesegera mungkin. Aku menggelengkan kepala untuk menyingkirkan beberapa pikiran yang bergelayut di kepala dan jujur saja ini membuatku sedikit frustrasi.Langkahku terhenti ketika mataku tak sengaja melihat sosok wanita berjalan cepat dengan gelagat mencurigakan. Aku mengernyitkan dahi ketika aku memfokuskan pandanganku dan sepertinya—aku mengenali sosok itu.Tanpa pikir panjang, aku segera mengendap-endap untuk mengikutinya. Ya, tidak salah lagi itu adalah Ibu. Aku bisa melihat matanya menyusuri sekeliling seolah-olah mengawasi sesuatu dengan waspada, sementara aku terus bersembunyi perlahan-lahan.Tak lama, ia berhenti di depan lemari hias. Tangannya menyusuri deretan benda yang
Aku memeluk Helena sebelum keberangkatanku ke Vainea. Anak itu sudah tak sedih lagi dan aku sudah meminta maaf padanya karena membuatnya ketakutan. Saat ini ia justru mengkhawatirkanku dan bertanya kapan aku pulang sebanyak mungkin. Aku hanya tersenyum karena aku tahu dia pasti akan merindukanku.Aku menaiki kereta setelah melambaikan tangan pada Helena yang mengantarku sampai ke depan gerbang, sementara Ayah dan Ibu hanya memandangiku hingga kereta berangkat. Tatapan mereka juga terlihat cemas meskipun tetap dengan ekspresi wibawa mereka.Kereta kuda melaju, sementara aku hanya terdiam sambil menatap ke luar jendela. Sesekali aku menatap cincin Blue Saphire yang tak pernah kulepas dari jemariku, berkilau di bawah cahaya siang yang membuatnya terlihat indah dengan nuansa laut yang biru.Perjalanan kali ini, aku membawa sedikit pengawal. Meskipun sebelum ini sempat berdebat dengan Ayah, tapi pada akhirnya Ayah mengalah dan berkata 'Terserah'. Itu adalah hal yang membuatku lega karena a
Aku termangu ketika tiba di sebuah tebing dengan deburan ombak di bawahnya. Udara menyapu wajahku dengan sejuk dengan purnama menggantung di langit sendirian. Tak lama, Azura melepas ikatanku dan aku bisa bernapas lega."Kenapa kau membawaku kemari?" tanyaku tak mengerti."Melemparmu ke dasar laut," jawabnya sambil menuruni kuda.Aku tahu jawaban itu hanya candaan dingin darinya. Aku ikut turun dari kuda lalu menatap lepas hamparan gelap yang memantulkan sinar bulan layaknya cermin. Azura sudah duduk di atas rumput tanpa alas. Ditatapnya langit cerah di atas sana seolah-olah tak mempedulikan keberadaanku di sisinya."Apa...tidak masalah jika kita meningggalkan pesta?" tanyaku, masih memikirkan situasi di istana."Kalau ingin pulang, pulang saja sendiri," sahutnya dingin tanpa menoleh sama sekali.Aku terdiam sambil menahan diri untuk tak melempar batu ke kepalanya. Namun, sedetik kemudian aku tersenyum miring sambil berkata, "Baiklah, aku akan pulang. Jika kau ingin pulang juga, kau b
Tak lama kami sampai di sebuah pedesaan yang ramai. Aku yakin sekali ini bukan bagian dari wilayah Axylon, tapi sepertinya juga bukan bagian dari Vainea. Parahnya, aku tidak mengerti kenapa Azura membawaku ke tempat ini."Sebenarnya apa yang mau kau bicarakan sampai-sampai kau membawaku ke tempat ini?" tanyaku akhirnya, setelah saling diam selama perjalanan."Sepertinya kita butuh menginap malam ini."Aku langsung menoleh dengan mata menyipit. "Padahal aku bisa saja sampai di Axylon sebelum matahari terbenam."Ia melirikku sejenak kemudian menatap lagi kedepan. "Aku tidak tahu kemana akan membawamu, yang jelas aku butuh tempat untuk berbicara denganmu."Aku menghela sebal. "Bisakah kau langsung memberiku alasan sekarang juga agar aku bisa secepatnya kembali?""Kau tidak penasaran dengan kehidupan di luar wilayahmu?" bisiknya, kemudian memacu kudanya dengan kencang hingga aku tersentak. "Seharusnya kau berterima kasih karena mau mengajakmu bersenang-senang dengan caraku.""Jadi, inikah
Kali ini aku berada di sebuah arena tanding. Namun yang membuatku heran, tempat ini dihias dengan dekorasi pengantin. Melihat pemandangan sekitar, aku tahu bahwa aku—sedang bermimpi. Ya, aku yakin aku sedang bermimpi.Mataku menyusuri keadaan di sekitarku yang sudah tampak ramai para penonton dengan pakaian resmi dan gaun pesta, lalu tak lama aku melihat dua gadis muncul dengan memakai gaun pengantin yang elegan. Gadis itu—mendiang Putri Mahkota, tapi aku tak mengenali gadis satunya.Aku mengedarkan pandangan sekali lagi, berharap menemukan petunjuk dan tak lama, mataku menangkap sosok pria yang juga memakai baju pengantin."Putra Mahkota," gumamku, menatap sosok tegap duduk di tempat yang tinggi dan terpisah dengan posisi duduk Yang Mulia Raja.Aku kembali menatap dua gadis itu yang ternyata mereka sudah memegang pedang masing-masing dan bersiap untuk bertarung. Genderang berbunyi pertanda pertarungan dimulai. Aku mencoba memahami situasinya ketika melihat dua mempelai wanita beradu
Perjalanan masih berlanjut hingga hari menjelang sore. Derap kaki kuda memecah keheningan dan juga—dengkuran lirih Azura. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat di leherku. Sejujurnya salah satu pundakku mulai pegal menahan kepalanya, tapi aku tak ingin mengusiknya.Semakin lama, kini gantian aku yang dilanda kantuk. Pegal di pundak membuatku merasa lelah. Untungnya, Azura terbangun tak lama setelah itu. Ia menguap sejenak dan merenggangkan tubuhnya."Pantas saja perjalanan kita masih lumayan jauh, ternyata kau mengendarai kuda dengan lambat seperti ini?" celetuknya masih menguap.Aku yang mendengarnya sedikit sebal, pasalnya aku tidak ingin tidurnya terusik, tapi dia malah protes."Bagus lah kalau kau sudah bangun." Aku membuat kudaku berlari kencang setelah mendapat komentarnya."Kau langsung kesal hanya karena itu? Ck, sensitif sekali.""Berisik!" desisku, pasalnya aku juga mulai mengantuk. "Sekarang giliranmu. Aku butuh tidur."Kini tali kekang sudah berpindah tangan dan aku mula