Share

5. Undangan Pesta

"Kenapa kamu bisa ada di sini? Dan pakaianmu ... " tanya Ara menatap Ghazi bingung.

"Aku diajak oleh seseorang." jawab Ghazi melirik singkat kearah Willy. Willy yang melihat itupun terpaksa menghampiri keduanya. "Dia memintaku untuk menjadi modelnya." jelas Ghazi.

"Hi Nona, perkenalkan saya Willy, seorang fotografer." ucap Willy tersenyum memperkenalkan diri setelah ia sudah berada di dekat Ara.

"Oh iya, Arazea." sahut Ara menjabat tangan lelaki itu sedikit ragu.

"Suamimu ini, benar suamimu kan?" tanya Willy. Ara mengangguk. "Suamimu ini sangat tampan, jadi aku memintanya untuk berperan sebagai seorang CEO yang sedang ngopi santai, untuk mendapatkan beberapa foto yang bagus." jelasnya.

Diam-diam Ghazi tersenyum tipis melihat akting Willy yang sangat meyakinkan. Sungguh ia beruntung mendapatkan seorang asisten yang sangat cerdas serta tanggap dalam segala situasi--walau Ghazi sempat menangkap nada tak suka saat pria itu menyebutnya tampan.

Ara terdiam. Ia bingung harus merespon apa. Kalau dipikir-pikir, jarak antara rumah Ghazi dengan tempat ini sangatlah jauh. Mungkin butuh waktu sekitar satu jam perjalanan. Lalu bagaimana bisa kedua pria ini bertemu ketika Ghazi hanya berkeliling disekitar pedesaan? Rasanya itu sedikit janggal. Ghazi yang melihat keraguan dimata Ara pun langsung merogoh sakunya kemudian mengeluarkan beberapa lembar uang receh serta koin ke atas meja.

"Ini adalah hasil penjualan cilok hari ini. Saya beneran pergi keliling jualan Ra, dan nggak sengaja ketemu dia di jalan." ucap Ghazi meyakinkan. Willy nyaris melongo. Ia tak menyangka bahwa lelaki itu ternyata lebih siap dari dugaannya.

Ara yang sempat curiga langsung percaya. Awalnya ia berfikir bahwa Ghazi ini sebenarnya seorang pengusaha, tetapi melihat lelaki itu bahkan membawa uang receh yang lusuh, Ara tak lagi punya alasan untuk menuduh bahwa Ghazi berbohong. Karena kebanyakan pengusaha, bahkan orang biasa pun lebih suka menggunakan transaksi digital ketimbang harus membawa uang cash.

"Oke saya percaya. Tapi saya harus pergi sekarang, masih ada urusan." pamit Ara ketika ia mendapat notif dari sang asisten yang memintanya untuk kembali ke kantor. Ara berlalu pergi setelah ia menyalami sang suami kemudian mengangguk sopan kearah willy.

"Dari mana kamu dapat ini?" tanya Willy menunjuk uang yang ada di atas meja. Ghazi terdiam. Pikirannya kembali melayang ketika ia sempat ke kamar mandi dan melihat Ara yang tengah bersitegang dengan seseorang, ia pun menukar beberapa lembar uang ratusan kepada seorang pelayan yang ada di sana supaya bisa menghampiri sang istri tanpa harus berganti pakaian.

"Sulap." sahut Ghazi berjalan kembali ke meja mereka.

"Lalu sejak kapan kalian berdua dekat sampai bisa berpelukan?" tanya Willy mengikuti lelaki itu.

"Seorang perempuan yang tengah rapuh, hanya butuh sebuah pelukan untuk menenangkan. Itu yang Ara lakukan." ucap Ghazi.

Willy hanya diam mendengar jawaban pria itu. Ia bisa menyimpulkan bahwa Ara hanya reflek memeluk Ghazi untuk mencari ketenangan serta perlindungan sebab wanita itu sedang mengalami masalah dengan orang lain. Bukan pelukan atas dasar cinta atau hal semacamnya.

Ara yang kini sudah berada di dalam mobil, terlihat memukul stir di depannya berulang kali. Antara kesal karena proyeknya gagal, dan malu sebab kelepasan memeluk Ghazi ditempat umum. Ia menggigit bibir saat hatinya mulai resah.

"Kira-kira apa yang pria itu pikirkan sekarang? Jangan sampai ia mengira bahwa aku sudah menerima dan sudah mulai menyukainya. Ck! Kenapa sampai kelepasan sih Ara?" gerutu Ara kesal pada dirinya sendiri.

Saat Ara hendak melajukan mobilnya, ponselnya berdering tanda ada sebuah pesan masuk. Ia pun mengeceknya, dan ternyata itu adalah pesan dari sang om yang memintanya untuk bertemu. Karena tempatnya yang tak jauh dari posisi Ara sekarang, Ara memutuskan untuk menemui omnya terlebih dahulu.

Sepuluh menit perjalanan, Ara pun sampai disebuah Cafe yang tidak terlalu besar. Langsung saja ia menghampiri sang om yang terlihat tengah menikmati secangkir teh sendirian.

"Hi Om." sapa Ara duduk di depan pria paruh baya yang terlihat masih gagah diumurnya yang tak lagi muda.

"Hi Dear, bagaimana kabarmu?" tanyanya.

"Sangat baik. Om sendiri gimana?" sahut Ara berbohong tak mau membuat Abraham-Omnya-merasa khawatir.

Abraham ini adalah adik dari sang mama. Dulu, semua keluarga dari pihak Zelin tidak ada yang menyukai Ara dan cenderung menjauhinya kecuali Abraham yang masih mau memberinya kasih sayang. Entah apa alasannya Ara tidak tahu. Sampai Ara sukses pun para sepupunya tetap tidak mau melirik apalagi mengakui dirinya sebagai saudara.

"Ya seperti yang kamu lihat, om baik." ucapnya tersenyum.

"Syukur kalau begitu. Oh ya ada apa Om minta Ara datang kemari?" tanya Ara.

"Lusa adalah acara pertunangan anak om sekaligus hari anniversary om dan tante. Akan ada pesta besar, jadi kamu datang yah?" ujar Abraham.

Ara sempat terdiam ragu, tetapi pada akhirnya ia tetap mengangguk. "Aku akan datang." ucapnya. Abraham tersenyum lega, saat ia kembali ingin menyahut, ponselnya berbunyi membuat ia menjauh dari Ara yang kini merenung.

"Aku ajak Ghazi nggak yah? Apa yang akan dikatakan semua orang saat tahu bahwa suamiku hanya seorang penjual cilok?" cicit Ara. Sungguh ia tak siap jika harus dihina lagi seperti dulu.

Di tempat yang berbeda, seorang wanita paruh baya terlihat sedang bersantai dengan segelas wine yang tersaji di atas meja. Kaca besar yang menampilkan hiruk pikuk perkotaan tersaji tepat di depan mata. Mendengar langkah seseorang mendekat, ia meletakkan majalah yang tengah ia baca.

"Ada apa?" tanyanya tanpa menoleh.

"Dia telah menikah Nyonya, dan wanita yang--" Ucapannya terhenti saat melihat sang majikan mengangkat tangan singkat.

"Saya nggak peduli siapa wanita yang dia nikahi. Siapkan penerbangan ke Indonesia, saya akan pulang untuk menyambut menantu saya." ucapnya. Si pelayan mengangguk kemudian berlalu keluar.

"Anak ini sudah berani bertindak tanpa seizinku, lihat saja, sampai mana ia akan berusaha." lirihnya tersenyum tipis.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status