Share

Act. 01 Bangga

Anastazja menggebrak meja tempat menaruh sayur dengan kasar. "Kita tidak bisa diam saja! Ini sudah keterlaluan!" Amarahnya meluap hingga rasanya sesuatu dalam dirinya meledak tidak karuan. Pemandangan yang di badapannya kini bukanlah suatu pemandangan indah yang hangat seperti dalam lukisannya. 

Melihat barang dagangan Agacia, ibunya, tercecer ke segala tempat dengan kondisi rusak, isak tangis Agacia yang terdengar pilu juga kios kecilnya yang mengalami kerusakan di sana-sini membuat hatinya teriris-iris pedih. Niat hati, ia ingin memamerkan akan keberhasilannya pada keluarganya agar mereka semakin bersemangat dalam berdagang, apadaya, suasana lebih dulu rusak. 

"Ibu, tidak apa-apa, Bu. Aku akan menyelamatkan sayur dan buah yang masih bagus. Ibu tenang saja, ya," ucap Aldephie menenangkan ibunya. Aldephie menarik tangan Anastazja. Memintanya untuk membantu memungut sayur dan buah yang masih bisa diselamatkan. 

"Kak, apa Kakak tidak merasa kesal? Kita harus membalas, Kak. Begitu kan yang ayah ajarkan?" Anastazja menepis tangan Aldephie kasar. Ia tidak setuju dengan sikap Aldephie yang tidak membalas perlakuan polisi Alastor pada mereka. Aldephie menatap adiknya, menyembunyikan perasaan sedih. 

"Kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi, Anastazja," lirih Aldephie menunduk lesu.

"Kenapa? Kenapa kita tidak membalas? Apa karena kita adalah black blood? Kita tidak ada bedanya dengan mereka, Kak. Kita juga berhak untuk mendapatkan ketenangan, atau tempat yang sama untuk berjualan di pasar! Coba lihat! Kenapa hanya kios kita yang diasingkan jauh dari jalan utama pasar?" Anastazja terus memberondong Aldephie dengan pertanyaan-pertanyaan kritis yang tidak seharusnya diucapkan oleh anak seumurnya. Namun, dia adalah Anastazja. Seorang anak unik yang selalu mengejutkan orang-orang dengan segala perilakunya. 

"Sudah, cukup, Anastazja. Bisakah kau diam dan terima saja? Aku dan ibu sudah cukup lelah dengan semua ini. Kita tidak memiliki waktu untuk mendengarkan—" 

"Kenapa? Kenapa aku harus diam saja? Kenapa kita tidak melawan? Kenapa, Kak?" 

"Anastazja, dengarkan aku. Jangan potong omonganku. Kita tidak boleh membuat Ibu semakin bertambah berat bebannya. Kita masih kecil. Jadi, cukup diam dan terima saja—"

"Tidak bisa! Kita harus melawan, Kak! Kita harus mempertahankan harga diri kita! Ingat apa yang Ayah katakan pada kita? Kita itu setara! Kita itu sama! Tidak ada bedanya dengan yang lain, jadi kenapa kita harus diam? Kita bisa, Kak. Ayah pasti—"

"AYAH, AYAH, AYAH! AKU MUAK DENGAN ITU. AYAH SUDAH TIADA! AYAH TIADA DIBUNUH OLEH PARA POLISI ALASTOR ITU!" 

Tanpa sadar, Aldephie berteriak ke wajah adiknya. Sesaat kemudian, Aldephie terkejut dengan apa yang sudah dilakukannya. Ia sadar, ia telah menumpahkan emosi akibat tekanan stresnya pada Anastazja. Padahal semua kejadian itu bukan kesalahannya. Anastazja hanya ingin membalaskan dendam semata. Tidak lebih. 

Aldephie menghentikan langkahnya. Melihat wajah Anastazja yang berubah warna menjadi merah, rasa bersalah menghinggapi hatinya. "Anastazja ... aku ..." belum sempat Aldephie menyelesaikan kalimatnya, Anastazja balik badan meninggalkan Aldephie di sana. Ia berlari kecil menghampiri ibunya yang masih terduduk mengusap air mata. 

***

Asap tipis mengepul melalui mangkok berisikan sup buatan sang ibu. Anastazja dan Aldephie, menikmati sup yang dibuatkan ibunya dengan penuh rasa syukur. Sup yang hanya berisikan sedikit sayuran dengan kacang-kacangan itu telah menghangatkan tubuh dan hati Anastazja. Meski begitu, sup itu tidak mampu menutup lubang di hati akibat  kekecewaanya pada sang kakak dengan mengatakan hal buruk tentang ayahnya.

"Tolong maafkan Ibu, ya, Nak?" suara lembut Agacia mengalun masuk ke dalam telinga. Wajahnya masih terlihat kuyu karena bekas air mata yang baru berhenti beberapa saat lalu. Aldephie mengangguk cepat. Ia ingin ibunya tidak membebani diri dengan rasa bersalah karena keadaan. Namun, tidak begitu dengan Anastazja. Gadis kecil itu tidak mengangguk atau pun protes sama sekali. Ia hanya terus memasukkan mulutnya suapan demi suapan sup yang ia tampung di atas sendok. Bersamaan dengan roti alot sisa dari tukang roti kemarin sore.

"Anastazja, bagaimana harimu di sekolah?" Aldephie membuka percakapan. Ia harus segera mencairkan suasana. Ia tidak ingin ibunya menyalahkan dirinya atas siapapun lagi. 

"Seperti biasa," jawab Anastazja singkat.

"Apa kau sudah dapat teman di sekolah?" Agacia ikut mengarungi aliran obrolan dengan kedua anaknya. 

"Cleon," jawab Anastazja singkat.  

"Astaga! Cleon yang itu? Anaknya ketua hakim Alastor?" 

Anastazja mengangguk pelan. Tidak ada orang yang tidak terkejut mendengar hal itu, termasuk ibunya sendiri. Setelah selama ini ia menyembunyikan kehidupan sekolahnya, ia ingin ibunya tahu, kalau ia baik-baik saja. Apalagi ada Cleon di sisinya. Namun, pemikiran itu rupanya salah besar. Bukannya merasa bahagia, ibunya justru semakin merasa cemas. 

"K-kau yakin, Nak? Bukankah sebaiknya kau sendiri saja? Menurut Ibu, tanpa teman lebih bagus untuk sekolahmu. Kau tidak perlu merasakan kesedihan karena kehilangan mereka."

Anastazja mengakui bahwa ia sangat mencintai keluarganya, tapi tidak dengan pola pikir mereka. "Ibu, kenapa Ibu melarangku berteman dengan Cleon? Aku tidak melakukan hal yang jahat, Bu," sanggah Anastazja cepat. 

"Bukan, Nak. Maksud Ibu bukan begitu. Ibu hanya cemas kalau-kalau Anastazja mendapatkan perundungan di sekolah," bela Ibunya lembut. 

Muak rasanya Anastazja dengan segala kelemahan itu. Baginya, cukup ibu dan kakaknya saja yang berdiam diri, ia harus berubah. Ia harus bisa membebaskan diri dari cakar pemerintah yang akan terus melukainya. Ia tidak ingin hidup seperti ibu dan kakaknya. 

"Ibu tidak perlu mengaturku. Aku mengerti apa yang kulakukan. Lagi pula, aku tidak merugikan siapa pun!" Anastazja menaruh sendoknya kasar. "Aku sudah selesai," tambahnya seraya meninggalkan meja makan. Baik ibu dan kakaknya tidak ada yang berusaha untuk menghentikannya. Mereka tahu hal itu percuma saja, karena Anastazja tidak akan mendengarkan mereka sedikit pun. 

***

Hari terus berlalu. Tanpa terasa, bertahun-tahun sudah Anastazja menjalani kehidupannya sebagai seorang black blood. Dulu, ia tidak terlalu memedulikan pandangan orang mengenai asal-usulnya, tetapi belakangan, ia mulai merasa terganggu dengan sikap orang lain yang makin jelas tertuju pada ia dan keluarganya. 

Ia mengerti, dulu ibunya hanya melindungi ia dan kakaknya agar mereka tidak perlu merasakan pedihnya dipandang rendah oleh orang lain. Meskipun begitu, hingga kini, Anastazja tidak pernah menyetujui gagasan ibu dan kakaknya untuk lebih mengalah dengan orang lain. Seperti saat ini. 

"Tolong izinkan kami untuk menjenguk makam keluarga kami," pinta sang ibu pada penjaga makam yang baru saja mengusir mereka kurang lebih lima menit yang lalu. 

"Tidak bisa, Nyonya. Bisa gawat kalau aku mengizinkan kalian masuk lagi. Penjagaan polisi Alastor makin ketat, bisa-bisa bukan hanya pekerjaanku yang hilang, tapi kepalaku juga." tegas sang penjaga makam seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. 

"T-tapi, tahun lalu juga tidak ketahuan, bukan? Seharusnya tidak ada yang terjadi, bukan?" Agacia sedikit menekan pada penjaga makam. Cepat-cepat ia keluarkan amplop tebal berisikan 'senjata' kalau-kalau hal seperti ini terjadi. 

"Ini, terimalah. Kau bisa mengizinkan kami masuk kan? Sepuluh menit, tidak, lima menit saja. Tolong izinkan kami masuk. Anak-anakku ingin melihat ayahnya," pinta Agacia memberikan amplop itu ke tangan sang penjaga makam. Berharap ia dan anak-anaknya mendapatkan izin seperti biasanya. 

Namun, kali ini berbeda. Entah berita apa yang sudah menyebar di tengah masyarakat luas. Penjaga makam itu melempar amplop pemberian Agacia dan mendorongnya dengan kasar hingga Agacia terjungkal ke belakang. 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status