Aku mengabaikan tatapan mama dan om Rendi yang melihatku kembali dengan baju basah. "Lunar ke atas dulu mau mandi dan ganti baju," kataku sambil melewati mereka.
"Iya, Lunar buruan mandi nanti sakit," jawab mama. Saat aku sudah sampai di kamarku. Aku melirik ke arah kamar Serafin dia sedang berdiri di balkon dengan baju basahnya. Sesekali dia memasukkan cookies yang kuberikan tadi ke mulutnya. "Lunar, cookies enak banget. Pasti karena kita membuatnya dengan penuh cinta," teriaknya dari arah balkon. Aku langsung keluar dari kamarku dan menuju balkon."Cinta, matamu!" kataku sewot. Dia langsung ngakak sampai gigi yang berbaris rapi miliknya terlihat. "Duh galaknya jadi pengen gigit," katanya lalu menirukan ekspresi sedang menggigit. "Matamu! Dasar buaya, kadal buntung, kucing garong!" balasku lagi. "Gue bukan buaya, bukan kadal apalagi kucing garong. Gue hanya seorang laki-laki yang sedang berjuang mendapatkan cinta.""Gila! Mending ke psikiater sana, sebelum lo tambah parah," kataku dan memasang wajah garang. Bak harimau marah."Obatnya gampang lo tinggal terima lamaran gue dan kita menikah." Serafin naik turunkan alisnya. Senyum jenaka terus menghiasi wajahnya. "Gila," kataku. Setelah mengatakan hal itu aku langsung meninggalkan dan menuju kamar mandi. Lebih baik mandi saja daripada harus meladeni Serafin yang otaknya sudah sangat miring. Selesai mandi aku mengeringkan rambut ku dengan handuk. Saat seperti ini, aku malah ingat kejadian dimana Serafin mencium rambut ku dan mengatakan kalau rambutku sangat wangi. Kenapa aku jadi ingat dengan Serafin terus sih? Dia itu menyebabkan, jago pencitraan dan mesum. Buaya darat yang profesional pasti."Lunar-lunarku yang cantik. Sini dong perlihatkan wajah cantikmu," teriaknya. Nah kan, dia membuat ulah lagi. "Lunar… Lunar… Lunar… main yuk. Lunar ayo main," katanya lagi. Kalau aku tidak keluar dari kamarku dan ke balkon dia pasti akan terus berteriak. Aku sudah pernah mengabaikan dan Serafin terus memanggil dan berteriak sampai tengah malam. "Apa sih? Teriakan-teriakan mulu kayak kucing minta kawin," kataku kesal masih membawa handuk untuk mengeringkan rambutku. Aku memilih duduk di kursi yang ada di balkon. Kursi berwarna putih yang cantik dan dilengkapi meja berwarna putih juga. "Gue kan minta nikah sama lo, tapi lo malah mengabaikan gue terus," katanya dengan wajah cemberut. Bibirnya sedikit dimajukan, tapi matanya masih berkilat jail. "Emang lo pikir nikah itu gampang. Kalau lo orang aneh, psikopat, buaya darat, tukang selingkuh gimana?" kataku sewot dia malah ngakak. "Ternyata lo mikirin gue sedalam itu. Aduh gue jadi gak bisa tidur. Bentar ya," katanya dan masuk kedalam kamarnya. Membawaku bantal guling ku dan meletakan di kursi nya. Dia juga membawa panah mainan dan dua cup mie instan yang mengepulkan asap. "Habis hujan enak makan mie," katanya mengambil busur dan anak panah mainan.Serafin kemudian membidik jendela kaca kamarku. Melepaskan satu anak panah yang sudah diikatkan tali. Selah dia yakin jika anak panahnya menempel dengan kuat jendela kamarku. Dia mengikat ujung talinya di dinding kamarnya. Dia mengikat ember dengan tali, lalu mengikat longgar tali yang mengikat ember ke tali yang menghubungkan antara kamarnya dan kamarku. "Nih makan, biar gak galak," kata Serafin meletakan satu cup mie instan di ember itu lalu mendorong hingga ember itu mengikuti arah tali dan berakhir di balkon kamarku. "Gak ada racunya. Aman kok, makan aja. Mana berani aku meracuni anak pengacara kondang," katanya. Serafin kemudian memakan mie instan.Aku yang awalnya enggan memakan mie instan ini. Tapi setelah aku melihat serafin yang memakan mienya dengan lahap. Aku menjadi lapar juga dan mengambil cup mie instan dari ember kecil itu. Aku membuka tutupnya. Ternyata sudah diseduh. Juga terdapat potongan telur rebus, suwiran ayam dan potongan sosis. Setauku mie instan ini tidak menyediakan topping yang seperti ini. "Lo buat sendiri?" tanyaku penasaran. Serafin mengangguk semangat. "Iya gue buat sendiri. Lagian lo mandinya lama jadi sempat ngasih topping. Tatanannya bagus kan, cantik kayak lo."Serafin masih sempat-sempatnya menggombali aku. Sepertinya dia menang serba bisa. Bisa masak, bisa pencitraan dan bisa menarik hati orang dengan mudah. Dia seperti pemain profesional saja. "Idih," cibirku. Aroma micin yang sangat kuat membuat nafsu makanku semakin kuat. Aku menyuap mie instan kedalam mulutku. Entah karena lamar atau apa, mienya terasa lebih enak. Aku memakan mie instannya sampai tidak tersisa. Serafin tersenyum setelah melihat, aku menghabiskan mie instan yang dibuatnya."Jadi gimana lo mau gak nikah sama gue. Gue bisa masak, cari nafkah, bersih-bersih rumah dan bikin anak. Gue ini paket komplit, minus sangean doang," katanya naik turunkan alisnya.Aku melempar cup mie instan pada Serafin. Dia langsung menangkapnya dan memakannya diatas lantai dekat kursi yang didudukinya. "Jangan gitu dong. Nanti benda berharga gue kotor, mau ganti rugi lo. Kalau kotor gue angkut kasur lo tar," ancamnya serius. Serafin mengelus-elus gulingku yang berada di pelukannya. Melihat hal itu aku menjadi makin kesal. Guling dan bantal kesayanganku kini sudah berpindah tangan. Tetangga sebelah dengan bangga memeluk guling hasil curiannya. "Kenapa lo mau nikah sama gue? Terus jangan-jangan lo bikin bantal dan guling gue jadi bahan bacol(bahan col*i) lo lagi," tuduhku padanya. "Karena gue cinta lo. Enak aja lo, gue sangean sama lo doang ya. Gue gak sesaiko itu jadiin bantal dan guling lo jadi bacol," katanya sewot. "Mana ada maling ngaku?""Gua ngaku, gue nyuri guling dan bantal lo. Ini juga cuman gue pakek tidur aja. Biar gue gak kangen terus sama lo. Kalau buat bahan bacol, mending gue curi dalaman lo," katanya lalu ngakak. Aku memandang tajam."Awas aja lo kalo lakuin hal itu. Gue laporin polisi lo," ancamanku."Gak lah. Gue akui gue otak gue emang sangean, tapi kalau kelakuan gue masih aman.""Gue gak percaya. Mana ada kucing yang dikasih ikan asin nolak," bantahku. " Gak dikasih aja dia nyuri, apalagi punya kesempatan," kataku melanjutkan. "Gue jenis kucing elit berarti. Kucing yang gak mau makan ikan asin walaupun dikasih. Kucing elit mah beda mending gak makan daripada makan, makan murahan. Kalau gak percaya lihat kucing gue," katanya Serafin berapi-api. Memang ada jenis kucing yang gak makan ikan asin. Kucing temanku juga ada yang sombongnya minta ampun. Hanya makan ikan tuna dan salmon. "Gue cuman mau lo aja. Gue tau ini sulit dipercaya tapi gue ngomong yang sebenarnya. Gue bakal buktiin," katanya sungguh-sungguh. Matanya penuh tekad dan kemudian tersenyum lembut. "Gue setipe sama kucing elite. Enggak, gue ini serigala. Kelihatan aja buas, tapi setia sama pasangan sampe mati.""Idih pede sekali anda. Menginginkan diri sendiri.""Yaudah gue rendahin nih. Minusnya gue sangean tapi sama lo doang.""Gila!" teriakku tapi tanpa sadar aku tersenyum. Pesona Serafin ternyata sangat kuat.Sudah beberapa hari ini tidak ada teriakan dari kamar sebelah rumahku. Serafin hanya berdiri di balkon kamarnya sebentar. Melempar senyum lalu menghilang. Kadang aku merasa rindu dengan tingkah konyolnya.Hari ini juga dia tidak membuat onar. Aku duduk di balkon lalu memperhatikan kamarnya. Lampu kamarnya tidak menyala. Tandanya tidak ada orang di sana.Aku iseng memeriksa ember yang diikat dengan tali yang menghubungkan kamarku dan kamar Serafin. Betapa kagetnya aku, di ember itu sudah dipenuhi oleh bermacam-macam barang.Ada beberapa coklat, pesawat kertas dan bunga mawar yang masih segar. Sepertinya baru saja diberikan olehnya.Aku mengambil bunga mawar itu dan menciumnya. Aroma lembut langsung mengingatkan aku pada sang pemberi. Aroma sangat enak untuk diciu
Aku sudah mulai terbiasa setiap pagi dibangunkan oleh alaram hidup yaitu Serafin. Tetangga sebelah yang ganteng, tapi rada sinting dan mesum.Setiap pagi juga dia selalu memberiku hadiah dan surat cinta, yang isinya unik dan ajaib. Kadang aku bisa tersedak ludah sendiri jika membaca isi suratnya. Pokoknya hari-hariku sangat luar biasa karena ada Serafin."Tetangga, kamu cantik hari ini dan aku mau nikahi," kata Serafin yang sedang duduk di balkon kamarnya. Menikmati secangkir teh yang masih mengepulkan asap dan kue."Tetangga… woy tetangga, tidakkah kamu mau menikmati secangkir teh denganku. Kalau bisa dalam pangkuanku."Aku keluar kamarku dan menuju balkon. Bersandar pada pagar pembatas, dengan kedua tangannya menggenggam besi pagar yang di cat putih.
Seberapa keras pun aku berpikir. Aku tidak dapat menemukan jawaban, kenapa Serafin jatuh cinta padaku. Kami baru saja kenal dan dia seperti sudah tergila-gila padaku. Apakah benar jika cinta sedangkal itu? Bertemu sekali, mendengar suaranya yang lembut dan melihat senyumnya yang indah. Semua itu langsung bisa membuat jatuh cinta sedalam itu. Semuanya tidak masuk akal. Aku mengambil contoh dari kedua orang tuaku. Mereka menikah dan hidup dalam waktu yang lama. Bahkan memiliki aku, tapi mereka tidak bisa saling mencinta dan memilih untuk berpisah. Jika yang hidup tahunan saja, tidak bisa jatuh cinta. Kenapa yang kenal baru sebentar, sudah jatuh cinta dan ingin menikah. Tidakkah Serafin takut, jika cintanya hanyalah semu. Lalu saat dia sadar makan dia akan memilih untuk pergi.
"Cantik mau kemana?" tanya serafin saat aku meraih pintu mobilku dan hendak masuk kedalam. Hari ini aku ada urusan di kampus dan terpaksa harus kesana. Sebenarnya aku sedikit ragu untuk ke kampus sendirian karena takut hal yang tidak diinginkan terjadi. Tante Wenda pasti sedang mengawasi aku dengan ketat. Sedikit saja ada peluang untuk mencelakakan diriku. Pasti dia menggunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya. Ambisinya untuk menguasai harta keluarga ku sangat besar. "Mau ke kampus, ada tugas yang harus aku kumpulkan," kataku sok cuek. Padahal aku curi-curi pandang padanya. Serafin terlihat sangat tampan dengan kaos dan celana jeans yang berwarna hitam. Sangat kontras dengan kulitnya yang putih dan iris matanya yang hijau terang.
Sekarang sekelilingku sudah dikerumuni banyak orang. Mereka membuka pintu mobilku dan membantuku keluar dari dalam mobil. Aku keluar dengan keadaan linglung dan gemetaran.Aku bahkan tidak bisa mencerna setiap ucapan dan pertanyaan mereka. Otakku mendadak membeku dan bibirku tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Tatapan mataku juga hanya menatap pada mobil yang menyalip dan mengorbankan dirinya untuk ditabrak.Aku kenal sekali pada mobil itu, tapi otakku tidak bisa mencerna itu milik siapa. Diam ku membuat orang-orang menatapku aneh."Maaf pak, seperti dia syok berat sehingga sedang linglung parah. Biasanya kondisi seperti ini tidak bisa mencerna apa yang bapak-bapak katakan," kata orang itu dengan suara pelan. Menjelaskan kondisi ku pada orang-orang sekitar.
Ternyata otakku tidak bisa melupakan seringai Serafin saat ingin memanaskan mobilku. Aku mungkin sempat rapuh, tapi keraguan kini menghampiriku lagi.Aku juga tidak tau harus berbuat apa. Selain menjauh dari Serafin, walaupun dia terus berteriak dari balkon kamarnya. Aku memilih untuk mengabaikan dirinya. Aku juga tidak keluar kamar saat tau Serafin ada di rumahku.Sejujurnya aku juga merindukan senyum cerah itu. Iris mata hijau terangnya membuatku sangat rindu. Hanya saja otakku terus berpikir jahat tentangnya.Aku juga memilih mengurung diriku di dalam kamar. Tidak banyak keluar, mama dan om Rendi hanya diam. Mereka mungkin berpikir aku butuh waktu sendirian. Sehingga membuatku mengurung diri di dalam kamarku."Lunar… lunar… lunar…. Main y
Aku hampir saja ketiduran saat menunggu serafin pulang kerja. Rasanya tidak sabar menunggu dia pulang kerja. Aku benar-benar ingin memeluknya dan meminta maaf. Aku terus melirik ke arah jendela kaca. Berharap melihat sesosok serafin yang benar-benar kurindukan. Sudah beberapa hari ini aku mengabaikan dirinya. Jahat sekali aku memperlakukan Serafi, karena masa laluku. Aku menganggap semua orang itu sama. Harusnya aku tidak memukul rata setiap orang. Waspada boleh tapi overthinking, harusnya aku tidak melakukannya. "Lama banget pulangnya," kataku mengeluh. Padahal aku membiarkan Serafin menungguku dan berteriak-teriak berjam-jam di balkon kamarnya. Memang menunggu itu hal yang paling tidak menyenangkan. Apalagi menunggu dengan rasa bersalah yang memenuhi rongga dada. Sungguh tidak menyenangkan dan terasa
[Tante berharap, supaya kamu bisa hadir di acara pengajian yang tante buat untuk almarhum papamu.]Pesan dari tante wenda membuat kepalaku pusing seketika. Kali ini apalagi yang akan direncanakan oleh tanteku itu. Setelah rencana untuk mencelakakan aku kemarin gagal. Pasti tanteku itu membuat rencana baru lagi.Apakah dia tidak lelah terus merencanakan kejahatan untuk mencelakakan aku demi harta warisan. Padahal saat nenek dan kakek masih hidup. Tante wenda juga sudah diberikan bekal untuk hidup. Bahkan kakek mementikan satu perusahaan yang cukup besar untuknya.Sekarang setelah papa meninggal. Tante wenda merasa berhak memiliki apa yang harus nya menjadi milikku. Dia tidak bahkan tidak segan-segan kecelakaan aku.[Lunar usahakan untuk hadir tante.]