Share

Aruna yang Dingin

Sedari kemarin Aruna tidak banyak bicara. Ia hanya menjawab singkat jika ditanya dan cenderung sangat menghindari perdebatan dengan Jose, sekalipun Jose selalu memancingnya. Jujur Jose tidak pernah peduli dengan hal-hal seperti ini, toh biasanya cewek-cewek yang akan berbicara sendiri padanya. Akan tetapi, entah kenapa Jose terusik untuk saat ini. 

Jose yang tengah menatap iPad-nya sesekali mencuri pandang Aruna yang tengah menata baju untuk ke Jerman besok pagi. Wajahnya masih datar dan mulutnya tetap tidak mau membuka dengan tangan yang sibuk melipat baju, lalu memasukkannya ke koper. 

"Besok jangan telat bangun, jam 6 pagi harus udah ada di bandara," ucap Jose tanpa menatap Aruna. 

Aruna tak bergeming dan memilih tak menyahut. Jose menghembuskan napasnya jengah.

"Gue ngomong sama manusia apa patung sih!" kesal Jose.

Aruna masih diam dan kini berdiri. Mendorong kopernya ke dekat pintu agar mudah untuk membawanya besok. Setelah itu ia masuk ke kamar mandi dan membasuh wajahnya, bersiap-siap tidur. Jose mengacak-acak rambutnya dan berdiri dari duduknya. 

Aruna yang hendak keluar dari kamar mandi terhenti saat Jose berdiri di depannya dan menatapnya tajam. Aruna masih berekspresi datar dan memilih untuk pergi. Akan tetapi, Jose terus menghadangnya dan membuat Aruna menghembuskan napas jengah. 

"Minggir," ucap Aruna datar dan dingin.

"Kalau suami ngomong itu dijawab," ucap Jose sedikit menaikkan nada suaranya.

"Gue denger," sahut Aruna tanpa menatap Jose. 

"Dasar cewek." Jose beranjak pergi setelah mengucapkan kalimat terakhirnya. 

Aruna tidak peduli dan memilih menidurkan pikirannya. 

"Runa" entah kenapa panggilan itu menjadi hal yang tak sembarang orang boleh menggunakannya di dalam hidup Aruna. Panggilan itu hanya milik orang tertentu dengan seizin Aruna tentunya. Jika kalian mengira karena masa lalu buruk dengan persoalan cinta kalian salah besar. Justru lebih menyakitkan daripada persoalan cinta. 

Sedari tadi Aruna hanya bisa menatap kosong ke depan. Tangannya meraba sebuah kalung dengan bandul planet Saturnus. 

"Mom, can we meet?" lirih Aruna dan menutup matanya.

Aruna terlelap, lalu dimana keberadaan Jeso? Lelaki itu tengah duduk di bar club yang sering ia datangi. Menenggak botol bir dan mengacak-acak rambutnya. 

"What's wrong with you my bro?" tanya lelaki yang berprofesi sebagai bartender di sana. Namanya Xiao Li, blasteran Cina dan Indonesia, tepatnya Bandung. 

"Cewek tuh kenapa sih, ngga tahu kita salah apa didiemin. Berasa ngomong sama patung. Mending patung bisa gue peluk, lah ini," dumel Jeso.

Li tertawa. "Bro what happened with you? This is not you, man," ucap Li.

"Sejak kapan seorang Jeso, CEO Tanuwirang Company memikirkan wanita? Hemm?" 

Jeso menatap sahabatnya datar. "Ngga usah ngeledek," sahut Jeso. 

Li tertawa dan menuangkan minuman ke gelas, lalu menyodorkannya ke Jeso. "Btw, siapa wanita itu? Apa istrimu?" Lagi-lagi Li tertawa.

"Mana mungkin lelaki sepertimu yang suka bermain-main panas dengan wanita menikah, impossible man," lanjut Li.

"Ck, gue juga manusia kali. Ya kali gue ngga boleh nikah," jengkel Jeso.

"Wait gini loh maksud gue. Lo tuh memang sih udah matang secara finansial, but kalau rohani sih ngga. Mental lo soal pernikahan masih cetek, nyatanya lo masih suka main-main."

"Pernikahan itu nyata, bukan fantasi. Pernikahan itu sakral, maka dari itu lo ngga bisa main-main. Okay, lo punya banyak uang buat beli LC. Akan tetapi, lo harus tahu kalau lo itu suami. Suami, yang artinya lo udah punya istri. Coba lo di posisi cewek yang jadi istri lo, semisal lo udah nikah nih. Apa ngga sakit lihat suaminya malah enak-enakan sama wanita lain, apalagi di depan matanya. Sakit man, sakit," terang Li.

Jeso terdiam. Apa karena tempo lalu ia membawa LC ke apart dan Aruna mendiamkannya karena ia cemburu. Apa iya cemburu? 'Kan ini cuma pernikahan sementara, ralat pernikahan pelunasan utang. 

Kalaupun iya, kenapa dia ngga ngomong langsung. Wait, 'kan cewek maunya dimengerti ya. Aish, kalau begini mending ngga usah berurusan sama yang namanya wanita. Ingat itu, jangan berurusan dengan wanita kalau tidak mau celaka. 

"Jes, Jes!" Jeso tersentak kaget Li menyentil keningnya. 

"Ini emang tempat haram, tapi jangan kesurupan di sini juga lah. Males gue ngeluarin setannya, eh bukannya lo udah jadi setan ya." 

Pletakk...

Gantian Jeso yang menyentil kening Li. Nih orang kalau ngomong suka bener. 

"Eh, Li. Lo percaya ngga kalau gue udah nikah?" 

Li tertawa. "Ya ngga lah, ya kali. Cewek mana yang mau sama lo."

"Sialan lo. Ingat ya gue ini Jeso, Jeso Tanuwirang si tampan nan kaya. Cewek-cewek antri coyy!" 

"Hidih, pede gila lo. Heh, sekaya apapun lo sekarang cewek carinya yang berotak. Lo mana ada otaknya, udah lo gadain pas kuliah dulu."

"Lo, ahh!"

"Gue serius, gue udah nikah 2 hari yang lalu." 

Li yang tengah meminum air seketika tersedak. "Demi apa!" pekik Li.

"Demi lingerie merah," jawab Jeso asal. 

"Jes, lo ngga lagi ngeprank gue 'kan? Ngga ada kamera juga di sini."

"Terserah, bodo amat!" Jeso memilih keluar dari club dan pulang ke apart. 

Rencana ngilangin stress malah tambah stress. Memang sih walaupun Li adalah sahabat baiknya sejak ia di bangku kuliah, kemarin saat pernikahannya Jeso tidak mengundangnya. Ini karena dominasi sang Ayah, jadinya Jeso tidak bisa berkutik apa-apa. 

***

Jeso membuka pintu kamarnya, ia meraba saklar lampu. Berkali-kali ia menaik-turunkan saklar, tapi lampu masih padam. Mana mungkin ia lupa bayar token listrik. 

"Pakai mati segala, ck," gerutu Jeso. Ia pun merogoh sakunya dan menyalakan flash dari ponselnya. 

Mengedarkan pandangannya ke penjuru arah kamar, mencari keberadaan Aruna. Tepat saat flash mengarah pada kaki gadis itu, Jeso berjalan mendekat. 

"Ngga pakai selimut?" tanya Jeso entah pada siapa. 

Jeso berjongkok di depan Aruna dan menyipitkan matanya kala melihat keringat di dahi Aruna. "AC juga mati?" tanya Jeso pada siapa entahlah.

Ting...

"Diberitahukan bahwa ada kesalahan teknis di Media Apartemen. Jadi, kami dari pihak teknisi memohon untuk para penghuni apartemen bersabar. Kami juga tengah memperbaikinya. Terima kasih,"

"Pantesan mati," ucap Jeso setelah membaca pesan dari pihak Media Apartemen. 

Jeso kembali menatap Aruna, tangannya tergerak mengusap keringat itu perlahan dan lembut. Seakan-akan Aruna adalah es krim yang memang lunak. Setelah mengusap keringat Aruna, mata Jeso terpaku pada bibir tipis Aruna yang berwarna pink. Benar-benar masih sangat segar, seperti belum tersentuh siapapun. 

Jeso mengusap lembut bibir itu dan tanpa ia sadari adiknya berdiri begitu saja. "Sial, kenapa lagi sih ini," batinnya kesal. 

Tanpa sengaja flash yang awalnya mengarah di puncak kepala Aruna malah turun ke mata Aruna. Membuat sang empu membuka matanya karena silau. Jeso yang menatap ke bawah dengan mulut ngedumel tanpa suara tiba-tiba terkejut kala Aruna menepuk pundak kirinya pelan.

"Kok bangun?" gelagap Jeso.

"Flash," sahut Aruna serak, suara khas bangun tidur. 

Sial, lagi-lagi Jeso harus menahan gairah mendengar suara Aruna. Ada apa dengannya sebenarnya. 

"Kok mati?" tanya Aruna dan merapikan rambutnya, lalu mengikatnya menjadi satu. 

"Ada kesalahan teknis," jawab Jeso dan duduk di sebelah kanan Aruna. 

Aruna mengangguk dan mengusap wajahnya. Ia masih mengantuk sebenarnya. 

"Kalau ngantuk tidur," ucap Jeso santai dan menaruh ponselnya yang masih menyalakan flash ke meja di depannya. 

"Minggir," ucap Aruna datar. 

Bukannya pergi, Jeso malah mendudukkan dirinya menghadap Aruna. "Lo kenapa?" tanya Jeso.

"Gue? Kenapa?" bingung Aruna. 

"Lo kenapa ngediemin gue, gue ada salah apa?" 

"Ngga ada."

"Runaㅡ"

"Stop! Jangan panggil gue dengan panggilan itu."

"Kenapa?" 

"Ngga ada urusannya sama lo."

"Ck, gue ini suami lo."

"Suami sementara."

"Tapi gue tetep suami. Gue harus tahu semua tentang lo."

"Sayangnya gue ngga peduli."

"Kalau lo ngga ngasih tahu, gue akan manggil lo dengan panggilan itu."

Aruna menarik napas lelah. "Terserah."

Setelah itu Aruna berdiri dan hendak pergi ke kamar mandi, tapi cekalan Jeso menghentikannya. Aruna menoleh dan mengerutkan keningnya.

"Gue takut gelap," cengir Jeso.

"Ada flash," sahut Aruna dan melepas cekalannya.

Setelah selesai membuang air maninya, Aruna kembali ke sofa. Ia mengerutkan keningnya, kenapa Jeso belum beranjak dari sana. 

"Tidur," ucap Aruna. Jeso diam dan menatap lurus. 

"Jeso, tidur." Aruna tersentak kaget saat tiba-tiba Jeso memeluknya. 

"Gue takut gelap dan gue ngga suka tidur di dalam gelap," ucap Jeso dan mengeratkan pelukannya. 

Ia benar-benar ketakutan, bukan drama dengan motif modus. Aruna bisa merasakan ini bukan modus, terlihat bagaimana Jeso memeluknya erat. Aruna mengelus punggung Jeso.

"Ada gue," sahut Aruna. 

Jeso melepas pelukannya. "Tidur sama gue ya," pinta Jeso. 

Aruna hendak menolak, tapi ia juga manusia sekaligus istri. Tidak baik jika suami-istri pisah ranjang. Eh, bukannya sebatas kontrak? Aruna mengangguk menyetujui.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status