Share

7. Menyerah

**

Mungkin sekarang sudah tengah malam. Entahlah, Kiran tidak tahu. Ia tidak membawa ponselnya. Perempuan itu hanya merasa telah duduk di halaman belakang rumahnya sejak berjam-jam yang lalu. Berkali-kali membersit air matanya yang terus-terusan luruh tanpa bisa ia cegah.

Jadi ternyata Karan sudah memiliki kekasih sebelum ini? Pantaslah mengapa sikapnya sangat dingin kepada Kiran. Sedikitpun tak bisa disentuh bagaimanapun Kiran berusaha.

"Dan kamu biarin aku membadut selama beberapa waktu belakangan ini, Mas?" Kiran berbisik lirih kepada dirinya sendiri. Tersenyum pahit, merasakan sengatan nyeri lagi-lagi meremas hatinya kala ia mengingat kembali perempuan cantik yang dibawa pulang suaminya. Ah, siapa namanya tadi?

"Kalau sudah tau begini, lantas apalagi yang harus kita pertahankan? Kalau alasanmu nggak bisa mencintaiku adalah karena belum terbiasa, mungkin aku bisa menunggu. Tapi ternyata alasanmu adalah ini, jadi apalagi yang bisa menahanku?" Kiran menghela napas dalam-dalam sebelum beranjak berdiri dan memutuskan kembali ke rumah. Berdiam diri selama beberapa jam membuat kepalanya sedikit menjernih.

Perempuan itu melangkah dengan lunglai menuju pintu dapur rumahnya yang terhubung dengan halaman belakang di mana dirinya duduk tadi. Ketika pintu terbuka, Kiran mendadak mematung sebelum sempat melangkah masuk. Perempuan cantik kekasih Karan tadi, sedang berdiri di balik counter dapur. Suasana canggung membuat keduanya hanya diam. Namun kemudian, Kiran mendengar perempuan itu bersuara.

"Aku minta maaf, Mbak," ujarnya pelan. Meski kata-katanya pelan, namun kali ini sorot katanya tajam menatap ke arah Kiran yang masih tetap terpaku di tempat. "Meskipun aku nggak tau kenapa harus minta maaf. Karena sejujurnya, yang paling dirugikan di sini adalah aku."

Kiran terperangah. Kedua alisnya terpaut mendengar kata-kata pelan namun bernada sarkas itu. Ia segera mengkonfirmasi. "Apa maksudmu ngomong begitu?"

"Maksudku?" Perempuan itu berdecih pelan. "Kamu udah denger sendiri tadi Karan bilang gimana. Aku sama dia udah berhubungan cukup lama. Kalau kamu nggak ada hujan nggak ada angin tiba-tiba dateng dan ngerebut posisi yang seharusnya aku tempati, jadi siapa menurutmu yang paling dirugikan?"

Kiran hanya bisa menggeleng pelan. Hatinya lagi-lagi terasa seperti ditikam. Mudah sekali perempuan ini berkata-kata tanpa tahu bagaimana kisah yang sebenarnya.

"Jadi ini salahku?"

"Siapa lagi, kan?"

"Aku lakukan ini demi ibu dan ayah. Juga demi bapak dan mamakku. Jangan pikir aku mau menikah karena aku suka sama Karan."

"Omong kosong."

Kedua alis Kiran sontak kembali bertaut. "Omong kosong, apa maksudmu?"

"Aku tau kamu diem-diem juga nyimpen rasa sama Karan. Kita sama-sama perempuan. Aku bisa liat dari gimana cara kamu mandang Karan."

Oh, Tuhan. Kiran menggelengkan kepala kuat-kuat. Sejujurnya, Kiran tidak pernah tahu bagaimana caranya berdebat. Terlebih lagi, memperdebatkan hal-hal seperti ini.

"Sorry, Mbak. Tapi aku nggak bisa kalau harus ngelepasin Karan begitu saja."

Entah berapa kali sudah, Kiran tersentak kaget hari ini. Belum reda rasa terkejutnya karena mendapati suaminya sudah memiliki kekasih, sekarang ditambah lagi kekasih suaminya berkata terang-terangan bahwa ia tidak akan menyerah begitu saja.

"Sekali lagi, kami udah bersama sejak bertahun-tahun yang lalu. Aku cinta Karan, dan Karan juga cinta sama aku. Aku pastikan nggak akan ada orang lain yang bisa menyusup di antara kami. Kamu seharusnya tau diri, Mbak."

Demi Tuhan, Kiran rasa dirinya seperti disambar petir. Mengapa perempuan yang belum ia ketahui siapa namanya ini bisa berkata-kata seakan Kiran sudah merebut kekasih orang dengan seenaknya tanpa mengaca dulu?

"Dengar!" Kiran akhirnya bersuara. Kesabarannya menipis sudah. "Kamu pikir ini kemauanku? Kamu pikir aku bahagia? Kamu pikir karena apa aku setuju menikah dengan laki-laki yang sama sekali nggak bisa memanusiakan orang lain?"

Terlalu menyakitkan. Kiran tidak akan repot-repot berusaha mempertahankan sopan santunnya lagi. Ia menunjuk perempuan di hadapannya.

"Apa kamu pikir hanya kamu aja yang dirugikan?"

"Apa ruginya buat kamu, memangnya?" Perempuan itu kembali menyela. "Kamu berhasil menjadi istri seorang Karan Raditya Gathfan yang diimpikan banyak perempuan. Omong kosong kalau kamu bilang kamu terpaksa."

Kiran lelah. Ia tidak mengenal dan tidak tahu menahu siapa perempuan ini. Tahu-tahu saja datang bersama Karan, dan keduanya bersama-sama membuat hati Kiran hancur menjadi serpihan-serpihan kecil.

"Ya Tuhan."

"Nevia? Kamu lagi apa di dapur?"

Sosok yang tengah menjadi bahan perdebatan itu akhirnya muncul juga dari ruang tengah. Wajahnya mendadak keruh saat melihat dua perempuan yang tampaknya sedang bersitegang. Dan baru sekaranglah akhirnya Kiran mengetahui siapa nama perempuan ini. Nevia.

"Kamu lagi apa?" Sekali lagi Karan bertanya. Wajahnya penuh selidik. Barangkali khawatir kalau-kalau Kiran sudah mencakar pacarnya atau apa.

"Hanya ngobrol." Nevia mengedikkan bahu. "Aku bilang sama dia kalau aku nggak akan menyerah begitu aja, Kar. Kita udah lama bareng. Hal seperti ini nggak akan bikin hubungan kita terganggu."

Hal seperti ini. Kiran menelan saliva dengan pahit saat melihat Karan justru mengangguk setuju. Seremeh inikah Karan memandang pernikahannya?

"Aku harap kamu nggak ngelakuin hal aneh-aneh sama Nevia." Karan berkata memperingatkan, membuat —untuk yang ke sekian kalinya, hati Kiran tersengat nyeri.

"Bisa tolong minggir aja?" Kiran menjawabnya dengan gumam lelah. "Aku akan balik ke kamar dan nggak akan peduli kalian berdua mau apa. Lakukan aja apa yang kalian mau."

"Memang harusnya begitu." Karan menimpali, membuat rasa hati Kiran semakin perih. "Seperti kataku saat pertama kali kita pindah ke sini. Jangan pernah mengganggu urusan pribadiku. Kita ini bukan siapa-siapa."

Nah, Kiran yang awalnya hendak segera mengayun langkah kembali ke kamarnya, mendadak membatalkan niat. Ia berbalik ke arah sang suami dan berkata pelan, "Kamu bisa temui Ibu besok pagi, Mas. Bilang sama beliau kalau memang kita nggak bisa lagi ngelanjutin pernikahan ini dan sebaiknya berpisah aja."

"Kamu gila!" Tapi, justru reaksi Karan kontradiktif seperti itu. "Bisa-bisanya ngomong begitu!"

"Terus maumu apa, ha? Tetep menjalani kehidupan pernikahan, tapi tetep jalan sama pacarmu juga, begitu?"

Lelaki rupawan itu terdiam. Namun hal itu menjadi sangat jelas untuk Kiran. Memang seperti ini yang suaminya inginkan.

"Kamu pikir aku ini apa, Mas? Kamu pikir aku mainan yang nggak punya hati? Kalau kamu masih mau jalan sama pacarmu, maka sudahi pernikahan kita! Kalau kamu nggak mau ngomong sama Ibu dan Ayah, maka aku yang berangkat!" Kiran yang akhirnya berseru penuh tuntutan. Lelah yang ia rasa selama berminggu-minggu ini mencapai puncaknya. Tak bisa lagi Kiran bertahan.

"Aku nggak mau sakitin hati Ibu, Ki!"

"Kamu nggak mau sakitin hati Ibu dan perempuanmu, tapi kamu hancurin hatiku seperti ini! Memangnya aku punya dosa apa sama kamu? Sama sekali bukan aku yang pengen kita menikah!"

Air mata itu jatuh berhamburan. Menetes membasahi blus yang Kiran kenakan. Membuatnya tak mampu lagi terus berdiri di dapur. Ia mengayun langkah tergesa menuju kamarnya, dan menangis sejadi-jadinya di sana. Tidak mengerti mengapa takdir mempermainkan hidupnya seperti ini.

"Bapak, Mamak, maaf Kiran nggak bisa. Kiran udah udah berusaha, tapi tetap nggak bisa. Tolong maafkan kalau Kiran memilih berhenti."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status