“Kancil, Kelinci?” Rawai Tingkis menemukan tiga binatang di depannya, “Siapa yang membawanya ke sini? Ah, akhirnya aku akan makan siang.”Rawai Tingkis mengeluarkan sebilah pisau kecil, lalu memotong tiga hewan itu, yang dalam keadaan terluka kakinya.Api unggun pada akhirnya menyala, lalu menyisakan bara. Rawai Tingkis dengan senyum gembira mulai memanggang ke tiga hewa tersebut, sesekali dia akan bersiul kecil, sesekali dia meniup bara api agar tetap menyala.“Selamat makan!” ucap dirinya, menyatukan dua telapak tangan, lalu menutup mata rapat-rapat. Setelah itu dia menghabiskan semua makanan itu tanpa tersisa.Rawai Tingkis membuang tulang terakhir, dan baru menyadari jika sebelumnya dia sedang bersama ular raksasa.Namun sekarang, dimana ular itu? Rawai Tingkis memutar kepalanya beberapa kali, tapi tidak melihat keberadaan binatang tersebut.“Apa dia sudah pergi?” gumam dirinya. “Kalau begitu aku juga harus pergi, perjalananku masih jauh.”Rawai Tingkis memeriksa buntelan yang dib
Rawai Tingkis, berjalan mengendap-endap menuju markas para bandit. Di tengah situasi yang dipenuhi oleh kabut tebal, pandangan menjadi sedikit terbatas.Meski di tempat ini tidak banyak pohon tinggi yang hidup, kecuali pohon kecil dan tanaman seperti padi yang hampir membentang di seluruh lembah, tapi Rawai Tingkis yang bertubuh kecil bisa mendekati tempat itu tanpa terdeteksi oleh musuh.Dia bersembunyi dari satu rumpun tanaman, ke rumpun yang lain.“Aku ingin buang air besar terlebih dahulu,” ucap salah satu penjaga rumah para bandit. “Gantikan aku untuk berjaga, hanya sebentar saja.”“Kau ini, bukannya baru saja kau telah buang air?”“Tadi itu air besar, karena ukurannya sedikit …”“Tidak perlu membahas ukurannya bodoh! Siapa yang ingin tahu, sekarang cepat pergi sana!”“Hahahha…” pria itu tertawa lalu berlari kecil menuju ke rumpun rumput, dimana Rawai Tingkis sedang bersembunyi.Cir.Air kencing seperti pancuran, melewati wajah Rawai Tingkis.“Kurang ajar!”Rawai Tingkis langsung
‘Jadi bocah ini yang telah membuat Kondir dan Sindur mengalami kecatan?’ gumam bandit tersebut. ‘tidak mungkin, aku tidak bisa percaya seorang bocah memiliki kekuatan sehebat dirinya. Tapi …ahkk …rasa sakit in adalah butkitnya.’Rawai Tingkis mengusap kepalan tinjunya beberapa kali, tampaknya sudah bersiap untuk maju ke depan, menghadapi semua bandit yang ada di markas mereka.“Tunggu! Kau tidak ingin melepaskan ikatanku terelebih dahulu?”“Ikatanmu sudah lepas sejak tadi,” timpal Rawai Tingkis.“A-apa?”Bandit itu baru menyadari jika ke dua tangannya telah terbebas, tapi karena rasa sakit yang dialaminya, membuat dia tidak menyadari jika sejak awal simpul akar telah terlepas.Rawai Tingkis tersenyum tipis, kemudian dia berkata, “pergilah! Jika aku melihatmu lagi, dan kau masih menjadi bandit, aku akan membuat semua gigimu lepas, hikhikhik …”Setelah berkata seperti itu, Rawai Tingkis meninggalkan bandit tersebut, dan mulai melewati jalan setapak menuju ke arah markas besar para bandi
Beberapa waktu telah berlalu Rawai Tingkis dan para bandit yang melindungi markas telah bertarung begitu sengit, yang membuat sebagian besar tempat tersebut mengalami kerusakan.Namun, musuh yang akan dihadapi oleh Rawai Tingkis saat ini hanya menyisakan beberapa orang saja.Di antara mereka semua telah terluka cukup parah, dengan tangan dan kaki yang patah. Beberapa yang lain terlihat mengalami pendarahan pada bagian kepala setelah dua buah batu mendarat tepat di batok kepalanya.Sementara itu, Rawai Tingkis sepertinya masih bisa melanjutkan pertarungan ini hingga beberapa jam kemudian.Sayangnya, ada satu masalah yang kini menerpa dirinya. Yaitu kantuk, atau keinginan untuk tidur yang telah menjadi penyakit bagi dirinya.“Jangan sekarang …” gumam Rawai Tingkis, seraya membuka matanya lebar-lebar tapi tetap saja, matanya ingin menutup. “Tolonglah, jangan-“Dia berjalan menuju tiga bandit yang terluka cukup parah, tapi sebelum dia menyerang mereka, Rawai Tingkis malah jatuh ke tanah d
Kilindung alias Si Tangan Setan atau Pimpinan Bandit gunung, begitu terkejut melihat Rawai Tingkis berhasil melepaskan ikatan yang dibuat oleh anak buahnya.Belum sempat pula dia bergeming, Rawai Tingkis telah mendaratkan tendangan tepat ke tubuh Kilindung, membuat dirinya terpental beberapa depa ke belakang.Beruntung Kilindung berhasil menyeimbangkan tubuhnya sebelum sempat terjengkang ke belakang. Wajahnya sontak menjadi semerah kulit udang masak.Giginya terdengar bergeretak, jari jemari tangannya mulai mencengkram gagang golok dengan kuat.Namun sebelum dia melakukan serangan, lima penjaga gudang yang memiliki level jauh lebih tinggi dibandingkan dengan para bandit sebelumnya, langsung menyerang Rawai Tingkis.Sekarang, sedikit lebih sulit memang, menghadapi lima orang ini. Namun, bukan berarti Rawai Tingkis bisa ditekan oleh mereka.Serangan golok melaju cepat dari arah kiri, tapi akhirnya menancap pada kulit pohon. Sedetik sebelumnya, Rawai Tingkis berhasil bergerak ke belakang
Tangan Rawai Tingkis berhasil ditangkap oleh Pimpinan Bandit, lalu dia dilempar sekuat mungkin hingga menghantam atap utama rumah persembunyian.Alhasil, tubuh bocah itu melambung cukup tinggi, lalu terdengar suara benda jatuh tepat di dalam rumah.“Aduh duh duh …” Rawai Tingkis meraba bokongnya yang ngilu karena jatuh di atas logam sebesar kepalan tinju. “Apa ini?”Dia menyapukan pandangan ke sekeliling, melihat banyak sekali harta benda di sini, perhiasan, kendi-kendi yang dibalut menggunakan kain merah, atau pula beberapa peti. Namun yang menarik perhatiannya, adalah tanaman yang berjejer rapi di dalam pot dan digantungkan di dinding rumah.“Apa di antara tanaman ini terdapat tanaman pepedas?” gumam Rawai Tingkis.Dia belum sempat memeriksa satu persatu tanaman tersebut, tapi musuhnya telah berada di dalam ruangan seraya mengarahkan mata golok ke depan.“Jadi ini semua harta benda yang kau rampas dari orang-orang lemah?” tanya Rawai Tingkis.Kilindung tidak menjawab saat ini. Seben
Rawai Tingkis tertawa kecil lalu berkata, “kau tidak akan mengalahkanku dengan kondisi kakimu seperti itu.”“Keterlaluan, kau menghinaku!”Rawai Tingkis tidak peduli dengan ucapan Kilindung, dia berjalan ke dalam gudang milikinya, lalu mengambil kain berukuran lebar yang ada di dalam ruangan tersebut.Dia meletakan satu persatu tanaman di dalam gudang, lalu membungkusnya dengan hati-hati.“Aku tidak tahu seperti apa wujud tanaman pepedas, jadi aku akan membawa semuanya.”“Berhenti Bocah!” ucap Kilindung, “Pertarungan kita belum berakhir!”“Tidak,” timpal Rawai Tingkis, “jika kau ingin bertarung aku siap kapanpun, tapi saat ini kau sudah kalah. Hahaha …kau mungkin akan jadi temanku di kemudian hari, atau mungkin tetap menjadi musuhku, itu semua pilihan hidupmu.”Senyum penuh arti muncul dibibir Rawai Tingkis, sebelum dia kemudian pergi dari tempat tersebut, berjalan santai meninggalkan semuanya.Kilindung menatap Rawai Tingkis yang perlahan mulai hilang ditelan kabut tebal, lalu dia me
Pedang ringan menjadi begitu berat jika harus diayunkan sebanyak 2000 kali dalam satu hari.Latihan ini bertujuan agar Rawai Tingkis memiliki tebasan yang mantap, akurat dan juga kuat.Tabib Rabiah meminta Rawai Tingkis berlatih tebasan seperti ini, sampai batas waktu yang tidak ditentukan.Mungkin satu tahun, atau bahkan mungkin dua tahun lamanya.“Cukup pelajari satu gerakan sebanyak ribuan kali, daripada memiliki ribuan gerakan tapi hanya dipelajari sekali.”Di hari ke tujuh, telapak Rawai Tingkis akhirnya terkelupas. Sekarang, terlihat telapak tangan itu mulai berdarah, tapi Tabib Rabiah tidak meminta Rawai Tingkis untuk menghentikannya.“Apa itu terasa sakit?” tanya Tabib Rabiah.“Tidak juga,” timpal Rawai Tingkis, “aku masih bisa melakukan latihan, Guru.”Tabib Rabiah hanya menghela nafas panjang, karena dulu ketika dia mempelajari tekenik pedang bebas, tangannya tidak bisa digunakan selama satu bulan karena latihan yang diberikan oleh gurunya.Namun, meski demikian, Tabib Rabia