Share

4. Adaptasi

Dua tanganku diletakkan di atas gagang pintu lalu menekannya ke bawah. Setelah terdengar ‘klik', aku mendorong dua pintu itu sekaligus hingga terbuka lebar.

Aroma harum dari bahan-bahan alami seperti vanila bercampur bunga violet menyeruak masuk ke paru-paru mereka ketika pintu tersebut baru terbuka. Terdapat satu kasur berukuran besar yang cukup untuk dua orang dalam satu ruangan tersebut. Tempat tidur itu memiliki atap kelambu dan berada di sisi kiri dari arah pintu. Di ruangan tersebut juga memiliki dua lemari kayu dengan dua daun, meja belajar, sebuah teknologi berbentuk tipis yang tergantung berlawanan arah tempat tidur yang bernama TV, berbagai teknologi lainnya yang tak aku mengerti, dan satu pintu kamar mandi yang berada dekat dengan lemari. Jika aku perhatikan, kamar luas ini tampak seperti gabungan dari dua kamar berbeda.

“Ini surga,” gumamku tak sadar saat melihat betapa nyamannya kamar tersebut padahal baru berdiri di sekitar mulut pintu.

Eva tertawa sekilas. “Tuan Muda lucu sekali. Padahal Tuan Muda paling tidak suka di kamar.”

Alisku terangkat dengan mata melirik pada Marvin. “Nanti kau akan tahu sendiri kenapa aku benci kamar ini, Jovian,” jawabnya.

“Bibi permisi dulu ya Tuan Muda. Tolong segera tidur setelah bersih-bersih dan minum cokelat panas. Bibi tidak mau lihat Tuan Muda besok sakit.”

Aku mengangguk dan tersenyum tipis. “Iya, Bi. Terima kasih, ya.”

Setelah aku bersih-bersih dan minum cokelat panas, aku tidak segera tidur seperti yang diminta oleh Eva. Melainkan, aku bicara empat mata dengan Marvin terkait kehidupannya ini. Aku perlu rencana untuk menghadapi jadwal padat itu. Aku perlu menyiapkan apa yang perlu disiapkan untuk menghadapi kehidupan baru ini. Aku perlu... Adaptasi.

“Sepertinya kamu bukan dari kalangan terpandang, makanya kamu agak gugup ya, Jovian?” tanya Marvin setelah aku selesai menuliskan agenda-agenda apa saja yang tadi disebutkan Eva.

Aku sedikit terkejut saat melihatnya juga mengenakan piyama yang sama denganku. Tapi pertanyaan itu aku simpan saja dan tidak aku sampaikan ke Marvin, sebelum dia membalasku dengan pernyataan yang membuatku tersadar.

“Keputusan yang bijak,” ucap Marvin seraya tersenyum miring.

Aku mendecak sebal. “Berhenti membaca pikiranku!”

“Aku tidak bisa. Apa yang kamu pikirkan, pasti selalu bisa aku dengarkan.” Dia melayang mendekat ke wajahku dan terus tersenyum, lalu berbisik sesuatu yang membuatku merinding. “Seperti kita berada dalam satu tubuh yang sama.”

Aku mendorong wajahnya, namun berakhir tembus. Aku gerak-gerakkan tanganku seolah sedang menghapus asap depan wajahku. Tapi tidak berpengaruh sama sekali. Dia bukan asap yang bisa menghilang saat terkena hembusan angin.

Marvin tertawa sekilas dan menarik wajahnya. “Benar kata Bi Eva. Menjahili diri sendiri bisa menghibur diri.”

Aku mengernyit. “Aku Jovian, bukan Marvin!” seruku.

“Tidak ada yang bisa melihat jiwa dan mengetahui dengan sekali pandang bahwa di depannya itu Jovian, bukan Marvin,” timpalnya.

“Kalau begitu, aku umumkan namaku Jov—“ Aku menjeda ucapanku dan teringat dengan peringatan dari Marvin bahwa mengaku Jovian secara mendadak akan membuat kerugian bagi diriku sendiri ditambah tidak sedikit orang yang pasti langsung menganggapku gila. Dia diam saja, tapi senyum sombong seolah dia selalu benar seolah tak hilang. “Kau tahu, kau pemuda paling menyebalkan yang pernah aku temui.”

“Aku tidak bisa membayangkan pemuda menyebalkan era 1985 seperti apa.”

“Tidak usah dibayangkan.” Aku menunjuk tulisan di atas buku catatan kosongnya. “Kita bicarakan ini dulu.”

“Wow. Ternyata tulisan tahun 1985 sebagus ini.”

Aku berkerut dan melihat tulisanku. Tulisan sambung dengan garis yang agak bergelombang gara-gara aku baru pertama kali menggunakan pena modern ramping yang sensasinya sangat berbeda dengan pena berbentuk lebih gemuk yang biasa aku gunakan untuk menulis. “Ini jelek.”

“Bandingkan dengan tulisanku. Lihat saja di balik buku tulis ini.”

Aku membuka beberapa lembaran lain di buku tulis itu dengan rasa penasaran. Aku cukup tertegun saat melihat ada kata-kata kasar, tidak senonoh, dan kebencian yang tertulis di kertas itu. Semua kata-kata ditunjukkan oleh nama-nama yang tak aku kenal kecuali Vina dan Viona. Tulisannya besar-besar, tampak kasar, dan ada... noda berwarna merah agak kecokelatan. Apa mungkin ini...?

“Iya. Itu darahku. Aku coba untuk buat kutukan ke mereka mengikuti tutorial youtube. Tapi sepertinya tidak berpengaruh.”

Aku menatapnya antara iba dan kesal. Tidak memedulikan apa makna Youtube yang dia bilang tadi. “Kau sedepresi itu, ya?”

“Kau pikir? Kau pikir aku lompat dari atas jembatan cuman buat main-main?” sahutnya.

“Aku cuman memastikan, Marvin.” Lalu aku melihat dua tanganku, dan melipat lengan panjang piyama kelabu hingga ke siku. Aku melihat ada bekas luka sayatan di sekitar lengan, bahkan di dekat pergelangan tangan.

“Padahal tadi kau baru selesai mandi. Memang kau tidak melihat tubuh—”

“Sejujurnya, Marvin,” potongku. “Aku memejamkan mata saat mandi. Mengira-ngira bagian mana yang perlu dibersihkan dan yang perlu dihindarkan agar tidak tersentuh.”

“Hah?” Marvin menatapku tak percaya dengan kerutan di kening. “Itu tubuhmu, Jovian!”

“Tapi aku bisa melihat yang punya tubuh!” Aku menunjuknya dengan wajah sedikit memerah. “Kalau aku tidak bisa melihatmu dan tidak tahu siapa pemilik asli tubuh ini, pasti aku akan mengira ini tubuh baruku! Kau pikir aku menikmati sesi mandiku tadi setelah kau mengajariku menggunakan shower atau bath-up? Tidak, Marvin! Aku tidak nyaman setelah tahu kau bisa keluar masuk kamar mandi tanpa ketahuan!”

Akhirnya aku mengeluarkan rasa khawatirku yang hampir terpendam. Aku mendengus kesal sambil melemparnya dengan buku catatan. Buku itu menembus raganya dan mendarat di atas kasur. Lalu dia berkata, “Baiklah, maaf. Tapi aku di sini saja selama kau mandi. Aku tidak ingin mengingat masa lalu dengan memandang tubuh penuh bekas luka itu,” ucapnya dengan suara lebih tenang.

“Maaf diterima.”

“Apa kau bisa mendengar isi pikiranku?”

Aku kembali mengernyit. “Kau bisa bicara dalam pikiran?”

Dia melirik ke kanan dan kiri sejenak. “Oh, ok. Sepertinya tidak bisa. Bagus lah.”

“Apa? Kau bisa baca pikiranku, tapi aku tidak bisa baca pikiranmu?! Itu tidak adil!” seruku lagi.

Belum sempat Marvin membalas, tiba-tiba pintu kamar didobrak.

“BERISIK SEKALI! KAU BICARA SAMA SIAPA?!”

Meski masih buram, piyama ungu yang agak mencolok itu membuatku tahu bahwa yang mendobrak masuk adalah Viona.

“Tidak ada orang? Kau gila ya?” tambah Vina di belakangnya.

Marvin menatap mereka panik. Dia menepuk pundakku beberapa kali meski raganya tembus. “Aku lupa menyuruhmu kunci pintu! Usir mereka sekarang, Jo! Usir!” pintanya.

Apa? Usir? Tingkah bedebah seperti mereka harus dilawan! Begitu pikirku sekaligus membalas ucapannya.

“Itu bukan urusan kalian,” ucapku dingin pada meraka.

“Bukan urusan kami, kau bilang?” ulang Viona. Dia menghampiri rak buku dekat pintu. “BUKAN URUSAN KAMI, HAH?” Dia menjatuhkan rak kayu tersebut. Berbagai buku jatuh dari tempatnya.

“Hey!” Aku berjalan cepat menghampirinya, namun malah dihalang oleh Vina yang langsung mendorongku ke belakang. Dengan sekali dorongan, dia bisa menjatuhkanku ke belakang. Aku bisa merasakan tenaganya yang sangat kuat. Beruntung aku mendarat di atas karpet empuk.

“Vin, jadi acak-acak kamar ini?”

“Jadi.” Mereka berdua menyeringai.

Vina menuju lemari dan mengeluarkan semua isi pakaiannya. Viona ke meja belajar, membuka laci-laci meja dan melempar-lempar benda-benda di dalamnya. Bahkan benda itu ada yang hampir mengenai sisi TV!

“Jovian! Kabur! Jangan di sini!” seru Marvin.

“Kabur? Enak saja. Aku tidak akan kabur,” ucapku sambil beranjak. Aku melihat sekitar, mencari benda yang bisa digunakan untuk melawan mereka. Manikku mengarah pada buku-buku ensiklopedia yang tercecer dekat pintu. Aku segera mengambil tumpukan buku tebal itu, kemudian...

“Jangan lempar!” Marvin berdiri di depanku, namun lemparan itu menembus raganya dan berhasil mengenai punggung Viona. Terdengar suara degupan dari hantaman itu. Mereka berdua seketika berhenti.

“Ouch. Pasti sakit,” ledekku.

“KAU—“

Aku melempar buku ensiklopedia kedua ke arah Vina, tapi dia bisa menghindarinya. Dia malah melemparku dengan kaos-kaos dalam lemari. Viona juga melemparku dengan alat-alat tulis. Aku bisa menghindari mereka. Aku juga segera melempar buku ensiklopedia ketiga. Mereka sedikit teriak saat melihatku melempar. Aku tidak berhenti begitu saja. Aku ambil buku-buku lain, dan segera melemparnya pada mereka.

“Keluar! KELUAR DARI KAMARKU SEKARANG!!!”

Aku berjalan menyuduti mereka. Saat aku berhenti melempar, mereka segera lari tunggang-langgang keluar kamar. Aku pun segera menutup pintu kamar dan menguncinya. Kalimat terakhir dari Viona yang samar-samar aku dengar sebelum mereka kembali ke kamar adalah, “Marvin bisa melawan? Bagaimana bisa?!”

Pertanyaan itu justru aku arahkan pada arwah pemuda yang melayang beberapa senti dari atas karpet empuk.

“Jadi selama 20 tahun kau hidup, kau tidak melawan mereka?” tanyaku sambil melipat tangan.

Marvin menggeleng. “Tidak. Papaku selalu bilang... jangan melawan perempuan, terutama kakak dan Mama...”

Ada rasa dalam diri yang ingin sekali meninju isi pikiran Marvin. Geregetan, ya, itu rasanya. Tapi aku juga tidak bisa menyalahkannya jika sudah dididik dari kecil untuk seperti itu. Senyum penuh keoptimisan terukir di wajahku.

“Baiklah kalau begitu. Aku akan beradaptasi dengan lingkungan ini.” Aku meregangkan tubuh sejenak dan membunyikan beberapa jari tangan. “Karena aku juga seorang Papa—orang tua tunggal dari tiga anak—akan aku tunjukkan padamu bagaimana cara aku bertahan hidup di dunia kejam ini. Mereka akan melihat sosok Marvin yang berbeda!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status