.
"Mas ... mas kenapa kamu?" Suara seorang pria menyentak lamunan. Pria tersebut menegur karena melihat aku seperti orang ketakutan. Aku menjawab tidak apa-apa. Sehingga membuat pria tersebut tak bertanya lagi, walau mungkin dia tak percaya apa yang aku katakan, setelah sampai tujuan aku bergegas membayar ongkos.
Pintu gerbang perusahaan yang terbuat dari kayu jati tebal bercat hitam, menyambut. Dulu pertama kali menjejakkan kaki di tempat ini, sempat berpikir betapa anehnya bangunan di sini, tembok besar mengelilingi sebuah lahan luas yang hanya terdapat bangunan-bangunan kecil berbentuk unik, seperti rumah bergaya tempo dulu di dalamnya. Padahal setahu aku, pabrik ini merupakan perusahaan besar bonafid di penjuru negri, seharusnya bangunan megah dan mewah, tetapi rasa senang karena di terima bekerja membuat aku tak memikirkannya hingga kejadian aneh terus mengikuti.
Tiba di pos keamanan aku memberitahukan tujuanku datang, Pak Dino salah satu petugas yang berjaga mengantarkan ke salah satu bangunan berwarna merah yang terletak di sudut sebelah Timur. Seorang pria berwajah tampan dan gagah bernama Pak Steven memperkenalkan diri sebagai Manajer perusahaan tersebut, dengan ramah Pak Steven menyambut dan menjamu.
"Mari, Mas Adi! Dinikmati suguhannya," ucap Pak Steven, setelah beberapa wanita cantik berpakaian hitam datang dan menaruh berbagai macam makanan dan minuman di atas meja.
Pandanganku tertuju ke botol putih yang isinya cairan berwarna merah. Aku berpikir itu adalah sejenis minuman keras, anggur yang difermentasi. Sontak pertanyaan dibenakku, apa Pak Steven tidak mengetahui bahwa aku seorang muslim? Anehnya lagi hari masih pagi kenapa bukannya kopi atau teh yang di sajikan, tetapi minuman beralkohol.
"Bagaimana mas, setelah sebulan bekerja di sini?" tanya Pak Steven sambil menuangkan cairan berwarna merah ke gelas lalu memberikannya padaku. Aku menerima gelas tersebut dengan setengah hati. Belum sempat menjawab pertanyaan, suara pak Steven memecah kesunyian, "Minum, Mas Adi, nanti kamu akan terbiasa dengan minuman itu." Senyum tipis terlihat di bibir merahnya. Warna bibir yang tak umum untuk seorang pria.
Aku terus memandang cairan merah pekat yang berada di dalam gelas, meski ada perasaan jijik, karena tidak enak dengan pak Steven yang terus menyuruh lembut, maka ucapan Basmallah meluncur seraya kudekatkan bibir gelas ke mulut. Namun, selesai mengucap tiba-tiba cairan di gelas bergolak dan terasa panas, sontak aku melemparkannya ke lantai karena kaget.
"Bangsat!" teriak Pak Steven bangun dari duduk seraya mengelap percikan cairan merah di celananya. Seiring ucapannya muncul beberapa pria berpakaian serba hitam dari arah dalam.
Merasa bingung karena kejadian tadi, ditambah Pak Steven yang tiba-tiba berkata kasar, membuat aku hanya diam terpaku. Hingga sebuah tangan mencengkram bahu. Ternyata yang melakukannya adalah salah satu pria berpakaian hitam. Namun, itu tak berlangsung lama karena Pak Steven menyuruh para pria tersebut untuk pergi.
"Hemm ... maafkan atas ucapan saya tadi, tetapi saya ingatkan untuk tidak mengucap kalimat pujian kepada Tuhan, apalagi di lingkungan perusahaan. Mengerti Mas Adi?" tanya Pak Steven sambil memegang tanganku erat. Terasa ada hawa panas keluar dari tangannya. Aku yang tadinya hendak menanyakan alasan larangannya, kini hanya terdiam, mendengarkan semua penjelasan Pak Steven. Terutama saat dia berkata aku adalah salah satu orang terpilih. Setelah berkata seperti itu, Pak Steven mengeluarkan gelang baja bagian dalamnya bertuliskan simbol-simbol yang tidak aku mengerti. Gelang sama persis, seperti dipakai Mas Gondo dan Pak Steven.
"Pakailah, gelang ini, mas!" perintah Pak Steven sambil menyerahkan gelang kepadaku. Aku memegang gelang tersebut dengan tangan gemetar. Merasa ada yang tak beres dengan ini semua aku segera meletakkan gelang di meja dan hendak berlalu.
"Maaf, Pak. Jika sudah tidak ada yang dibicarakan tentang urusan pekerjaan, saya mohon pamit," ucapku, lalu bangkit berdiri hendak bersalaman, tetapi kembali tangan Pak Steven yang kekar mencengkeram tanganku seraya berkata, "Hemm, kau memang tak bisa di ajak bicara baik-baik, ya, Di?" Aku tersentak mendengar perkataan Pak Steven. Tadi dia bersikap sopan, tetapi dalam sesaat Pak Steven berubah menjadi kasar. "Tahukah kamu? Berapa orang yang ingin mendapatkan posisimu? Ratusan, tetapi kamu malah mau pergi begitu saja. Bodoh!" Sentak Pak Steven seraya menarik tanganku ke luar menuju bangunan paling besar. Aku berusaha melepaskan tangan pak Steven. Namun, cengkeramannya semakin kuat dengan pandangan tajam dia berkata, "Turuti atau kau mati sia-sia!"
Bangunan yang dituju merupakan sebuah rumah bergaya klasik. Aku pernah melihatnya di film lama buatan luar. Letaknya yang agak tersembunyi ditutupi pepohonan akasia yang berjajar rapih membuat luput dari perhatianku selama ini. Pak Steven terus menarikku hingga sampailah di depan pintu rumah. Seorang pria berpakaian hitam menyambut dan membukakan pintu untuk kami. Ternyata rumah tersebut hanya terdiri dari satu ruangan saja. Di dindingnya bergambar simbol- simbol yang mirip dengan gelang yang tadi diberikan oleh pak Steven. Lilin-lilin menyala juga tampak memenuhi ruangan tersebut, tetapi yang membuatku bergidik, adalah patung besar berbadan manusia berkepala hewan tanpa menggunakan pakaian. Kedua tangan patung tersebut memegang hiasan berbentuk kepala manusia yang mengering, tetapi di mataku terlihat seperti kepala sungguhan.
"Inilah, junjungan kami, Di ... yang memberi kesehatan, usia panjang dan tentunya kekayaan yang berlimpah dan kau juga akan seperti aku, usia yang panjang serta kekayaan yang tak kan habis hingga tujuh turunan. Namun, semua itu ada syaratnya," ucap Pak Steven sambil berputar mengelilingi ruangan.
Aku mendengarkan perkataan pak Steven dengan saksama dan bersiap melarikan diri jika ada kesempatan. Pria berpakaian hitam sudah tak tampak sedangkan pak Steven berdiri membelakangi. Aku hendak berbalik pergi, tetapi tiba-tiba pak Steven membalikkan tubuhnya berkata sambil tertawa, "Hmmm, kau sudah terikat dengan kami jadi kau tak kan bisa pergi. Hahahaha ...."
Aku beringsut mundur, melihat wajah pak Steven berubah menjadi merah, giginya gemeletuk seperti menahan amarah. Kembali dia mencengkram tanganku, yang terpaku tidak bisa bergerak, "Dengar Adi, kau sudah menjadi bagian kami seperti halnya Gondo. Kau harus mengabdi pada junjungan kami," ucap Pak Steven yang kini wajahnya tepat menghadapku.
Maksud, Bapak?" tanyaku dengan suara gemetar.
"Uang syarat tumbal pertama sudah kau gunakan. Pertanda jiwa sudah terikat dengan junjungan yang mulia. Hahahhah ...." Pak Steven terlihat senang saat menjawab. Mulutnya terbuka lebar dan bola matanya berpijar. Aku terkesiap kaget mendengar jawaban Pak Steven lalu membantahnya karena aku pikir Sumi tidak akan berani menggunakannya sebelum diijinkan olehku.
"Tidak mungkin! Uang tersebut masih utuh di lemari. Aku akan kembalikan hari ini juga!" ucapku tegas. Pak Steven kembali tertawa, lalu ucapannya kembali menyentak. Hingga aku segera melepaskan pegangan Pak Steven dan berlari keluar dari tempat itu. Sempat aku dengar suara yang mengatakan kenapa pak Steven melepasku. Jawaban pak Steven membuatku merinding. Dia bilang aku akan kembali lagi. Aku terus berlari sampai luar pintu gerbang perusahaan. Petugas keamanan hanya memandang heran tanpa mengucap satu patah kata pun
Sesudah turun dari kendaraan umum yang membawaku pulang, dengan tergesa setengah berlari aku menuju rumah. Sumi terlihat duduk di teras asik merapihkan barang belanjaan, sepertinya dia juga baru sampai. Terlihat pintu masih terkunci. Melihat aku sudah pulang Sumi menyambut, ada terbersit rasa heran di wajahnya."Bang, kok pulangnya, cepat? Memangnya tidak antar barang?" tanya Sumi lembut. Bukannya menjawab aku malah bertanya tentang uang yang di amplop. Sumi tertunduk menjawab pelan bahwa uangnya sudah terpakai untuk membeli perlengkapan bayi dan di pinjam Tini."Aduh ... sudah abang bilang di amplop jangan dipakai! Memang kurang uang yang di ATM, Sum?" Dengan suara keras aku bertanya pada Sumi, sedangkan Sumi menahan tangis menjawab, "Tadi aku suruh Tini terlebih dahulu ambil uang di ATM, tapi tidak ada saldonya bang. Aku pikir pakai uang di amplop saja nanti diganti dengan gaji abang.""Akhhhh ... aku menjambak rambut, bingung harus bagaimana. Ucapan pak Steve
Teriakan terhenti saat pandangan menjadi kabur, ruangan penuh asap tipis. Bergulung-gulung membentuk sesuatu di depanku. Memicingkan mata cara terbaik untuk bisa melihat dengan jelas. Ternyata asap tersebut menampilkan peristiwa pembantaian, proses kelahiran, kecelakaan hingga upacara pengorbanan. Aku memandang dengan tubuh gemetar. Tampaknya Pak Steven tadi mengusap wajahku bermaksud memberitahu hal apa saja terjadi pada perkumpulan mereka dan terakhir yang kuingat sebelum pingsan kembali adalah penampakan makhluk mirip patung besar yang pernah aku lihat namun lebih mengerikan. Makhluk tersebut memakan tubuh dan jiwa-jiwa manusia yang dikorbankan.Kepala terasa sakit dan tubuh bagaikan ditusuk ribuan jarum saat tersadar kembali. Masih di tempat yang sama dalam keadaan terikat pula yang jelas aku tidak mengetahui saat ini pagi, siang atau malam. Dirasakan aneh, aku tak merasa lapar atau haus sedikit pun, saat memikirkan hal-hal yang terjadi pintu terbuka. Lima orang pria berp
Terdapat sebuah bak mandi besar terbuat dari bebatuan indah, berisikan air yang sudah di campur berbagai bunga. Setelah melepas seluruh pakaian, aku segera berendam. Tubuh terasa segar, seperti ada yang memijat. Aku menikmati sensasi tersebut sambil memejamkan mata. Diantara sadar atau tidak, sesosok wanita cantik tiba-tiba muncul dihadapanku. Tubuh polos tanpa sehelai benang, memasuki tempatku berendam. Dia mendekatkan bibirnya ke wajahku, mencumbu dengan ganasnya. Hampir aku terlarut dalam permainannya. Namun tersadar hal ini tidak benar. Aku mendorong tubuh wanita tersebut, terlihat rasa kecewa dan marah di raut wajahnya. Kembali dia memaksa memeluk serta mencium, tetapi kali ini aku tidak bisa bergerak, seperti ada kekuatan yang menahan tubuh agar tidak menolak semua perbuatan wanita cantik itu. Kini aku hanya bisa pasrah, menikmati semua sentuhan, belaian. Bahkan saat dia mulai melakukan lebih jauh aku berteriak, rasanya begitu nikmat. Lelah aku pun tertidur. Ciuman basah membu
"Tolong ... tolong ...." Sayup- sayup aku mendengar suara, tetapi jangankan untuk bergerak, membuka mata saja sulit rasanya. Terasa ada yang menetes di dahi, membuatku terpaksa perlahan membuka mata karena tetesan itu kini membentuk genangan di sekitar wajah. Merah serta bertekstur kental saat dilihat olehku cairan yang menetes tersebut. Bergegas aku duduk di atas ranjang, pandangan mencari- cari ke segala arah, tetapi tidak menemukan apapun kecuali keringat membasahi sekujur tubuh. Rupanya aku tertidur dan bermimpi buruk. Ketika hendak melanjutkan tidur kembali terdengar suara minta tolong lagi. Namun, kali ini suara yang dikenali olehku yakni suara Sumi."Bang Adi, tolong ....!"Sontak aku melompat dan berlari ke arah asal suara walau mata rasanya masih sangat mengantuk dan terasa berat."Sumi!" teriakku saat melihat Sumi duduk di lantai dapur dengan memegang perut. Wajahnya meringis menahan sakit, sungguh kondisi yang menyedihkan."Bang, bawa aku ke Bi
"Ya, Sum ... abang lelah banget. Ya, sudah abang mandi dulu,"Aku segera bergegas ke kamar mandi, bayangan wanita berkepala kuda terus menghantui."Sum, abang berangkat ... ucapku setelah mandi dan sarapan. Sumi tidak menjawab hanya mengangguk dan menatap dengan pandangan aneh.Setibanya di perusahaan aku hanya memandang gerbangnya. Baru di sadari ternyata di depannya terdapat juga simbol-simbol yang sama. Aku memandang gelang yang melingkar di pergelangan tangan seraya berpikir bagaimana lepas dari semua ini.Suara klakson. mengagetkanku, terlihat Mas Gondo mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil."Hoi, Di ... ngapain? Buruan masuk!" teriak Mas Gondo.Mobil bergerak maju meninggalkanku yang masih termanggu hingga beberapa karyawan menyapa dan mengajakku masuk.Setelah mendapat pengarahan Pak Steven aku menuju parkiran di mana truk-truk berjejer rapih. Truk putih sudah menungguku sebagai pengemudinya.Semilir angin bera
Aku terkesima, mendengar ucapan wanita itu yang sepertinya tahu apa terjadi pada diriku. Namun, mulut terbungkam tidak bisa berkata. Aku sempat mendengar, Bapak penolong, mengucapkan terimakasih pada wanita tersebut dan mengucap namanya 'Ibu Laras.'Aku mengangguk dan bergegas, tetapi tanganku ditarik seorang pemuda."Biar diantar saya, Mas," ujar pemuda tersebut.Sesaat berpikir, lalu mengiyakannya. Sepeda motor pemuda bernama Koko membawa kami menyusuri jalan menuju rumah sakit. Jantung rasanya mau copot saat melihat truk putih milikku terparkir di jalan."Berhenti, Dek!" Aku segera meloncat dari motor walau kondisi belum stabil. Aku segera mengamati truk milikku, seraya memanggil Sumi,, tetapi tidak terlihat sosoknya. Di belakang kemudi juga kosong yang ada hanya tas berisi pakaian. Aku juga dibingungkan dengan keadaan truk. Bannya tidak ada yang kempes. Akhirnya dengan perasaan tidak menentu, diiringi azan Subuh, aku pulang. Belum semp
Menjelang malam saat aku selesai tugas mengantarkan barang. Melapor pada atasan, absen lalu balik ke rumah. Hari ini aku ingin bermanja-manja dengan Sumi, apalagi kandungannya sudah masuk waktu lahir, pasti akan lama lagi nantinya meminta hakku padanya. Dalam perjalanan, aku tersenyum sambil berdendang membayangkan istriku yangg cantik itu. Sayangnya sesampainya di rumah, setelah membukakan pintu, Sumi aku dapati tertidur pulas di dalam kamar. Aku tidak tega membangunkannya, sehingga kutahan semua rasa yang bergejolak dengan mengguyurkan air dingin ke seluruh tubuh, terutama bagian kepala.Setelah mandi, aku duduk di teras sambil menghisap rokok kesukaan. Hawa terasa dingin sekali, kusesap kopi hitam panas yang tidak terlalu enak karena aku membuatnya sendiri, biasanya Sumi membuatnya. Aku mengedarkan pandangan, suasana sekitar rumah sudah sepi. Tampaknya para tetangga telah menikmati mimpi-mimpi dalam tidurnya.Aku mendengus, sedikit meratapi nasib sambi
Perjalanan ke sana tidak membutuhkan waktu lama, tetapi menunggu bongkar muatanlah yang membuatku bosan, sehingga memutuskan berjalan melihat-lihat ke dalam mall. Aku tertarik saat melintas di sebuah gerai perlengkapan bayi. Kereta dorong hijau muda, segera kubeli agar nanti jika bayiku sudah lahir Sumi tidak terlalu lelah harus menggendongnya terus. Pasti istriku akan senang, aku membelikannya. "Mas, maaf dompetnya jatuh!" Teriakan seorang pria mengagetkanku saat menuruni eskalator. Aku berbalik dan mengucapkan terimakasih padanya sudah diingatkan. Ketika menuju parkiran, aku berpikir seperti pernah melihat pria tersebut, tetapi kutepis semuanya, mungkin hanya perasaanku saja. Sudah hampir masuk Ashar, ketika pembongkaran barang selesai dan aku masih harus ke pelabuhan untuk mengambil barang yang baru turun dari kapal. Untung saja cuma bertugas mengantar bukan bongkar, pasti sangat melelahkan dan menghabiskan waktu jika itu juga kulakukan. Ini saja sudah terlalu lam