Teriakan terhenti saat pandangan menjadi kabur, ruangan penuh asap tipis. Bergulung-gulung membentuk sesuatu di depanku. Memicingkan mata cara terbaik untuk bisa melihat dengan jelas. Ternyata asap tersebut menampilkan peristiwa pembantaian, proses kelahiran, kecelakaan hingga upacara pengorbanan. Aku memandang dengan tubuh gemetar. Tampaknya Pak Steven tadi mengusap wajahku bermaksud memberitahu hal apa saja terjadi pada perkumpulan mereka dan terakhir yang kuingat sebelum pingsan kembali adalah penampakan makhluk mirip patung besar yang pernah aku lihat namun lebih mengerikan. Makhluk tersebut memakan tubuh dan jiwa-jiwa manusia yang dikorbankan.
Kepala terasa sakit dan tubuh bagaikan ditusuk ribuan jarum saat tersadar kembali. Masih di tempat yang sama dalam keadaan terikat pula yang jelas aku tidak mengetahui saat ini pagi, siang atau malam. Dirasakan aneh, aku tak merasa lapar atau haus sedikit pun, saat memikirkan hal-hal yang terjadi pintu terbuka. Lima orang pria berpakaian hitam masuk membuka ikatan lalu membopongku keluar. Simbol-simbol yang pernah aku lihat tempo lalu tergambar di sepanjang dinding lorong yang dilewati. Sebuah ruangan yang luas dipenuhi orang-orang berjubah hitam menutupi kepala adalah tempat di mana aku kini berada. Patung makhluk mengerikan yang sama tampak di ujung ruangan di depannya terdapat altar terbuat dari batu pualam.
Kini tubuhku diletakkan di altar tersebut, dengan kedua tangan terikat rantai terbuat dari emas.
"Lepas, cepat lepaskan, aku!" teriakku, suaranya bergema memenuhi ruangan.
Tiga orang mendekat membuka penutup kepala. Terlihat salah satunya adalah Yudhis, sedangkan dua orang lainnya adalah seorang pria mirip pak Steven, sedangkan satunya lagi seorang wanita bertubuh kurus, berwajah datar. Aku seperti pernah melihat, entah di mana. Saat mengingat sosok tersebut, pria yang mirip Pak Steven menyerahkan sebilah belati yang gagangnya berukir indah ke wanita tersebut, seraya mengucap, "Laksanakan tugasmu Retno, hanya engkau yang bisa melakukannya. Anak ini lebih sulit dari yang kita kira."
Wanita bernama Retno, berdiri di samping. Mulutnya komat-kamit membacakan rapalan yang bahasanya tidak kumengerti. Belati diarahkan ke nadi tangannya, menggores lalu berteriak, "Yeikkk... slavianus dantre!" Darah mengalir deras, lalu diarahkan ke mulutku yang tiba-tiba seperti ada kekuatan tak terlihat memaksanya terbuka, darahnya terus memasuki mulut dan rongga tenggorokanku. Sedikit tersedak aku menelannya. Dalam hati hanya bisa mengingat Tuhan, tetapi bibir susah mengucap. Saat dada terasa sesak karena pengaruh dipaksakan meminum darah, membuat aku hampir tidak sadarkan diri. Melihat gelagat tersebut, Retno menghentikan tindakannya. Tangannya membekap mulutku, matanya terpejam, seiring hal tersebut, aku merasakan kesegaran di seluruh tubuh. Retno tersenyum, menjauh dariku. Setelah menjilat luka bekas goresan belati. Luka tersebut menutup tak berbekas.
Ikatan di tangan telah dilepaskan. Aku terduduk di atas altar memandangi orang-orang yang memutariku. Wajah dan tubuhku berlumuran darah Retno. Sontak aku teringat Sumi dan hendak bangun mencarinya. Namun, keinginanku tertahan saat melihat beberapa orang mendorong tubuh seseorang tepat di hadapanku.
Mas Gondo ....
Keadaan Mas Gondo terlihat memilukan. Pakaian yang dikenakannya sama sewaktu aku terakhir bertemu dengannya. Mas Gondo duduk bersimpuh. Yudhis mendekatinya lalu melemparkan belati seperti milik Retno ke hadapan Mas Gondo seraya berkata, "Lekas lakukan! Ini sudah kesekian kalinya kau berbuat konyol. Mengkhianati perkumpulan suci. Untung saja Sang junjungan masih bisa memaafkan. Nyawamu masih bisa terampuni."
Aku menatap lekat ke arah Mas Gondo yang mengambil belati lalu di arahkan ke lehernya.
Crash ....
Darah menyembur deras. Tubuh Mas Gondo bergerak tak karuan seperti halnya ayam disembelih. Aku terpekik dan melompat menghampiri Mas Gondo yang sedang menghadapi sakaratul maut. Tidak ada yang menghalangi kali ini. Orang-orang itu hanya memandang dengan seringai di wajahnya.
"Hrkkk ... grokhhh!" Suara mengerikan keluar dari mulut Mas Gondo. Menggelepar sesaat lalu, terdiam. Tubuh temanku itu kini tergeletak begitu saja di dalam kubangan darahnya sendiri.
"Kalian kejam sekali. Aku akan melaporkan semua ini pada pihak berwajib!" seruku dengan nada gemetar. Tangan terkepal, menuju Yudhis memukul tepat di wajahnya seraya berkata kembali, "Ini semua gara- gara kau. Teganya mengorbankan cucu serta keturunan. Gila kau!"
Yudhis tak bergeming, hanya senyum tipis di bibir yang berada sedikit darah akibat pukulanku tadi. Melihat Yudhis tenang seperti itu membuatku semakin geram. Jubahnya aku tarik dan bersiap memukulnya kembali.
"Sudah Di. Hentikan!"
Aku berbalik mendengar namaku di sebut.
"Astagfirullah!" Dihadapanku, Mas Gondo berdiri tegak sambil membenarkan posisi kepalanya. Dengkul terasa lemas. Aku terduduk di lantai, belum hilang rasa kaget, tubuhku diseret oleh beberapa pria lalu dimasukan kedalam patung yang ternyata bisa dibuka, menyerupai peti. Aku meronta, tetapi apa daya, badanku yang kurus tak sanggup menandingi mereka. Sesak rasanya berada di dalam, ditambah bau busuk membuat perut mual.
"Mari sekarang kita pergi, biarkan Sang junjungan yang menentukan. Jika dia bertahan hingga esok pagi, dia akan menjadi bagian dari kita." Suara Pak Steven terdengar menyuruh orang-orang pergi meninggalkanku.
"Woi, bukaaa!" teriakku sambil menggedor-gedor.
Namun tidak ada yang menolong. Kini hanya keheningan. Rasa kantuk mulai mendera, tetapi suara geraman menyentak, hingga membuka mata lebar-lebar, tetapi yang ada hanya kegelapan.
"Adi Wirya, terimalah takdir. Pendahulumu, telah menjadi pengikutku selama ratusan tahun. Waha ... ha ... ha ... ha." Seiring suara tersebut menghilang. Aku merasa seperti ada yang bergerak. Rasanya licin, jumlahnya bukan hanya satu, menggeliat, menaikiku, hingga kepala. Beberapa memasuki lewat lubang-lubang berada di tubuh. Sakit dan geli dirasakan. Hingga aku berteriak-teriak tidak sanggup menahannya. Untuk kesekian kalinya aku tak sadarkan diri, dalam posisi berdiri.
"Dia masih hidup." Suara berat menyadarkan aku yang langsung membuka mata. Memandangi satu persatu orang yang menatap dengan raut wajah bahagia.
"Bagus. Di. Bibik senang melihat kau masih hidup dan sehat, setelah prosesi semalam." ucapan Retno menyentak. Bibik? Siapa dia sebenarnya? Pertanyaan menggelayut di benak. Belum sempat mengungkapkan, pemilik tangan kekar segera menggendongku dan membawa keluar. Cahaya matahari terasa menyilaukan. Ternyata tempat ini, adalah bagian dari benteng yang luas di pinggiran hutan.
"Sudah, Di. Turuti saja aku!" Pemilik tangan kekar ternyata Mas Gondo. Melangkah menuju salah satu mobil mewah yang terparkir rapih, di luar benteng. Menaruhku di kursi penumpang, lalu berlalu mengendarai mobil meninggalkan tempat mengerikan itu.
"Mas, bagaimana Sumi?" Sontak pikiran mengarah ke istriku. Khawatir terjadi apa-apa dengannya.
"Sumi baik-baik saja. Dia aman di rumahmu. Sekarang kita ke rumahku. Membersihkan tubuh, lalu baru boleh pulang. Pasti Sumi bertanya-tanya, seminggu ini kemana. Nanti bilang, ikut mengantar barang ke pulau Sumatera, ya, Di," ucap Mas Gondo tegas.
Aku hanya mengangguk, serta memandang leher Mas Gondo yang tidak ada bekas luka. Hanya beberapa goresan seperti dicakar. Mengetahui dirinya diperhatikan, dia hanya tertawa terbahak-bahak menepuk dada lalu berkata, "Gondo, gitu loh!"
Aku berusaha mengingat-ingat kejadian yang dialami. Seperti mimpi buruk tak berkesudahan. Saat mulai merasa kantuk, tak berapa lama sampailah di sebuah perumahan elit. Diketahui pemiliknya adalah salah satu orang terkaya di dunia. Bisnisnya bermacam-macam, tetapi sosok tersebut tidak pernah tampil di publik. Cuma dari berita televisi dia seorang perempuan.
Memasuki gerbang perumahan, para penjaga keamanan terlihat begitu hormat serta segan kepada Mas Gondo dan itu menjadi pertanyaan di hati kembali. Betapa begitu banyak rahasianya. Hingga jawaban mulai terkuak saat sampai di sebuah rumah mewah, letaknya di paling sudut. Mas Gondo hendak menggendong kembali, tetapi dengan senyuman aku menolaknya, akhirnya dengan dituntun aku memasuki rumah yang diketahui milik Mas Gondo.
"Mandi dulu Di. Aku sudah mempersiapkan semuanya untukmu," ujar Mas Gondo seraya membuka pintu kamar mandi. Tercium bau harum saat aku memasukinya.
Terdapat sebuah bak mandi besar terbuat dari bebatuan indah, berisikan air yang sudah di campur berbagai bunga. Setelah melepas seluruh pakaian, aku segera berendam. Tubuh terasa segar, seperti ada yang memijat. Aku menikmati sensasi tersebut sambil memejamkan mata. Diantara sadar atau tidak, sesosok wanita cantik tiba-tiba muncul dihadapanku. Tubuh polos tanpa sehelai benang, memasuki tempatku berendam. Dia mendekatkan bibirnya ke wajahku, mencumbu dengan ganasnya. Hampir aku terlarut dalam permainannya. Namun tersadar hal ini tidak benar. Aku mendorong tubuh wanita tersebut, terlihat rasa kecewa dan marah di raut wajahnya. Kembali dia memaksa memeluk serta mencium, tetapi kali ini aku tidak bisa bergerak, seperti ada kekuatan yang menahan tubuh agar tidak menolak semua perbuatan wanita cantik itu. Kini aku hanya bisa pasrah, menikmati semua sentuhan, belaian. Bahkan saat dia mulai melakukan lebih jauh aku berteriak, rasanya begitu nikmat. Lelah aku pun tertidur. Ciuman basah membu
"Tolong ... tolong ...." Sayup- sayup aku mendengar suara, tetapi jangankan untuk bergerak, membuka mata saja sulit rasanya. Terasa ada yang menetes di dahi, membuatku terpaksa perlahan membuka mata karena tetesan itu kini membentuk genangan di sekitar wajah. Merah serta bertekstur kental saat dilihat olehku cairan yang menetes tersebut. Bergegas aku duduk di atas ranjang, pandangan mencari- cari ke segala arah, tetapi tidak menemukan apapun kecuali keringat membasahi sekujur tubuh. Rupanya aku tertidur dan bermimpi buruk. Ketika hendak melanjutkan tidur kembali terdengar suara minta tolong lagi. Namun, kali ini suara yang dikenali olehku yakni suara Sumi."Bang Adi, tolong ....!"Sontak aku melompat dan berlari ke arah asal suara walau mata rasanya masih sangat mengantuk dan terasa berat."Sumi!" teriakku saat melihat Sumi duduk di lantai dapur dengan memegang perut. Wajahnya meringis menahan sakit, sungguh kondisi yang menyedihkan."Bang, bawa aku ke Bi
"Ya, Sum ... abang lelah banget. Ya, sudah abang mandi dulu,"Aku segera bergegas ke kamar mandi, bayangan wanita berkepala kuda terus menghantui."Sum, abang berangkat ... ucapku setelah mandi dan sarapan. Sumi tidak menjawab hanya mengangguk dan menatap dengan pandangan aneh.Setibanya di perusahaan aku hanya memandang gerbangnya. Baru di sadari ternyata di depannya terdapat juga simbol-simbol yang sama. Aku memandang gelang yang melingkar di pergelangan tangan seraya berpikir bagaimana lepas dari semua ini.Suara klakson. mengagetkanku, terlihat Mas Gondo mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil."Hoi, Di ... ngapain? Buruan masuk!" teriak Mas Gondo.Mobil bergerak maju meninggalkanku yang masih termanggu hingga beberapa karyawan menyapa dan mengajakku masuk.Setelah mendapat pengarahan Pak Steven aku menuju parkiran di mana truk-truk berjejer rapih. Truk putih sudah menungguku sebagai pengemudinya.Semilir angin bera
Aku terkesima, mendengar ucapan wanita itu yang sepertinya tahu apa terjadi pada diriku. Namun, mulut terbungkam tidak bisa berkata. Aku sempat mendengar, Bapak penolong, mengucapkan terimakasih pada wanita tersebut dan mengucap namanya 'Ibu Laras.'Aku mengangguk dan bergegas, tetapi tanganku ditarik seorang pemuda."Biar diantar saya, Mas," ujar pemuda tersebut.Sesaat berpikir, lalu mengiyakannya. Sepeda motor pemuda bernama Koko membawa kami menyusuri jalan menuju rumah sakit. Jantung rasanya mau copot saat melihat truk putih milikku terparkir di jalan."Berhenti, Dek!" Aku segera meloncat dari motor walau kondisi belum stabil. Aku segera mengamati truk milikku, seraya memanggil Sumi,, tetapi tidak terlihat sosoknya. Di belakang kemudi juga kosong yang ada hanya tas berisi pakaian. Aku juga dibingungkan dengan keadaan truk. Bannya tidak ada yang kempes. Akhirnya dengan perasaan tidak menentu, diiringi azan Subuh, aku pulang. Belum semp
Menjelang malam saat aku selesai tugas mengantarkan barang. Melapor pada atasan, absen lalu balik ke rumah. Hari ini aku ingin bermanja-manja dengan Sumi, apalagi kandungannya sudah masuk waktu lahir, pasti akan lama lagi nantinya meminta hakku padanya. Dalam perjalanan, aku tersenyum sambil berdendang membayangkan istriku yangg cantik itu. Sayangnya sesampainya di rumah, setelah membukakan pintu, Sumi aku dapati tertidur pulas di dalam kamar. Aku tidak tega membangunkannya, sehingga kutahan semua rasa yang bergejolak dengan mengguyurkan air dingin ke seluruh tubuh, terutama bagian kepala.Setelah mandi, aku duduk di teras sambil menghisap rokok kesukaan. Hawa terasa dingin sekali, kusesap kopi hitam panas yang tidak terlalu enak karena aku membuatnya sendiri, biasanya Sumi membuatnya. Aku mengedarkan pandangan, suasana sekitar rumah sudah sepi. Tampaknya para tetangga telah menikmati mimpi-mimpi dalam tidurnya.Aku mendengus, sedikit meratapi nasib sambi
Perjalanan ke sana tidak membutuhkan waktu lama, tetapi menunggu bongkar muatanlah yang membuatku bosan, sehingga memutuskan berjalan melihat-lihat ke dalam mall. Aku tertarik saat melintas di sebuah gerai perlengkapan bayi. Kereta dorong hijau muda, segera kubeli agar nanti jika bayiku sudah lahir Sumi tidak terlalu lelah harus menggendongnya terus. Pasti istriku akan senang, aku membelikannya. "Mas, maaf dompetnya jatuh!" Teriakan seorang pria mengagetkanku saat menuruni eskalator. Aku berbalik dan mengucapkan terimakasih padanya sudah diingatkan. Ketika menuju parkiran, aku berpikir seperti pernah melihat pria tersebut, tetapi kutepis semuanya, mungkin hanya perasaanku saja. Sudah hampir masuk Ashar, ketika pembongkaran barang selesai dan aku masih harus ke pelabuhan untuk mengambil barang yang baru turun dari kapal. Untung saja cuma bertugas mengantar bukan bongkar, pasti sangat melelahkan dan menghabiskan waktu jika itu juga kulakukan. Ini saja sudah terlalu lam
Selembar kain hitam dan sebotol air adalah benda yang diberikan Pak Steven kepadaku. Gegas, aku menuju truk. Kupandangi roda truk bagian kiri serta badan truk. Bekas darah dan cairan putih kental masih tampak di sela-sela roda. Tak terasa air mata menetes. Aku menyiramkan air di botol lalu menyeka noda-noda darah tersebut dengan kain hitam seraya terus meminta maaf pada sang korban.Sungguh ajaib, kain hitam itu menyerap semua darah dan kotoran akibat kecelakaan dengan sempurna tanpa sisa. Perlahan dengan langkah lemah aku masuk kembali ke dalam bangunan, memberikan kain itu ke Pak Steven yang menerimanya dengan sumringah.Beramai-ramai para penyembah iblis itu menuju bangunan di mana patung Sang Junjungan berada. Aku mengikuti berdampingan dengan Mas Gondo."Usap seluruh bagian patung dengan lap ini, Di. Bersama Retno, Bibikmu agar ritual berjalan lancar." Kembali Pak Steven memerintah. Aku menuju ke depan menerima kain hitam, lalu bersama Bu Retno menyeka patu
"Bagaimana keadaanmu, Sum?""Abang ... kemana saja, Bang?" Sumi menatap, binar kebahagiaan tidak tampak di matanya.'Ya, tadi Abang antar barang ke tempat yang jauh. Anak kita perempuan atau laki-laki, Sum? Mana dia?" Aku mencari sosok anakku yang baru dilahirkan, biasanya diletakkan di samping Ibunya, tetapi kenapa tidak ada.Bukannya menjawab Sumi malah menangis, membuat hati semakin bertanya-tanya. Tini yang tadinyi hanya memperhatikan di belakangku, kini memeluk Sumi, berusaha menenangkannya.Mas Gondo mengajakku keluar kamar, lalu berkata dengan suara pelan, "Di, anakmu di ruang perawatan. Kondisinya tidak bagus."Mendengar ucapan Mas Gondo, langit seakan runtuh. Tubuhku lemas, lalu berjalan cepat menuju ruang perawatan.Di ranjang paling ujung ruangan, tertidur bayi dengan pipi kemerahan. Tertulis namaku dan Sumi di sebuah kertas putih yang direkatkan di depannya. Aku memandang dari luar yang dibatasi kaca tebal, tidak boleh masu