PoV OKI FARIANI
Aku hanya bisa terdiam, Mas Herdi benar-benar datang ke rumah jam 10 pagi, menemui Mamah, Tante dan Om agar bisa mendeklarasikan niatnya ingin melamarku.
“Mamah, Om dan Tante tidak perlu cemas, saya sudah punya tabungan puluhan juta, saya siap menanggung seluruh biaya pernikahan nanti,” ucap Mas Herdi tegas, “Saya juga sudah punya rumah dan mobil, jadi saya bisa menjaga Oki dengan baik,” serunya lagi, begitu percaya diri.
Tante menatapku dengan raut muka gelisah, namun kemudian tante malah tersenyum tipis ke arah Mas Herdi, “Waah alhamdulillah kalau begitu, Herdi berarti sudah mapan, sudah mandiri dan bisa diandalkan yaa, Tante lega bisa titip Oki ke Herdi.”
Yaah, aku menggigit bibir bawahku, kenapa sih Tante malah membuatku makin mengkeret. Padahal tadi malam aku sudah bertukar pikiran dengan Tante dan Mamah, aku sudah menyatakan tegas bahwa aku tidak ada perasaan apapun untuk Mas Herdi, hanya rasa kasihan. Yaa, kasihan karena Mas Herdi sampai berniat bunuh diri jika aku meninggalkannya.
“Oki, jangan sampai kamu bikin anak orang bunuh diri, sudahlah terima saja niat baik Herdi ya!” seru Tante tadi malam.
“Tapi Tan, aku nggak mau menikah dengan Mas Herdi, kalau jadi teman saja tidak apa-apa,” aku menepis harapan Tante yang ingin aku menerima niat Mas Herdi. Air muka tante berubah. Sebenarnya aku ingin Tante dan Mamah membantuku melepaskan diri dari jeratan Mas Herdi, tapi keadaan malah berbalik ... tante malah mendukung Mas Herdi datang melamarku.
Sedangkan mamah diam saja, tak banyak merespon perkataanku.
Seperti saat ini, di hadapan Mas Herdi mamah lagi-lagi bungkam. Mamah tampaknya mengerti benar dengan apa yang aku ucapkan semalam, jadi saat ini Mamah hanya tertunduk, tidak memberi harapan sebagaimana yang tante lakukan pada Mas Herdi.
“Mas Herdi ... jujur Oki masih merasa berat, Oki berharap Mas Herdi menemukan perempuan lain untuk dijadikan istri,” ucapku mengutarakan isi hati.
“Nggak mau, saya hanya mau Oki yang jadi pendamping hidup saya.” Iish!
Perempuan lain mungkin akan klepek-klepek terbang mendengar ucapan seperti itu dari calon suaminya, kalau aku malah klepek-klepek seperti kupu-kupu kehilangan sebelah sayapnya, terjatuh ke dalam jurang.
Mas Herdi ini ternyata orangnya ngeyel, ditolak halus kok nggak mengerti. Kalau aku ucapkan penolakan terang-terangan, akankah menyakiti hati Mas Herdi dan memancingnya bunuh diri? Minimal menangis sesenggukan sambil video call berjam-jam? Iyuh.
Hening selama 10 menit, tak ada yang berkata-kata lagi, tenggelam dalam kesunyian.
“Ya sudah, kalau besok Mas Herdi mau mendatangkan Bapak dan Ibu Mas Herdi ke sini yaa silakan saja, tapi aku gak akan menyambut yaa ...” ucapku akhirnya, lalu aku berlalu ke dalam kamar, tak lagi mau mendengar ucapan Mas Herdi, tante, ataupun mamah. Hatiku kosong, seperti kehilangan sukma.
Benakku kembali mengenang Feri, laki-laki yang aku sukai, ia awalnya serius ingin melamarku, tapi kemudian ia pergi ke Padang tiba-tiba, lalu secara mengejutkan melapor padaku bahwa dirinya telah dijodohkan oleh keluarganya untuk memperistri wanita lain, setelah itu, jiwaku seperti lenyap terbawa angin, aku kemudian manut saja pada apapun yang terjadi, membiarkan diriku mengikuti arus. Bahkan aku membiarkan Mas Herdi datang hari ini menemui keluargaku, padahal tak ada sedikitpun hatiku untuk Mas Herdi. Sungguh bodohnya, aku sampai kesal sendiri.
Ketika esok harinya ibu dan bapak Mas Herdi benar-benar datang pun, aku sama sekali tak menyambut mereka, aku terus berdiam di dalam kamar. Tante, om, serta keluarga Mas Herdi menentukan tanggal untuk acara lamaran di Garut, kampung halamanku, namun entah kenapa ... aku merasa bagaikan zombi, mayat hidup yang tak punya hati. Bahkan aku tak bisa menangis dalam kondisi seperti ini.
Aku terus berpikir, bagaimana cara agar lamaran ini tak terjadi? Lalu merutuki diri sendiri karena telah memberi Mas Herdi kesempatan di saat hatiku tak siap sama sekali. Aku seolah menggali kuburanku sendiri.
Semakin mendekati hari lamaran, aku semakin tak karu-karuan, apalagi mendengar teman-teman di tempatku bekerja menghina fisik Mas Herdi, aku malah marah-marah pada mereka, membuat teman-teman yang kusayangi justru menjauhiku, satu per satu. Sementara aku semakin ragu, apakah Mas Herdi benar-benar jodohku?
Dan kemudian, hari lamaran pun tiba.
*****
“Hari ini kita foto prewed!”
Mas Herdi memberikan surprise begitu aku memasuki mobilnya, namun aku tetap memasang wajah kaku. Entah kenapa, sejak hari lamaran di kampung halamanku, keinginan untuk membatalkan pernikahan semakin besar. Apalagi kalau kuingat-ingat komentar tetangga sekitar rumahku.
“Ooh ... itu calonnya Neng Oki? Kirain sopir,” ucap bibi samping rumah, membuat hatiku ngilu. Aku hanya bisa balas pernyataan itu dengan senyum getir.
“Neng Oki baik yaa, gak mandang rupa, gak mandang fisik, itu suaminya kayak tukang batagor gendut dari kampung sebelah lho, apa jangan-jangan Saudaraan?” Komentar yang lainnya tak kalah sadis.
“Heh, mikirin apa?!”
Mas Herdi menyentakku dari lamunan. Aku hanya menggeleng.
“Kamu kok belakangan cemberutin aku terus sih Oki?”
Ya iyalah ... kamunya menjebak aku dalam pernikahan yang tidak aku inginkan! Namun suaraku tercekat hanya sampai lubuk hati saja. Mataku menatap kosong ke arah jalan raya.
Begitu sampai di studio pemotretan, aku terkejut mendapat perlakuan bak putri raja, aku diperbolehkan memilih konsep yang aku sukai, memilih gaun yang aku inginkan, lalu dirias dengan telaten oleh make up artist dan tim hair do yang kompeten.
Hatiku jadi merasa sedikit bersalah pada Mas Herdi. Dia telah mempersiapkan semuanya dengan baik, pemotretan pre wedding, gedung pernikahan, catering, MUA, penghulu, apakah aku tega untuk menolak kesungguhannya memperistriku? Bukankah perempuan lebih baik memilih dicintai daripada mencintai?
Akhirnya di hari itu aku mulai berdamai dengan takdirku yang akan diperistri Mas Herdi, mungkin memang Mas Herdi adalah jodoh terbaik untukku, maka aku pun melalui sesi pemotretan pre wedding ini dengan senyum yang lepas, dan hati yang mulai ikhlas.
*****
“Kak Oki, foto prewed nya sudah selesai dicetak nih, kakak cantik sekali ...”
Sebuah chat masuk, dari Tiwi, calon adik iparku.
“Alhamdulillah Tiwi, terimakasih.” Aku membalas dengan cepat.
“Ibu juga senang banget Kak Oki, fotonya keren banget!”
Aku hanya bisa tersenyum tipis membaca pesan itu. Rasa bersalah kembali menyeruak.
Yaa Allah, apa lagi yang aku keluhkan sebenarnya? Ada Mas Herdi yang tulus mencintai aku, ada adiknya yang perhatian, bahkan ibu juga sering mengirimiku chat menanyakan aku sedang apa, sedang di mana, begitu peduli padaku.
Tiba-tiba air mata mulai bercucuran dari pelupuk mataku, aku merasa sangat jahat telah banyak mengeluh hanya karena aku tidak mencintai Mas Herdi. Seharusnya aku bersyukur bisa berjodoh dengan orang sebaik Mas Herdi dan keluarganya yang bisa menerima aku apa adanya.
Air mata terus menderas, aku memuaskan diriku dengan menangis sejadi-jadinya di depan hamparan sajadah.
*****
“Mas, aku punya tabungan 40 gram emas, ini aku berikan 30 gram untuk mas jadikan mahar di pernikahan kita,” ucapku seraya menyerahkan kalung, anting, gelang, serta logam mulia yang kumiliki.
Aku sudah 7 tahun bekerja di gym sebagai instruktur senam, dan aku tak memfoya-foyakan hasil gajiku seluruhnya, aku menabungkan hasil kerja kerasku ke dalam bentuk emas.
Rasanya tidak adil kalau aku tak membantu Mas Herdi sama sekali untuk pernikahan kami, meski Mas Herdi bilang telah mempersiapkan semua karena ia telah menabung puluhan juta untuk biaya pernikahan, tetap saja aku ingin membantu Mas Herdi meski sedikit.
Mas Herdi menerima emas-emas yang kuberikan untuk maharku sendiri. Kemudian ia menyerahkan beberapa undangan untukku sebar pada teman-temanku.
“Maaf ya Oki, kamu jadinya tidak bisa mengundang banyak teman, karena pesta resepsinya malam dan kita bikin konsepnya undangan terbatas.”
Iya Mas tidak apa, aku justru senang tidak perlu mengundang banyak temanku. Seruku membatin.
Lagipula, hampir semua teman gym, member gym, akan membego-begokan aku kalau mereka sampai melihat seperti apa rupa Mas Herdi. Jadi lebih baik tidak usah diundang.
Aku hanya mengundang owner gym, keluarga, beberapa sahabat terdekat, dan juga ... Feri!
PoV TIWI ADELITAH-1 hari pernikahan ...Aku mendekati ibu yang tampak muram duduk di atas dipan kasur kamarnya sendirian.“Ibu mikirin apa? Kok kelihatan lesu banget?” ku coba bermanis-manis pada ibu, sambil memijiti punggungnya, sebenarnya tanpa bertanya pun aku tahu wajah ibu kusut begini gara-gara si Oki sial*n itu.Sejak Mas Herdi meminta bapak melunasi 60 juta kekurangan biaya sewa gedung dan catering 4 hari lalu, wajah ibu langsung berlipat-lipat setiap saat.“Ibu mikirin Mas Herdi, Wi ...” Ibu menghela nafas berat, “Mau nikah kok sama perempuan sembarangan, sudahlah cuma tamat SMA, merongrong harta kita juga, ibu takut Herdi kenapa-napa.”Aku pun begitu juga sebenarnya, tapi kali ini aku harus menenangkan ibu.“Tenang Bu, setelah mereka nikah nanti ... kita bisa kasih pelajaran ke Oki! Supaya dia nggak berani macem-macem.”
PoV OKI FARIANIAneh sekali, ada keganjilan kurasakan sejak masuk ke dalam ruangan rias pengantin ini. Saat aku lempar senyum ke arah Ibunya Mas Herdi, tidak ada balasan senyum yang kudapatkan, justru ibu tampak menekuk mukanya.Bahkan ketika Mamah ingin bersalaman dengan ibu, ibu malah memalingkan wajah dan tidak mengulurkan tangannya sama sekali. Lho, ada apa ini? Bukankah hari ini akan berlangsung akad nikah antara aku dan Mas Herdi? Mengapa sikap ibu malah dingin sekali?“Neng, ibunya Herdi kenapa?” Mamah yang jarang bicara padaku, sampai tak tahan menanyaiku.“Oki nggak tahu Mah, kemarin ibu masih kirim chat baik-baik saja kok. Bahkan Tiwi semalam juga masih chat Oki, katanya nggak sabar menunggu hari ini. Coba Oki tanya ke Tiwi ya ...”Mamah pun mengangguk, kemudian menuju toilet.Banyak yang mengatakan hari pernikahan adalah hari paling membahagiakan, tapi ... tidak dengan hari pernikahanku ini. D
PoV TIWI ADELITASengaja, kamar mas Herdi tidak kami bersihkan sama sekali. Keenakan si Oki kalau begitu, biarkan saja dia yang membersihkan dan merapikan. Sudah syukur dikasih tempat tinggal gratis gak perlu ngontrak.Aku menatap kamar Mas Herdi dan merasa puas karena kakakku satu-satunya itu sangat jorok, bukan hanya buang angin sembarangan, kamarnya penuh debu karena jarang ia bersihkan, lalu ... yang paling ku andalkan adalah suara ngoroknya yang bisa terdengar hingga 5 kilometer! Hahaha, si Oki dijamin gak akan bisa tidur nyenyak sekamar dengan Mas Herdi.Jujur, aku dendam sekali pada Oki yang telah membuat keluargaku kalang kabut karena pernikahannya dengan Mas Herdi. Setiap melihat postingan Oki di Instagram atau FB, aku langsung membalas dengan membuat postingan di IG story ku sendiri : DASAR CEWEK SOK CAKEP! Atau, CEWEK SIALAN LO!Tentu saja Oki takkan menyangka kalau status story
PoV OKI FARIANIIbu Mas Herdi membuatku menangis di hari pertama aku menginap di rumah mertua. Bukan apa-apa ... aku tak terbiasa memotong bawang merah dan daun bawang dalam jumlah banyak, sehingga dari mataku langsung meleleh air yang tak henti mengalir.Di sela-sela tangisan, dari ujung ekor mataku terlihat Tiwi menyunggingkan senyuman di depan pintu kamarnya, seperti bahagia menonton adeganku menahan kepedihan.Ah, tapi manalah mungkin Tiwi menertawakanku, dia baik dan care banget kok sama aku, dulu hampir setiap malam mengirim chat menanyakan kabarku, meskipun setelah hari pernikahanku dengan Mas Herdi ... tiba-tiba Tiwi berhenti mengirimkan chat. Meski demikian, aku tahu dia adik ipar yang baik.Sejak jam setengah enam pagi tadi ibu sudah menyuruhku memasak teh untuk seluruh anggota keluarganya, teh tubruk yang direbus di dalam mug besar, kemudian disaring dan dimasukkan ke d
PoV OKI FARIANI“Gajiku hanya empat juta sebulan Oki, jadi tolong atur dengan baik uang bulanan tujuh ratus ribu ini, kamu harus bersyukur dapat uang dari aku tanpa harus capek-capek bekerja di luar!”Jujur, aku sampai merinding mendengar ucapan Mas Herdi itu. Gaji seorang HRD lulusan S1 hanya empat juta Rupiah? Kalah dariku yang ‘hanya’ lulusan SMA?Ternyata aku salah besar, selama ini kupikir gaji Mas Herdi setidaknya mencapai sepuluh juta Rupiah. Dia bisa punya rumah, mobil, dan kartu kredit, dari mana semua itu?Kalau hanya empat juta, mengapa dia berani menyuruh aku keluar dari pekerjaanku di tempat gym?“Mas tahu berapa gajiku di tempat gym dulu?” Aku bertanya pada Mas Herdi, sekadar mengetes.“Cuma di tempat gym doang .. palingan satu setengah juta kan?”Aku kaget sekali mendengar pernyataan Mas Herdi yang
PoV OKI FARIANISorenya, ibu dan bapak mertuaku pulang dari kontrol ke Rumah Sakit, aku baru sadar mereka menaiki motor bukannya mobil, aku tebak ... mungkin agar hemat?!Aku bawakan tas tenteng ibu masuk ke dalam, dan menawarkan pizza yang masih utuh satu loyang besar barangkali mereka merasa lapar.Tak kusangka, ibu malah menyemprotku habis-habisan, apalagi begitu mata ibu melirik nyalang ke arah dapur, belum ada masakan yang jadi sejak pagi, dan aku beralasan karena tak bisa menyalakan kompor.“Anak jaman sekarang makan makanan gak bergizi kayak gini, bisa bikin sakit, ngerti kamu Ki?!” Ibu nenunjuk-nunjuk ke arah pizza pemberian Desi. “Memang orang rumahmu nggak ngajarin cara masak apa? Nyalakan kompor saja nggak bisa! Sudahlah cuma lulusan SMA ... masak nggak becus, kamu bisanya habiskan uang orang doang ya?”Deg. Seperti tersayat, hatik
PoV OKI FARIANIIbu menyodorkan hpnya padaku, minta dibacakan pesan masuk dari tante Nana. Aku ambil hp itu, aku bacakan dengan suara keras, lalu aku mengambil kesempatan memeriksa chat masuk dari nomor hpku di hp ibu itu.Aku search nama Oki, tidak ketemu, aku search nama menantu, mantu, istri Herdi, tapi nihil juga.“Ibu belum simpan nomor hp Oki ya?” Tanyaku akhirnya.Ibu terlihat kikuk. “Belum, kan kalau ada apa-apa bisa melalui Herdi!”Deg. Aku terkesiap.“Tapi dulu kan Ibu sering kirimin Oki chat ...” aku membabi buta mencari tahu kebenarannya.“Kapan? Ibu belum pernah chat kamu kok.”Bagai petir di siang bolong, pernyataan polos ibu itu sungguh amat mengejutkanku.“Oya, tolong balas ke Tante Nana Ki ... bilang
PoV OKI FARIANIAku sudah berjalan kaki cukup jauh, dan selama itu pula tidak ada tanda-tanda Herdi mengejarku. Kini kakiku melangkah gontai ke arah pom bensin, ada kafe di depannya.Ku rogoh saku daster yang kupakai, alhamdulillah ada hp, jadi aku bisa bayar pakai aplikasi. Tanpa ragu, aku masuk ke dalam kafe itu.Udara dingin dari Air Conditioner di dalam kafe langsung menyambut tubuhku yang berleleran keringat. Untung saja aku pakai daster Arab yang cukup cantik dan elegan, kalau tidak ... pasti terlihat aneh pakai daster kok masuk kafe.Setelah memesan kopi dan roti bakar, aku mencari tempat duduk yang nyaman.Ku buka chat di hp, mengecek apa saja yang pernah ibu dan Tiwi sampaikan padaku dulu. Sebenarnya aku sudah merasakan keanehan, tapi selalu kutepiskan.[Maaf, Oki, ini ibunya Herdi, Oki tau Herdi pergi ke mana? Sudah seminggu ini Herdi pergi da