Share

BAB 5. Hukuman pekerjaan

    Sampai Kapanpun, Aku Tetap Milik Ibuku

Bab  : 5

Oleh : Enik Wahyuni

"Salma! Minta maaf sama Ibu, sekarang!"

Kulihat Salma hanya mencebikan mulutnya, melihat ekspresinya seperti itu jadi makin kesal saja rasanya. Bukannya minta maaf sama Ibu, malah mencelos. Hati nurani kamu dimana Salma, sama orang tua kok gak ada sopan-sopannya.

"Ada apa sih, Bu," tanya Fera yang ternyata baru bangun. Astaga, jam segini adikku baru bangun, semakin pusing saja rasanya melihat keadaan ini.

"Mama, Vino laper, Mah," ucap Vino sambil bergelayut di tangan Fera.

 "Ini, Fer, Salma makan enak dibawa ke kamar sendiri, sedangkan Ibu cuma makan sama kerupuk doang," ucap Ibu dengan nada sedih.

"Yang bener aja, Mbak, terus ini Vino makan apa sekarang, jangan memikirkan diri sendiri gitu dong," Fera berucap lantang sambil matanya mendelik.

"Lah, tuh nyadar anaknya butuh makan, jam segini baru bangun. Baru bangun kok langsung minta makan, enak bener hidupmu, makan aja sono guling sama bantal," ujar Salma dengan enteng sekali.

Memang keterlaluan si Salma, bukannya merasa bersalah malah menyalahkan orang lain. Kayak gini kan jadi kasian mereka, Sania saja sudah dia suapin, Vino malah belum makan.

"Tuh, lihat istrimu, Mas, sama Ibu saja tega, apalagi sama Vino, terus sekarang kita makan apa, aku juga laper," ucap Fera memelas.

"Udahlah, jangan ribut terus, aku pusing, mau berangkat kerja, udah siang," ucapku sambil menepis tangan.

Rasanya kepalaku mau pecah memikirkan masalah di rumah yang sepertinya tak ada habisnya.

Ku Keluarkan uang untuk Ibu 300 ribu, dan juga Fera 200 ribu. Seketika senyum berkembang di wajah mereka. Apalagi Ibu, sepertinya ia juga lupa kalau tadi kelaparan. Dasar Ibu, giliran dikasih uang saja, semuanya jadi lupa.

Biarlah, itu untuk menyenangkan mereka agar mereka betah disini. Ini juga gara-gara Salma, coba tadi Salma tak bikin ulah, mungkin mereka sekarang tak kelaparan.

"Kita makan diluar aja yuk, Fer, ajak Vino sekalian," ucap Ibu sambil berlalu lantas menggandeng Fera keluar dari kamar Salma.

Lalu dengan sumringah Fera mengikuti ajakan Ibu dengan menggandeng Vino.

"Oke siap, Bu, duh, Masku ini memang paling baik hati deh, gak kayak itu tu," ujarnya sambil melirik Salma. Namun Salma sepertinya santai saja.

"Mas, buat aku mana? Kamu kira aku juga gak butuh makan?" ucap Salma protes.

Aku dengan malas mengeluarkan uang buat Salma, kupikir 300 ribu cukuplah nanti sampai gajian. 

"Nih buat kamu, jangan boros-boros belanjanya, ingat ya, masak yang enak nanti buat Ibu dan Fera," ucapku kepada Salma.

Namun ia hanya mencebikan mulutnya, memang aneh lama-lama istriku ini. Dikasih uang bukannya bilang terima kasih, malah manyun begitu. Lihatlah Fera dan Ibu tadi, ekspresinya sangat senang sekali.

"Sabar, Rama, sabar, ngajarin istri itu harus pelan-pelan, kamu pasti bisa, Rama," batinku menyemangati diri sendiri.

"Ngasih uang cuma segini kok minta makan enak, kalau gitu uangnya kasih aja sana sama Ibu, biar Ibu yang ngatur sendiri, aku juga gak pusing jadinya," ujar Salma mencebik.

"Udahlah Sal, kamu itu bukannya bersyukur kok malah protes terus, suamimu ini mau berangkat kerja, bukannya dilayani malah diajak ribut terus, tolong mengertilah, Salma," 

Salma hanya memutar bola matanya. Entahlah, apa yang dipikirkannya saat ini. Dia sudah membereskan sarapannya dan Sania juga sudah selesai makan. Lama-lama aku jadi semakin susah menebak pikirannya, apa katanya tadi? Ibu disuruh mengatur semuanya? Emang Ibu pembantu, terus apa dong gunanya punya istri?

"Mas mau berangkat kerja dulu, Sal, kamu hati-hati dirumah, jangan lupa nanti masak yang enak, sayang … papa berangkat kerja dulu ya," ucapku pada Salma dan juga Sania.

"Iya papa hati-hati ya," ucap Sania sambil menghambur memelukku. Ah Sania, selalu saja bikin gemas.

 Aku langsung bersiap berangkat ke kantor, mengingat sudah sangat siang dan bos bisa marah nanti jika melihatku belum datang ke kantor pagi ini.

Ketika mengeluarkan motor kesayangan, aku tak melihat Ibu dan juga Fera di rumah. Biarlah, yang penting mereka tenang. Aku harus segera berangkat agar bos tak marah nantinya.

***************

"Bro, dipanggil bos tuh, di ruangannya," ucap Aldo ketika sudah sampai di ruanganku.

"Ada apa, ya?" 

Aldo hanya mengedikkan bahu, tanda tak tahu. Lantas aku pun segera menemui bos di ruangannya.

"Rama, aku perhatikan kinerjamu akhir-akhir ini menurun, masuk kerja sering kesiangan, laporan kemaren juga kacau," ujar Pak Hendi dengan menyerahkan laporan yang kubuat kemarin.

Aku menelan ludah, mengamati laporan yang sudah di coret oleh Pak Hendi di depan mataku. Aku pun membelalakan mata, astaga … kenapa tidak menyadari kemarin bikin laporan sampai berantakan begini. Pantaslah Pak Hendi marah.

"Sebagai hukumanmu, selesaikan laporan ini hari ini juga, harus selesai hari ini, mengerti!" ucap Pak hendi tegas.

"Iya, Pak, saya permisi dulu ya, Pak," ucapku akhirnya. 

Pak Hendi menganggukan kepalanya, dengan tangan berada diatas meja. Lantas aku pamit undur diri dari hadapan Pak hendi dengan membawa setumpuk laporan, yang kira-kira sampai malam pun sepertinya juga belum selesai.

"Semangat, bro, nanti malem juga selesai itu, ha ha ha," ujar Aldo yang melihatku membawa setumpuk pekerjaan.

Aku hanya memutar bola mata, jengah banget dengerin ledekan recehnya Aldo.

"Gara-gara punya bini dua ini di rumah jadi puyeng deh, eh salah, ha ha ha," 

"Sialan, lo," ujarku dengan muka mendelik.

Aldo masih senang meledekku, membuatku semakin jengah saja. Renyah banget tawanya, sepertinya bahagia sekali melihat penderitaan teman sendiri. 

Ya, apapun resikonya Pak Hendi masih berbaik hati dengan kesalahanku. Walaupun sepertinya harus lembur. Biarlah, aku juga masih sangat butuh pekerjaan ini. Dengan jabatanku yang lumayan dan tanggung jawab yang besar, banyak orang yang menginginkan seperti posisiku.

***************

Akhirnya waktu istirahat pun tiba, pekerjaanku masih belum ada separuhnya selesai. Ku hembuskan nafas lelah ini dan merenggangkan otot-otot tangan yang dari tadi tak berhenti mengerjakan laporan di depan komputer. Huh, pegal sekali rasanya. 

Iseng kubuka gawaiku yang dari tadi menggeletak diatas meja. Mataku membelalak saat melihat status f******k Fera.

'Makan dulu kita, dengan menu apa adanya saja. Tak perlu yang mewah, kayak gini saja sudah membuatku bahagia. Bahagia itu memang sederhana kan? Makasih ya, Mas Rama yang paling ganteng. Nih, Ibu senang sekali sepertinya.'

Seketika kepalaku kembali nyut-nyutan rasanya melihat status Fera, dia memperlihatkan foto selfie mereka bertiga makan di restoran terkenal di kota ini. Dengan memperlihatkan aneka makanan diatas meja. Tapi tak ada Salma dan Sania disana.

Duh, ini pasti gara-gara Salma yang gak masak di rumah, sehingga mereka makan diluar. Seketika nafasku terasa sesak, mereka yang pergi makan tapi aku yang mendadak pusing, entah apa yang kupikirkan.

**************

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status