Pov AlvanAku berjalan sambil menahan emosi yang sudah di ubun-ubun. Sial*n kenapa seceroboh ini! Harusnya tak ku biarkan Alia masuk kantor sebelum laporan keuangan ku ubah. Kalau begini bisa mati aku! Kenapa juga aku tidur seperti orang mati, sampai aku tak mendengar alarm yang beryanyi nyaring. Sekarang aku sudah tak bisa menginjakkan kaki di kantor ini. Lalu bagaimana semua rencanaku? Hancur sudah! Aku acak rambut, frustasi. Pusing kepalaku memikirkan semua ini. "Pagi, Pak," sapa karyawan yang berjalan melewatiku. Aku tetap diam tak menjawab, kubiarkan saja mereka berlalu dengan pandangan penuh selidik ke arahku. "Penampilan Pak Alvan hancur banget ya?""Bu Alia ke kantor, apa ada masalah?""Pasti masalah besar. Tahu sendiri kan kelakuan suaminya bagaimana?""Mungkin sudah tahu kedoknya?"Terdengar cuitan para karyawati bagian marketing. Ku toleh tiga wanita bertubuh gempal itu. Seketika mulut mereka membisu. Nah kan baru sekali di lirik sudah mati kutu. Awas saja jika aku kemb
Pov Alvan"Sini, Mas!" Mega mendesak. Dan aku selalu tak berani menolak permintaannya. Mesti nantinya aku akan menderita. "Ada di saku belakang." Tangan Mega dengan gesit merogoh saku celanaku dan mengambil benda di dalamnya. Benar dugaanku. Tangan mulus Mega mengambil kartu debit dan kartu kredit yang ada di dalamnya. Setelah barang yang ia cari berpindah tangan. Dompet hitamku dimasukkan kembali ke dalam saku celana. "Ayo Sya!" Mega melambaikan tangan ke arah adikku yang duduk sambil memainkan ponselnya. Aduh, gawat! "Mau kemana sih yang?" "Mau shopping dong, Mas. Aku bisa stres di rumah terus dengan Aira. O, ya, kamu jagain Aira ya. Kalau ada apa-apa bisa panggil Mbak Ria di belakang."Ria adalah babysitter Aira. Mega mana mau mangasuh anak seorang diri. Menyusui anakku saja tidak. Katanya takut tubuhnya rusak. Entah kenapa pikirannya bisa seperti itu. "Ta-tapi ada masalah serius ini." "Nanti saja lah Mas, aku pusing di rumah terus."Mega dan Sasya segera berlalu dari hadap
Pov AlvanOweekk ... Oweekk .... Tangis Aira semakin kencang dan menjadi-jadi. Sudah satu jam menunggu kedatangan Mega tapi sampai sekarang belum nampak batang hidungnya. Memang keterlaluan dia, sudah tahu anak rewel tapi tak kunjung pulang. Oweek... Oweekk .... Aira masih menangis dalam gendonganku. Hanya saja suaranya mulai pelan. Dan akhirnya dia tertidur karena kelelahan manangis. Kasihan kamu, nak. Kuciumi pipinya perlahan. Aku duduk di sofa dengan bantal sebagai peyangga punggung. Aira masih terlelap dalam gendonganku. Takut jika ku letakkan di ranjang dia akan menangis lagi. Bisa repot nanti. "Istri kamu keterlaluan Van, anak nangis malah kelayapan tidak pulang!" omel ibu yang duduk tak jauh dariku. Kutempelkan jari telunjuk di bibir, memberi isyarat ibu agar mengecilkan suaranya. Bisa repot kalau Aira bangun lagi. Pusing! Pusing! "Iya, iya, habisnya ibu kesel dengan istri mudamu itu!" Omel ibu dengan nada suara yang sudah dikecilkan. Bapak sendiri sudah masuk kamar t
Pov Alvan"Kok jadi masam begitu, Mas?" Mega menatap wajahku penuh selidik. "Jangan bilang kamu lupa dengan janjimu!"Kan benar, dia memang selalu ingat apa yang aku janjikan terutama menyangkut uang dan liburan. Menghembus akan nafas kasar. Mega sudah duduk di sebelahku dengan tatapan penuh tanda tanya. "Janjinya nanti dulu, ya, sayang. Ada masalah besar.""Kamu itu suka bohong! Katanya mau mengajakku ke Jepang jika aku sudah memberimu anak. Sekarang giliran ku tagih kamu menghindar." "Bukan menghindar, hanya saja ...." Aku bingung harus bagaimana. "Hanya apa?" "Alia melarang Alvan masuk kantor karena dia sudah tahu suamimu korupsi," ucap Ibu. "Apa!" ucap Sasya dan Mega serempak. "Kamu tidak lagi bercanda kan, Mas?" Ku gelengkan kepalaku. Mana mungkin aku bercanda masalah seperti ini. "Aduh, bagaimana dong ini? Mikir dong Mas, jangan diam saja!" Aku diam sambil menyusun rencana agar bisa kembali ke kantor. Kalau aku tidak ke kantor, mana bisa aku memenuhi kebutuhan Mega yang
Kreeekk .... Pintu dibuka dari dalam saat mobil Bang Rizal telah menghilang ditelan tikungan. Mas Alvan sudah berdiri di pintu dengan pandangan yang sulit untuk kuartikan. Aku berjalan melewati mas Alvan tanpa mengucapkan salam apalagi mencium punggung tangan seperti yang selalu kulakukan. Bayangan tangan itu di cium wanita lain tiba-tiba bergelayut di pelupuk mata. Rasa jijik hadir dengan sendirinya. "Dari mana sayang?" ucapnya lalu menjajari langkahku. Kata yang keluar dari mulut Mas Alvan begitu lembut. Kalau saja aku tak tahu kebusukannya sudah pasti akan meleleh mendengar itu semua. Tapi sayang aku sudah tahu belangnya. Jadi kata lemah lembutnya tak berarti apa pun. "Sayang kok diam? Masih marah ya? Maafkan aku ya soal keuangan kantor. Mas janji tidak akan melakukannya lagi.""Ya, iyalah tak akan mengulangi lagi, kamu kan sudah tidak bekerja di kantor lagi," batinku. "Sayang ...." Mas Alvan memelukku dari belakang, menyandarkan kepala di pundakku. Ingin kulepas tapi tak b
Sebagian besar karyawan telah duduk di meja kerja masing-masing. "Pagi, Bu." Sapa setiap karyawan yang berpapasan denganku. Selalu kuberikan senyum tulus untuk mereka. Bagiku antara karyawan dah atasan tak ada bedanya. Tanpa mereka mana mungkin perusahaanku masih berdiri kokoh seperti ini. Pemilik perusahan dan karyawan memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan satu dan lainnya. "Pagi Mia." Sekertarisku terlihat gugup hingga benda pipih miliknya terjatuh di lantai. "Pa-pagi, Bu," jawabnya gugup. Keringat nampak di dahinya, padahal cuaca saat ini masih dingin. AC pun sudah menyala. "Rapat nanti jam sembilan, kan?" "Iya, Bu."Kutinggalkan Mia dan masuk ke ruanganku. Duduk dengan nyaman di kursi keberatan. Kunyalakan laptop lalu mulai membaca rincian laporan keuangan setahun ini. Aku ingin mencari bukti tentang penggelapan dana kantor oleh suamiku sendiri. Pintu di buka dari luar tanpa diketuk terlebih dahulu. Seseorang yang yang ku harapkan telah datang dengan
Alia dan Alvan masih duduk di kursi masing-masing. Alvan masih memasang wajah masam, kesal dengan apa yang Alia lakukan. Kedudukannya sebagai seorang suami sudah tak berarti apa pun di mata Alia. Lelaki dengan tubuh atletis itu menyilangkan kedua tangan di dada. Matanya masih awas menatap tajam Alia. "Kemana perginya Alia yang penurut dan mudah dibodohi?" batin Alvan bingung. Alia justru tersenyum menyeringai melihat kemarahan suaminya. Namun rasa marah itu belum sebanding dengan apa yang wanita itu rasakan. Tangan Alia asyik memainkan benda pipih berwarna hitam itu. [Posisi?]Satu pesan dikirim ke nomor ponsel Rizal. Tak butuh waktu lama pesan itu sudah menjadi centang dua berwarna biru. [Menunggu kedatangan kamu, cepat kemari! ]Alia tersenyum lebar setelah membaca pesan yang dikirimkan sang kakak. Ia tak sabar melihat ekspresi Alvan saat mendapatkan kejutan darinya. "Ayo Mas, ada rapat!" Alvan hanya melirik tapi enggan mengangkat tubuhnya. Ia justru menyilangkan kaki denganny
Mas Alvan terdiam, wajahnya merah padam menunjukkan amarah yang berusaha ia tahan. Mana berani dia memakiku di depan bang Rizal, bisa habis Mas Alvan nanti. Rapat hari ini telah usai. Para karyawan yang mengikuti rapat telah kembali ke ruangan masing-masing.Kini tinggal aku, bang Rizal dan Mas Alvan yang masih ada di ruang meeting. "Kenapa kamu tega padaku, Al?" tanya Mas Alvan dengan wajah mengiba. Aku hanya diam sambil terus mengamati ekspresi wajah Mas Alvan yang seketika berubah. Kemana wajah angkuh dan penuh kemarahan tadi?"Tega? Tega mana dengan orang yang mengambil uang milik perusahaan untuk keluarganya?" Kutatap tajam Mas Alvan. Lelaki dengan tubuh atletis itu justru membuang pandang ke arah lain. Seolah ucapanku tak ada artinya. "Silahkan kamu kembali ke tempat kerja. Pekerjaan sudah menantimu, Alvan!" Bang Rizal menatap tajam ke arah suamiku. Tanpa permisi dia berlalu begitu saja. Astagfirullah.. Beristigfar dalam hati melihat kelakuan Mas Alvan. Kalau tidak ingat sia