“Lalu, apa yang kau inginkan?” tanya Freesia.
“Kau.”
Jawaban Allen itu membuat Freesia melotot marah. “Kau … jangan kau pikir kau bisa merendahkanku hanya karena kau sudah membantuku! Aku tidak sudi …”
Kata-kata Freesia terhenti oleh suara denting lift yang sudah tiba di lobi. Pintu lift terbuka dan Freesia melihat orang-orang neneknya menunggu di lobi. Sial!
Freesia menekan tombol menutup, membuat pintu lift kembali tertutup. Lalu, Freesia menekan tombol lantai teratas gedung itu. Lift kembali bergerak ke atas dan Freesia bergerak ke belakang hingga punggungnya bersandar di dinding lift. Saat itulah, sesuatu jatuh dari bahunya.
Freesia menunduk dan melihat jaket kulit yang tadi disampirkan Allen di bahunya mendarat di lantai. Ketika Allen tiba-tiba membungkuk ke arahnya, Freesia refleks memukul kepala pria itu ketika mendapati wajah pria itu berada tepat di depan pahanya.
“Apa yang kau lakukan?! Dasar Mesum!” maki Freesia.
Allen tidak lantas berdiri dan berlutut dengan satu kaki di samping Freesia, menghadap ke arah Freesia. Pria itu perlahan mendongak ke arah Freesia.
“Kau … berani memukulku?” Suara pria itu terdengar berat, berbeda dengan sebelumnya.
Freesia berusaha mundur, tapi punggungnya sudah menempel di dinding lift.
“I-itu karena kau … tiba-tiba melihat pahaku …” Kalimat Freesia terhenti ketika pria itu tiba-tiba melingkarkan jaketnya yang tadi jatuh, ke pinggang Freesia, mengikatnya di sana, sekaligus menutupi paha Freesia.
“Aku tidak melihat pahamu,” ucap pria itu. “Aku hanya mengambil jaketku dan sekarang kau bisa menggunakannya untuk menutupi pahamu. Meski aku tak mengerti kenapa kau memakai celana sependek ini di luar rumah.”
Freesia berdehem dan menguatkan ikatan jaket di pinggangnya. “Ini pakaian paling nyaman untuk kabur dan berlari,” Freesia berkata. “Untuk jaga-jaga.”
“Jadi, kau sudah berniat untuk kabur dan berlari? Karena itu kau akan pergi ke lantai teratas? Kau berencana kabur dengan cara bagaimana dari sana? Melompat?” Pria itu kembali berdiri dan ikut menyandarkan punggung di dinding lift di samping Freesia.
Freesia menghela napas. “Aku akan memikirkannya setelah aku berada di sana nanti,” jawab Freesia. “Dan maaf karena sudah menuduhmu, tapi kau yang membuatku berpikir seperti itu.” Freesia melirik pria itu. “Bukankah kau menginginkan tubuhku sebagai bayaran untuk apa yang kau lakukan untukku tadi di restoran?”
Pria itu tersenyum geli. “Kau sepertinya salah paham, Nona,” ucapnya. “Maksudku, aku membutuhkanmu untuk menjadi pengasuh. Apa kau terbiasa dengan anak-anak?”
Freesia mengerutkan kening. “Apa? Pengasuh?”
Allen mengangguk. “Aku butuh seorang pengasuh yang bisa bermain dengan anak-anak, bukan hanya menyiapkan makan, baju, dan keperluannya yang lain, tapi juga bisa menemaninya bermain.” Allen menoleh pada Freesia. “Jika kau bisa melakukan itu, kau mungkin bisa menyimpan tabunganmu dan mendapat tempat bersembunyi dari nenekmu selama lebih dari satu atau dua bulan. Dengan begitu, nenekmu pasti akan menyerah dan kau akan menjadi pemenangnya, kan?”
Mata Freesia seketika berbinar mendengar itu. “Ya, ya! Aku mau! Aku bisa bermain dengan anak-anak! Aku suka bermain dengan anak-anak! Meski … um …” Freesia sedikit ragu, “aku tidak begitu bagus dalam hal menyiapkan makan, baju, dan lainnya, karena aku sendiri tak pernah melakukan hal seperti itu sendiri, tapi … aku percaya diri dengan menemani anak-anak bermain.” Freesia menatap Allen dengan penuh tekad.
Sejujurnya, ada satu tempat bermain yang menjadi impian Freesia. Taman bermain anak-anak yang memiliki segala macam mainan dan halang rintang, trampolin, kolam mandi bola yang besar, istana balon …. Sejak kecil, Freesia ingin semua itu, tapi tak diizinkan karena itu terlalu berbahaya dan seorang lady tidak seharusnya melompat-lompat di atas trampolin sambil berteriak-teriak atau melompat ke kolam bola hingga roknya tersibak.
Freesia akan menggunakan kesempatan ini untuk memaksa neneknya menyerah, sekaligus memuaskan keinginan masa kecilnya yang tak terpenuhi.
“Baiklah,” jawab pria itu. “Kita bisa pergi ke rumahku dulu, membuat kontrak, dan kau bisa mulai bekerja besok.”
Freesia menatap Allen dari atas ke bawah setelah mendengar itu. “Tapi … bagaimana aku bisa percaya jika kau benar-benar menginginkanku untuk menjadi pengasuh anak, dan bukannya akan menjualku?”
Bagaimanapun, Freesia tetap harus curiga. Dia tidak bodoh.
Namun, Allen kemudian tersenyum. “Kau bisa mengirimkan lokasimu pada orang yang kau percaya sepanjang perjalanan kita nanti,” Allen berkata. “Bagaimana?”
Freesia berpikir tentang usulan pria itu. Namun, siapa yang bisa Freesia percaya tentang hal seperti ini? Dia bahkan tak punya sahabat atau teman dekat.
“Tapi, kau harus berhati-hati memilih orang. Jika tidak, mereka akan mengkhianatimu dan melaporkanmu pada nenekmu,” Allen mengingatkan.
Freesia mengecek kontak di ponselnya, lalu menoleh pada Allen. “Deal.”
Suara denting lift yang sudah membawa mereka ke lantai teratas menutup kesepakatan mereka.
***
Gadis ini … apa dia sama sekali tidak merasakan aura berbahaya Allen?
Mungkin ketika di restoran tadi, Allen menyembunyikan aura berbahayanya. Seperti yang dikatakan gadis itu, Allen berakting dengan sempurna. Namun, detik ketika Allen menyebutkan apa yang ia inginkan dari gadis itu tadi, ia tak lagi menyembunyikan aura berbahayanya.
Gadis itu mungkin sempat merasakannya sesaat, karena itu dia mencoba menolak Allen. Namun, itu tak bertahan lama sampai dia kembali menutup pintu lift dan membawa mereka naik ke lantai paling atas gedung itu. Dia bahkan tanpa curiga menerima penawaran Allen untuk ikut ke rumahnya.
Gadis ini mungkin tak sadar, bantuan yang dia minta dari Allen tadi, kemungkinan harus dia bayar dengan nyawanya sendiri. Meski, Allen menikmati situasi ini. Sepertinya, ia menangkap satu peliharaan yang akan sangat berguna nantinya.
Dan peliharaan barunya itu, saat ini duduk di sebelah Allen di mobil yang disetiri Allen, dengan tangan memegangi erat ponsel dan tatapan tajam keluar jendela, seolah berusaha mengingat jalan. Meski, Allen tak yakin dia bisa mengingat jalan yang mereka lewati dengan jelas karena gelap.
“Omong-omong,” Allen angkat bicara, untuk memecah suasana sunyi, “tidakkah kau pernah diajari untuk tidak mengikuti orang asing sembarangan? Terutama, di malam hari.”
“Karena itu, aku mengirim lokasiku pada salah satu teman kuliahku dan memintanya menghubungi polisi jika tiba-tiba lokasiku tak bisa dilacak,” ucap gadis itu, masih dengan usahanya menghafal jalan di luar. Usaha yang sia-sia.
“Apa kau dekat dengan temanmu itu?” tanya Allen.
“Tidak,” jawab gadis itu. “Tapi, dia cukup bisa dipercaya. Dia tidak akan mengkhianatiku karena dia tidak menyukai nenekku dan keluarganya tidak dekat dengan keluargaku. Nenekku pernah mencelanya tidak sopan dan tak tahu aturan ketika mereka bertemu.”
Itu berarti, temannya yang malang itu aman untuk dibunuh.
“Tapi, apa kau tidak takut padaku?” tanya Allen, kali ini benar-benar penasaran.
Freesia akhirnya menoleh pada Allen dan Allen bisa merasakan tatapan gadis itu dari atas ke bawah. Allen berdehem.
“Kurasa, apa yang kau lakukan barusan … termasuk sedikit tidak sopan?” singgung Allen.
“Kau yang bertanya padaku, jadi aku setidaknya harus mencari alasan jika ingin menjawab itu,” jawab Freesia.
“Lalu, apa jawaban dan alasanmu?” tanya Allen.
“Kupikir, kau bukan orang jahat, karena kau mau membantuku. Kau juga sopan dan looks like you have pretty good manner. Kau juga memberikan jaketmu untuk menutupi tubuhku,” urai gadis itu.
“Dan itu menjadi alasan kenapa kau tidak takut padaku?” Allen tak bisa menahan senyum gelinya.
“Mungkin,” jawab Freesia. “Tapi, jika kau benar-benar berniat jahat padaku, kau akan tahu sendiri akibatnya.”
“Akibat seperti apa, misalnya?” tanya Allen sembari berusaha menahan senyum geli.
“Meski aku kabur dari rumah, tapi aku tetaplah cucu tunggal nenekku. Aku satu-satunya keluarga nenekku. Meski aku tidak akan bisa menjadi ahli waris perusahaan, tapi aku tetap darah dagingnya, jadi dia akan melakukan hal mengerikan padamu jika kau melakukan sesuatu yang buruk padaku,” ucap Freesia penuh percaya diri.
“Kau cucu tunggal dan satu-satunya ahli waris nenekmu?” Allen memastikan.
“Ya,” jawab Freesia. “Karena itu, nenekku sampai harus mengirimku ke luar negeri untuk belajar manajemen perusahaan di tempat yang menurutnya terbaik. Meski, aku berhasil kabur.” Gadis itu tersenyum bangga.
Allen tak mengerti jalan pikiran gadis ini. Sungguh menakjubkan.
“Lalu, kenapa nenekmu mengirimmu ke luar negeri? Tidakkah seharusnya dia mengurungmu di rumah dan memastikan keamananmu di atas segalanya?” sebut Allen.
“Itu yang terjadi padaku selama ini. Bahkan, ketika aku sekolah di luar negeri, selalu ada orang-orang yang mengawalku,” Freesia berkata. “Aku hanya bebas dari mereka ketika aku berada di lingkungan sekolah. Ck, they’re f***ing annoying.”
“Kurasa, nenekmu juga tidak tahu kebiasaan mengumpatmu itu,” singgung Allen.
“Jika nenekku tahu, aku pasti akan langsung dikurung dan harus belajar tata krama dan etika dari awal.” Freesia menghela napas dramatis.
Allen tersenyum geli. “Lalu, bagaimana akhirnya kau tertangkap dan berakhir dengan perjodohan di restoran hotel itu?”
“Ha ha!” Freesia tertawa kering. “Mereka sudah menungguku di bandara dan menyeretku ke hotel itu. Karena itu, aku tak punya persiapan apa pun. Tapi, untungnya aku bertemu denganmu.” Freesia melempar senyum pada Allen.
Ah, jadi karena gadis ini sudah menyerah untuk menjadi ahli waris di perusahaan, dia akan digunakan untuk tumbal dalam bentuk pernikahan, di mana calon suaminya yang akan mengurus perusahaan untuknya?
Satu-satunya keluarga yang dimiliki gadis ini … benar-benar menggelikan.
***
Freesia tersentak ketika menyadari dirinya tertidur. Ia menatap sekeliling. Gelap. Sekelilingnya gelap. Freesia menoleh ke samping, tapi tak ada orang di sana. Di mana Allen?Jangan bilang … dia meninggalkan Freesia di sini? Tidak. Jangan bilang, ini tempat pertemuan pria itu dengan orang yang akan membeli Freesia? Apa dia benar-benar akan menjual Freesia?Suara ketukan dari kaca jendela depan membuat Freesia menatap ke depan dan ia bisa melihat Allen yang melambaikan tangan sembari tersenyum padanya. Pria itu lantas menunjuk telepon yang menempel di telinganya.Freesia membuka pintu mobil dan turun. Didengarnya Allen berkata,“Ya. Karena ini situasi tak terduga, kalian lanjutkan untuk plan B-nya.”Lalu, Allen menutup telepon dan menghampiri Freesia.“Kenapa kau keluar? Di sini dingin dan kau hanya memakai kaus tipis,” ucap pria itu.“Aku yang seharusnya bertanya,” balas Freesia. “Kenapa kau keluar? Kau bahkan tidak membangunkanku ketika aku tertidur. Apa aku sudah lama tertidur?”“S
Setelah keributan di halaman depan ketika Freesia baru tiba di rumah Allen tadi, ia diantarkan ke kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Allen, sementara kamar Lily ada di sebelah kamar Allen yang lainnya. Freesia berusaha menenangkan diri dengan berendam air hangat. Ia berpikir panjang sembari berendam.Pertama, Allen mungkin tidak seperti yang ia pikir. Ia tidak sekadar dari keluarga kaya. Mengingat orang-orang yang ia sebut karyawannya tadi tidak tampak seperti bodyguard yang biasanya mengawal Freesia.Meski, pria itu tinggal di rumah yang besar dan mewah ini, dengan banyak pelayan, sama seperti di rumah nenek Freesia, tapi Freesia merasa … rumah ini berbeda. Ada aura yang berbeda di sini. Neneknya juga mengerikan dan selalu bersikap tegas pada semua pelayan. Namun, aura di tempat ini berbeda.Semua orang tampak takut pada Allen, tapi juga menghormatinya. Rasanya seolah semua orang di rumah ini siap untuk berlutut di depan Allen. Tak ada yang berani menatap mata Allen. Tempat ini
Freesia terbangun karena ciuman di pipinya. Freesia panik selama sesaat, tapi suasana hatinya langsung membaik ketika menyadari siapa yang barusan mencium pipinya. Lily dengan senyum cerianya menyambut pagi Freesia bagai sinar mentari yang begitu hangat.“It’s fleaking molning, Fleesia. Waktunya bangun dan belmain!” seru Lily riang.“Selamat pagi, Lily,” sapa Freesia. “Itu yang harus kau ucapkan ketika bangun di pagi hari.”“Kenapa?” tanya Lily.“Karena mendengar orang menyapamu setiap pagi tentu terasa menyenangkan,” jawab Freesia.“Begitukah?” Mata Lily berbinar. “Baiklah. Selamat pagi, Fleesia.” Lily tersenyum lebar.“Good girl,” puji Freesia sembari menepuk lembut kepala Lily.“Fleesia, ayo mandi belsama. Aku ingin belendam denganmu,” ucap Lily.Freesia mengangguk. “Baiklah. Aku akan menyiapkan air hangatnya.”Lily bersorak dan berusaha turun dari tempat tidur. Freesia membantunya.“Aku akan memanggil Allen untuk mandi belsama kita,” ucap Lily sembari berlari ke pintu.Fressia sek
Freesia tidak tahu bagaimana akhirnya dia bisa mandi sendiri di kamar mandi kamarnya, tanpa Lily maupun Allen, untungnya. Ia tidak tahu apa yang dikatakan Allen untuk membujuk putri kecilnya itu hingga dia tidak lagi memaksa mereka bertiga mandi bersama.Namun, ketika Freesia dipanggil dan disuruh turun untuk sarapan, dia melihat sebuntal … tidak, sesosok lebah, yang tampak begitu bulat, terutama bagian pantatnya. Freesia tak bisa menahan tawa ketika akhirnya melihat wajah Lily yang tampak begitu bulat karena rambutnya terbuntel kepala lebah.Meski begitu, Freesia segera menghentikan tawa karena setidaknya ada belasan pria berjas hitam bertubuh besar yang menatapnya tajam, sementara Lily tampak merengut. Allen yang sudah duduk di kursinya dan menikmati sarapannya tak sedikit pun tampak peduli.Freesia berdehem dan mendekati Lily. “Kenapa kau tiba-tiba menjadi lebah?” tanya Freesia penasaran.“Cause Allen so f***ing stupid idiot!” maki Lily kesal.Seperti tadi, Allen tak bereaksi dan d
Freesia tak tahu apa yang membuat Lily begitu takut berenang karena ketika dia masuk ke kolam renang bersama Freesia, dia tampak baik-baik saja, meski tangan kecilnya sejak tadi terus berpegangan di kaus Freesia. Allen memang menepati kata-katanya bahwa pagi ini dia sudah menyiapkan pakaian ganti untuk Freesia, tapi tidak ada baju renang di sana. Jadi, Freesia mengenakan kaus dan celana pendek untuk menemani Lily berenang. Yang membuat Freesia heran, tidak ada bagian kolam untuk tinggi anak kecil seperti Lily di kolam renang itu. Bagian kolam paling rendah adalah sepinggang Freesia. Tentu saja, itu masih lebih tinggi dari Lily. Karena itu juga, Freesia masih menggendong Lily sejak mereka turun ke kolam itu tadi. Freesia lalu memperhatikan jika tidak ada pelampung untuk Lily. Freesia menoleh pada Allen yang duduk dengan santainya di kursi santai di tepi kolam renang, di bawah naungan payung besar di samping kursi itu. “Apa kau tidak punya pelampung untuk Lily?” tanya Freesia. “Tid
Allen memperhatikan bagaimana Lily tertawa dan tampak bersenang-senang ketika belajar berenang dengan Freesia. Meski, Allen tidak tahu butuh waktu berapa lama dia bisa berenang nantinya. Masih banyak hal yang harus dia pelajari. Namun, setidaknya untuk saat ini, melihat Lily tampak bersenang-senang, itu sudah cukup. Namun, Allen lebih terkejut melihat bagaimana reaksi Freesia tadi. Bahkan di bawah belasan senjata api, dia masih bisa dengan berani melawan Allen. Apa yang gadis itu pikirkan? Tadinya, Allen tak berencana menunjukkan hal-hal berbahaya di depan gadis itu karena tak ingin membuatnya kabur ketakutan. Ia sudah menyelidiki latar belakang keluarga gadis itu dan menyadari jika dirinya menemukan harta karunnya. Tidak. Atau … bisakah ia menyebutnya kotak Pandora? Gadis itu mungkin tak tahu apa pun, tapi … itu tidaklah penting. Karena Allen tahu segalanya. Dan sekarang ia punya alasan untuk menahan gadis itu di sampingnya. Karena … bukankah itu sudah tradisi keluarga mereka ber
Freesia tersentak bangun dan langsung memanggil satu nama, “Lily …” “Fleesia!” Seruan itu datang dari samping Freesia. Freesia menoleh ke sana dan melihat Lily ada di sana. Tidak hanya Lily, tampak Allen yang sepertinya tadi tidur dalam posisi telungkup di tempat tidur di sebelahnya, kini membuka matanya. “Lily, jangan melompat ke arahnya, jangan menyentuhnya, dan jangan berteriak-teriak,” Allen memperingatkan Lily. “Turun dari tempat tidur tanpa melompat, lalu panggil Val.” Lily mengangguk patuh, lalu turun dari tempat tidur dengan cara memerosotkan tubuhnya yang menghadap tempat tidur. Lalu, gadis itu berlari ke pintu kamar dan berjinjit-jinjit, mencoba membuka pintu. Dia baru berhasil membuka pintu berkat seseorang yang membukakan pintu dari luar. Beberapa pengawal dan pelayan tampak sudah menunggu di luar pintu. “Aku akan pelgi memanggil Doktel Val,” Lily mengumumkan. “Fleesia sudah bangun. Aku tidak boleh menyentuhnya sampai dia diperiksa Doktel Val.” Pintu kamar itu kemba
“Kau benar-benar tidak akan ikut berlatih?” tanya Val setelah dia membangungkan paksa Allen yang melanjutkan tidur di kamar Freesia tadi. “Latihan apa?” tanya Allen. “Latihan menikah,” jawab Val. “Apa?” Allen tidak salah dengar, kan? “Putrimu berkeras untuk melakukan latihan upacara pernikahan atau semacamnya dengan calon ibu tirinya,” urai Val. “Dan kudengar, mereka sedang sibuk mencari pengganti untuk mempelai prianya.” Allen mendengus tak percaya. Lihat ke mana kekacauan gadis itu membawanya. “Apa kau benar-benar akan menikah dengannya?” tanya Val, dengan nada serius kali ini. “Seolah itu mungkin,” dengus Allen. “Kau tahu hubungan keluarga kami.” “Tapi, Lily …” “Gadis itu akan tinggal di sini hanya sampai Lily bosan,” tukas Allen. “Dia bisa sekalian mengajarkan beberapa hal berguna pada Lily.” “Jangan mengentengkan masalah ini,” sengit Val. “Kau lihat sendiri bagaimana reaksi Lily kemarin.” Allen mengernyit. “Itu hanya karena dia merasa dekat. Itu tidak akan bertahan lam