Share

Meski Dipandang Sebelah Mata

“Huwa! Mbak! Apa yang kamu lakukan!” pekik Vela seraya mengusap wajahnya yang baru disiram air.

“Katamu, aku boleh memilih kebahagiaanku sendiri. Menyiram wajahmu dengan air adalah sesuatu yang bikin aku bahagia, Vel,” ucap Elsa seraya meletakan gelas kembali ke nampan. Raut wajahnya terlihat puas dengan senyum yang mengembang di bibir.

“Apa maumu sebenarnya sih, Mbak? Aku hanya menasihatimu untuk kembali pada orang yang kamu cintai kok. Itu biar kamu bahagia, Mbak!”

“Jangan sok peduli sama aku, Vel. Aku tahu akal busukmu. Kamu yang selalu ingin membuat hidupku menderita. Keluar sekarang juga dari kamarku, Vel!” usir Elsa.

“Diberi kesempatan untuk bahagia malah dibuang begitu saja. Sombong banget kamu, Mbak.”

“Nggak apa-apa kalau aku sombong. Lebih baik merasa sakit saat ini, daripada nantinya semakin sakit hati. Atau silakan kalau kamu mau memungut bekasku, Vel. Mas Rio sangat baik kan? Kamu pasti bahagia kalau hidup sama dia. Itu yang baru saja kamu katakan padaku bukan?”

Tanpa menjawabnya, Vela membuang napas kasar, lalu meninggalkan kamar Elsa dengan wajah dan sebagian rambutnya yang basah.

“Rasanya enak bukan?” gumam Elsa setelah Vela kembali menutup pintu kamarnya.

Sejak kedatangan Vela, hidup Elsa semakin memprihatinkan. Nani tidak berlaku adil. Bahkan sangat jelas perbedaannya.

Nani selalu memberikan kasih sayang berlebih pada Vela. Sampai ia mengatakan kalau semua yang ada di rumah ini adalah milik Vela. Apa pun kepunyaan Elsa adalah milik Vela juga.

Karena sejak kecil sudah dipupuk demikian, sikap Vela kepada Elsa begitu semena-mena. Elsa di mata Vela tidak boleh bahagia melebihi dirinya. Namun, selain pada Elsa, sikap Vela sangat lembut yang seolah hatinya bagai seorang malaikat.

Apabila terjadi suatu masalah antara Elsa dan Vela, tentu orang-orang akan menunjuk Elsa biang dari segala kesalahan. Ya, karena sikap Vela memang sangat manipulatif. Ia pandai memerankan dua karakter sekaligus.

Hingga kebenaran tentang hubungan Rio dan Vela terungkap, rasa sakit di dalam hati Elsa tak bisa dibiarkan saja. Kesempatan emas untuk melalukan pembalasan atas pengkhianatan itu mungkin datang pada saat ini. Elsa tak bisa membuangnya begitu saja.

Ponsel yang berada di atas nakas berbunyi. Seseorang sedang menelepon. Elsa segera mengambil untuk mengangkat panggilan yang masuk ke ponsel itu.

“Halo, Mbak Elsa. Saya disuruh menjemput Anda untuk bertemu dengan Direktur Utama. Saya sudah berada di depan pintu gerbang.”

Di layar ponsel tertulis nama Rendi. Dia yang sedang menelepon Elsa. Laki-laki itu merupakan salah satu orang yang bekerja untuk Wicaksono—kakek angkat Elsa. Bisa dikatakan sebagai orang kepercayaan yang ditugaskan melakukan pekerjaan bersifat rahasia. Informasi penting sering diketahui olehnya.

Namun, hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahui tugas khususnya itu. Selebihnya, hanya dianggap sebagai asisten pribadi dari seorang pemilik perusahaan di bidang perhotelan.

“Baik. Aku akan menemuimu. Tunggu saja.”

Telepon terputus. Ponsel dimasukkan ke dalam tas. Elsa bersiap pergi. Meski dirinya sedang dikurung karena katanya melakukan kesalahan, ini adalah perintah dari orang yang punya wewenang paling tinggi dalam keluarga ini. Handi tak bisa melarangnya pergi.

“Elsa! Mau ke mana kamu! Ayah sudah bilang jangan pergi keluar rumah untuk sementara waktu, kamu sudah berani membantah perintah Ayah!”

Ketika melewati ruang tengah, Elsa yang sudah berpakaian rapi seketika mendapat omelan dari Handi. Kedua manik mata laki-laki itu melebar. Amarah tampak jelas terlihat dari raut wajahnya.

“Aku nggak mungkin pergi kalau bukan karena Kakek yang menyuruhku datang, Yah. Aku tahu, di mata Ayah, aku ini salah. Tapi, aku nggak bisa mengabaikan perintah dari Kakek. Kalau nggak percaya, sudah ada Rendi yang menjemputku. Dia sudah ada di depan pintu gerbang,” ucap Elsa menjelaskan segalanya.

“Dia pasti berbohong, Yah! Bilang saja kalau mau bikin ulah lagi di luar sana!” Nani ikut berkata-kata.

Elsa tak mendengar perkataan Nani. Ia malah sibuk mengetik sesuatu di layar ponselnya.

“Tolong pencet belnya. Orang-orang di sini nggak mau mendengar alasanku.” Isi pesan yang ditulis Elsa untuk Rendi.

Tak lama, bel rumah berbunyi.

“Rendi yang memencet bel itu. Ayo, ikuti saja kalau kalian masih tetap nggak percaya.”

Dengan raut wajah datar, Elsa berusaha mencari kepercayaan pada orang-orang yang sudah tak menghargai keberadaannya.

Elsa memang seorang anak adopsi. Namun, ada perjanjian yang tertulis kalau Elsa masih belum menikah, keluarga yang mengadopsi tidak boleh membuangnya begitu saja. Kalau dilanggar, ada hukum yang akan bertindak.

Dengan seperti itu, Elsa masih bisa mempertahankan dirinya berkumpul dan menikmati fasilitas yang ada pada keluarga ini.

Setelah menikah pun, Elsa akan mendapatkan jatah warisan yang sebelumnya sudah ditulis dalam perjanjian itu. Jadi, meski dibuang, setidaknya ada bentuk pertanggung jawaban dari keluarga yang telah mengadopsinya.

Karena Elsa mengetahui perjanjian itu, hubungannya dengan Rio berjalan cukup lama. Mereka berpacaran selama bertahun-tahun. Tak ayal, rasa cinta yang Elsa rasakan begitu tulus. Hingga akhirnya, kenyataan pahit terungkap sesaat sebelum terjadi pernikahan itu.

Ditambah, mungkin keluarga Rio hanya mengincar harta warisan yang nantinya akan Elsa miliki setelah menikah dengan Rio.

Bagaimana sebuah rahasia keluarga bisa diketahui orang luar?

Jawabannya tentu karena Vela. Wanita itu sengaja bercerita banyak hal dan terus mencuci otak Rio agar mau melakukan apa pun demi cinta.

Ya, kadang orang akan bertindak hal bodoh ketika rasa cinta itu teramat besar, seperti apa yang Rio lakukan. Kalau memang benar cinta, harusnya berhubungan secara sehat. Bukan malah melakukan hubungan terlarang seperti apa yang Vela inginkan.

“Buat apa Kakek menyuruhmu mendatanginya? Bukankah Kakek sedang sakit?” tanya Handi.

“Makanya, Ayah tanya sama Rendi. Aku nggak tahu, apa tujuannya menyuruhku menghadap Kakek.”

Tanpa menjawab lagi, Handi dan Nani mengikuti langkah kaki Elsa untuk menemui Rendi.

“Buat apa Kakek menyuruhmu menjemput Elsa, Ren?” tanya Handi setelah pintu gerbang dibuka.

“Saya tidak tahu, Pak. Saya hanya mendapat perintah seperti itu. Beliau sudah menunggu. Jadi, kami harus segera menemui Direktur Utama. Ayo, Mbak Elsa, silakan masuk mobil.”

“Rendi, katakan yang jujur. Sebenarnya, apa yang membuat Kakek menyuruhmu menjemput Elsa?” Nani bertanya penuh emosi.

“Maaf, Bu. Saya tidak boleh terlambat. Kami harus segera pergi.”

Elsa sudah duduk di kursi depan. Rendi menyusul duduk di belakang kemudi.

Handi dan Nani yang tidak mendapatkan jawaban apa-apa, hanya bisa menahan rasa kesal kala melihat kepergian Elsa.

“Apa kamu nggak tahu apa-apa, Mas? Jangan-jangan, ada yang Ayah sembunyikan,” selidik Nani.

Handi menggeleng. “Paling hanya membahas progres hotel yang Elsa kelola. Buat apa lagi mereka bertemu? Sudahlah, jangan berpikir macam-macam.”

“Tapi, Yah ....”

“Udah, ayo, kita masuk. Mereka nggak mungkin putar balik. Ayah yang meminta, aku nggak bisa berbuat apa-apa. Rendi pasti hanya disuruh menjemput tanpa tahu apa-apa.”

Handi tak mengetahui tugas khusus yang Rendi lakukan. Karena memang hanya orang tertentu yang Wicaksono inginkan.

“Apa benar, kamu nggak tahu kenapa Kakek memanggilku?” tanya Elsa di dalam mobil yang sedang meluncur ke rumah sakit tempat Wicaksono dirawat.

“Sebenarnya saya sudah mengetahui tujuan Direktur Utama memanggil Anda, tapi lebih baik kalau Direktur Utama sendiri yang mengatakannya. Baru setelah itu, saya akan menjelaskan semuanya.”

“Baiklah. Aku menghormati pekerjaanmu.”

Rasa penasaran yang membuncah tak bisa dibayar lunas detik itu juga. Elsa harus bersabar sampai dirinya sudah berdiri di hadapan Wicaksono.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status