Share

Bab 5

Bab 5

Nasehat Hamdani

"Sudah cukup, Rat. Kamu tidak usah ikut campur urusan anakmu. Tidak baik jika orang tua terlalu ikut campur," ucap Hamdani menasehati. Memang yang bisa dilakukan Hamdani hanya sekedar menasehati tapi tidak bisa berbuat lebih. Karena Hamdani tidak punya hak untuk berbuat lebih.

Lantas Bela pergi meninggalkan mereka yang masih berdiri menatap penuh amarah. Berjalan dengan langkah cepat menuju rumah Hamdani, yang jarak antara rumah mereka tidaklah jauh. Bela tidak memperdulikan para tetangga yang melihatnya berjalan dengan berderai air mata. Karena pikiran wanita itu sudah tidak bisa lagi digunakan.

"Mir, Amir." Bela berteriak memanggil Amir. Anak Hamdani yang duduk di bangku sekolah menengah.

"Iya, Mbak Bela,"  jawab Amir bersamaan keluar dari rumah. "Mau kemana, Mbak?" tanya Amir penuh keheranan melihat Bela membawa tas cukup besar. Wanita itu mengusap jejak airmatanya.

"Mir, antar Mbak Bela pulang yuk!" Bela meminta tolong Amir agar diantar pulang kerumah. Jarak dari rumah Imam menuju rumah Emak hanya kisaran satu jam. Tak terlalu jauh.

"Tapi Mbak, Amir lagi ada kelas. Maklum, hari ini jadwalnya daring." 

"Ya, sudah kamu selesaikan dulu. Mbak tunggu di sini ya?" Bela menjatuhkan bobot tubuhknya di kursi. Perasaannya campur aduk. Memikirkan hal yang baru saja terjadi. Bela tidak habis pikir jika Imam akan menikah tanpa meminta izin kepadanya terlebih dahulu.

"Siapa, Mir?" tanya Siti kepada anaknya hingga terdengar sampai di luar rumah.

"Mbak Bela, Bu. Suruh nganterin pulang." 

"Kok gak dianterin?" tanya Siti, tatapannya tertuju pada Amir.

"Amir lagi daring, Bu. Sebentar lagi selesai kok, tanggung!" Amir kembali membuka ponsel yang tadi sempat ia tinggalkan.

"Ya sudah," jawab Siti lalu berjalan menghampiri Bela yang tengah duduk di kursi teras.

"Bela, ditunggu di dalam yuk!"  pinta Siti namun Bela menolak dengan menggelengkan kepala.

"Sudah, masuk dulu. Nanti dilihatin orang kalau kamu nangis diteras!" pinta Siti yang langsung tahu Bela sedang bersedih.

Bela Pun akhirnya menurutinya. Masuk kedalam rumah menjinjing tas yang lumayan berat.

****

Seperti biasa Imam berangkat ke pabrik jam tujuh pagi hingga jam enam sore. Bela selalu bangun pagi untuk membuatkan Imam sarapan dan juga menyiapkan bekal makan siang. Meskipun sebenarnya Imam sudah bosan melihat wajah pucat Bela. Dia selalu mengenakan daster yang warnanya sudah pudar. Jarang merias diri apalagi memakai minyak wangi. Perasaan Imam juga berubah semenjak 5 tahun lalu dokter mengatakan bahwa Bela mandul. Meskipun pada kenyataannya Imam sendiri tidak mendengar langsung dokter mengatakan demikian. Sebab disaat dokter menjelaskan Imam sedang menerima telpon dari ibu.

Perlakuan Imam yang berubah menjadi kasar. Bentuk kekecewaanannya pada istri tuanya. Berkali-kali dia meminta cerai tapi Ibu memaksa mengajak Bela kembali meskipun sebenarnya ingin sekali mengabulkan permintaannya. Tapi sayang Imam lebih takut kalau ibunya marah dengan lelaki itu jika tidak menuruti keinginannya.

"Mas, aku telat dua Minggu!" ucap Lia lirih hampir tak terdengar oleh Imam.

"Telat? Kamu hamil?" tanya imam penasaran. Wanita itu hanya mengangguk lalu tersenyum. Imam terlihat bahagia, tidak pernah terbayangkan olehnya akan segera mempunyai anak dari darah dagingnya sendiri. Ya, wanita itu bernama Amelia Pratiwi. Wanita yang dia pacari satu tahun terakhir. Dengan kata lain Imam bermain api dengannya tanpa sepengetahuan Bela.

Memang Bela itu wanita yang bod*h. Gampang sekali dimanfaatkan untuk beberes rumah dan juga menghemat uang. Dia pintar memasak apalagi menanam berbagai macam sayuran. Alasan klasik jika Imam menabung untuk masa depan mereka. Meskipun sebenarnya penghasilan Imam, dia berikan kepada ibu dan juga Lia. Benar-benar wanita bod*h.

"Aku seneng banget deh, Sayang. Kamu hamil," ucap imam sambil mengusap lembut perut Lia yang belum membesar.

"Kok seneng sih, Mas? Kita belum nikah lho! Aku malu jika semua orang tahu aku hamil tapi belum menikah." Lia merajuk.

"Iya, kita akan segera menikah. Biar nanti Mas yang bilang sama Ibu. Kamu gak usah khawatir ya, jaga bayi kita baik-baik ya?" Imam mengusap perut Lia.

"Janji?" Jari kelingking Lia ia sodorkan kearah Imam. Lantas laki-laki itu memperhatikan kemudian menautkan kelingkingnya.

"Iya, Mas. Janji. Kamu mau makan apa sekarang? Mas beliin deh."

"Aku gak mau makan. Aku mau tas yang ini sama sepatu!"

"Iya, Sayang. Apa sih yang gak boleh buat cintaku ini?" Imam memeluk erat wanita yang berdandan menor itu. Aroma rambutnya saja wangi bertolak belakang dengan Bela yang setiap hari bau terasi.

Imam mencoba membujuk ibu agar merestui dia menikah dengan Lia. Ternyata membujuknya tidaklah susah. Ibu langsung mengiyakan tanpa menceramahi lelaki itua Namun dengan syaart imam tidak boleh menceraikan Bela. Dengan alasan  Bela bisa dijadikan pembantu yang tidak perlu dibayar.

*****

Hari ini Bela mengajak ke kampung halamannya. Menjenguk Emak yang tengah sakit. Dengan alasan lembur lelaki itu menolak mengantarnya. Meskipun sebenarnya hari ini dia akan menikah dengan Lia.

Semua syarat yang harus diajukan ke KUA di urus Lia. Entah menyuruh siapa Lia bisa dengan mudahnya mencari surat pengantar dari kelurahan sehingga dengan mudah mereka menikah sah secara hukum maupun agama. Tinggal nanti bagaimana ibu mengatakan pada Bela perihal pernikahan mereka ini.

"Bu, Lia sudah hamil." imam sengaja langsung mengatakannya kepada Ibu. Agar dia tahu bahwa dia akan segera menimang cucu.

"Apa Lia hamil? Berapa bulan? Sudah cek ke dokter belum?"

"Sudah, kata dokter  baru satu bulan, Bu," jawab Lia dengan senyum sumringah. Mereka pun semua bahagia meski Lia hamil diluar nikah tapi tidak masalah dengan Imam. Toh, dia juga bertanggung jawab atas kehamilannya. Itu yang kini ada dipikiran Imam.

Selang seminggu Ibu menggelar acara syukuran di rumah Imam. Meskipun awalnya ibu bilang itu acara arisan. Membohongi Bela agar dia tidak marah sebelum acara.

Seperti dugaan, Bela marah setelah Ibu mengatakan bahwa Imam menikah dengan Lia tanpa izinnya. Memangnya dia siapa? Harus meminta izin padanya. Keputusan Imam menikahi Lia juga karena dia tidak bisa memberikan laki-laki itu keturunan. Mendapatkan izin atau tidak darinya, imam akan tetap menikah dengan Lia.

Bela marah dia pergi membawa pakaiannya. Sudah menjadi kebiasaan jika Bela marah dia akan kembali pulang dan juga meminta cerai. Tapi jika imam datang dan meminta maaf pasti akan kembali lagi.

"Gak usah khawatir, Bu. Dia gak akan lama kok perginya. Paling cuma seminggu nanti juga balik lagi kalau Imam susul."

"Iya, pokoknya kamu gak boleh cerai ya, Mam! Nanti siapa yang mau nyuci baju ibu? Lia gak boleh kerja capek-capek. Ya sayang ya?" Ibu mengusap lembut rambut Lia. Hamdani yang melihat kamipun lantas pergi begitu saja tanpa sepatah katapun. Saudara satu-satunya yang dimiliki Ibu itu mungkin sudah bosan memberi nasehat kepada imam dan juga Ibu. Karena memang imam tidak suka dengan semua nasehatnya yang sok bijak itu.

"Astaga, Bela ini bener-bener ya. Pergi aja ninggalin masalah. Heran deh Ibu!"

"Kenapa sih, Bu?" tanya Lia menghampiri  Ibu yang sudah berada di dapur. Melihat banyaknya piring dan juga gelas kotor yang belum dibersihkan.

"Ayo Lia bantu ibu nyuci piring!"

"Gak usah, Bu. Lia ini hamil muda. Jadi dia gak boleh kerja yang berat-berat."

"Terus maksud kamu ibu yang ngerjain sendiri begitu?"

"Ya iya lah, Bu. Siapa lagi?"

Ibu mendengus kesal. Meskipun dengan berat hati dia mengerjakan semuanya. Dari mencuci piring dan juga gelas kotor hingga menyapu seluruh ruangan karena banyak orang membuang bungkus makanan sembarangan.

"Kalau saja Bela ada disini. Ibu gak perlu capek-capek ngerjain ini semua, Mam!"

"Maksud Ibu apa ya?" tanya Lia dengan ekspresi yang sulit diartikan.

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Almera Azzahra
kok aku pusing bacanya ya,,, mohon dikoreksi lagi ya kak,, biar gak muter" baca nya
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Alurnya maju mundur
goodnovel comment avatar
Bu Iim
Alur ceritanya membingungkan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status