Share

Lebih Dekat

Cukup lama keduanya bertatapan tanpa sadar dan bunyi smartphone dari saku celana Altair membuyarkan keduanya. Sedikit panik Altair berjalan mejauh dari Aquila.

“Ha.. hallo, Ryota?” Altair tergagap, mencoba menetralkan detak jantungnya.

“Altair.. apa kau baru saja melalukan hal yang tidak pantas, kenapa suaramu gugup sekali?” goda Ryota seakan bisa melihat apa yang baru saja terjadi.

“Apa maksudmu, aku hanya kaget tadi.. Untuk apa kau menelpon?” Altair tidak terima.

“Aku dan Naoki sudah berada di apartemenmu, sekarang kau di mana?” Ryota menjelaskan.

“Apa? untuk apa?”

“Apa kau lupa besok pagi kita ada meeting penting dan kita harus menyiapkan semua materinya.” Ryota sedikit heran karena sahabatnya itu belum pernah melupakan schedule kerja sebelumnya.

“Ahh.. aku akan segera pulang.” Altair memutuskan panggilan teleponnya, kembali berjalan ke arah Aquila yang masih anteng duduk disana.

“Aquila sepertinya kita harus pulang, Ryota dan Naoki sudah menunggu di apartemen.” ucap Altair pelan. Sedikit menyesal karena sepertinya Aquila masih ingin menenangkan dirinya. Tapi ia juga tidak bisa membuat teman-temannya bekerja sendiri.

“Ah maaf kak, aku menahanmu di sini..ayo pulang!” Terlihat sekali Aquila ragu dengan ucapannya.

Dia tidak ingin pulang, dia belum mau bertemu dengan orang tuanya tapi dia juga tidak boleh egois menahan Altair lebih lama.

“Menginaplah di apartemenku!” seru Altair seakan bisa membaca isi hati Aquila, ia menjawabnya dengan senyuman manis dan anggukan kecil.

Dia baru bertemu dengan Altair beberapa hari yang lalu tapi dia sudah begitu nyaman dengannya, Altair adalah orang yang sangat hangat dan ramah, juga sangat pengertian, beruntung sekali Arata mempunyai kakak sebaik Altair pikirnya.

“Tadaima!” seru Altair begitu sampai di apartemennya.

“Kau lama sekali sayang, aku sudah menunggumu!” Itu Noaki yang menggodanya dari arah dapur. Altair mendengus, memutar bola matanya malas sementara Aquila tertawa kecil mendengarnya.

“Masuklah Aquila!” Ajak Altair yang melihat gadis itu masih mematung di depan pintu.

“Un..”

Mereka berdua berjalan kearah dapur untuk menemui kedua sahabatnya itu.

“Aquila?” ucap Ryota dan Naoki yang sedikit terkejut melihat Altair kembali bersama Aquila.

“Kak.. selamat malam, aku akan menginap di sini.. apa aku mengganggu kalian?” tanya Aquila ramah.

“Apa, tentu saja tidak!” jawab Naoki cepat.

“Aquil, kau bisa beristirahat di kamar tamu. Aku akan membuatkanmu sesuatu nanti.. maksudku kau belum makan dari tadi.. nanti aku akan menghantarkannya ke kamar.” Altair berucap pelan membuat Ryota dan Naoki saling bertatapan curiga.

“Tidak perlu kak, aku tidak lapar. Kalau begitu aku ke kamar dulu ya.” Aquila sedikit membungkuk ke arah tiga orang di depannya dan berjalan pergi ke kamar yang kemarin ia tempati.

“Ada apa dengannya?” Ryota bertanya heran dengan raut muka Aquila yang muram, beda sekali dengan saat dia bertemu di kafe kemarin.

“Kau tidak berbuat yang tidak-tidak pada bocah itu kan?” tanya Naoki penuh selidik.

“Apa maksudmu, tentu saja aku tidak berbuat macam-macam!” jawab Altair cepat.

“Aku tinggal sebentar, kalian tolong siapkan berkas yang perlu kita teliti sekarang!” perintah Altair.

“Baik.” Ryota dan Naoki menjawab cepat.

Mereka bertiga bekerja di perusahaan yang sama, perusahaan yang mereka rintis dari nol bersama. Status mereka bertiga sebenarnya sama tinggi di perusahaan tersebut tetapi karena Altair yang memiliki ide untuk membangun perusahaan itu dan ia mempunyai kemampuan untuk menghandle semua hal membuatnya secara tidak langsung mengisi jabatan yang paling tinggi, ia juga begitu dihormati oleh kedua sahatnya itu. Dengan tangan dingin mereka bertiga perusahaan itu berkembang pesat tanpa memerlukan waktu lama.

Altair keluar dari kamarnya dengan handuk yang masih bertengger di lehernya, dia lihat kedua sahabatnya yang sedang serius mendiskusikan sesuatu. Berjalan kearah dapur, diambilnya beberapa potong roti untuk dipanggang. Ia ingat tadi berjanji akan membuatkan Aquila sesuatu, tentu saja karena perutnya sendiri juga minta diisi.

Setelah selesai dia pergi ke kamar Aquila dengan membawa dua potong roti panggang dan segelas coklat panas, melewati Ryota dan Naoki di ruang tengah.

“Aquila!” panggil Altair di depan pintu kamarnya.

Lama tidak ada jawaban dari dalam Altair memberanikan diri untuk masuk, dilihatnya Aquila yang sudah tertidur pulas. Altair meletakkan makananya di atas meja nakas, berjalan ke arah balkon dan menutup jendela yang masih terbuka. Mendekat ke arah ranjang lalu menyelimuti tubuh kecil itu.

Ada rasa iba disorot mata Altair saat menatap Aquila yang meringkuk di bawah selimutnya. Ia tidak menyangka gadis yang selalu terlihat ceria ini mempunyai masalah yang begitu besar. Puas melihat Aquila yang tertidur akhirnya Altair keluar meninggalkan gadis itu.

“Kalian makanlah dulu!” Altair membuyarkan konsentrasi Ryota dan Naoki yang tengah asik dengan laptop masing-masing setelah kembali dari kamar Aquila dengan memebawa beberapa potong roti yang sudah ia panggang tadi, juga tiga cangkir kopi americano, pria tinggi itu lalu mendudukkan dirinya di depan kedua sahabatnya itu.

“Anak itu sudah tidur?” tanya Naoki yang dijawab anggukan oleh Altair.

“Jadi sampai di mana yang sudah kalian bahas?” Altair bertanya, mulai membolak-balik file-file di hadapannya. Mereka bertiga asik mempersiapkan pekerjaan untuk besok pagi, membahas segala hal yang mungkin akan jadi masalah selanjutnya.

Jam menunjukkan pukul dua pagi, tapi Altair belum bisa memejamkan matanya, kedua sahabatnya pun sudah tidur dari beberap menit yang lalu, Ryota dan Naoki memang biasa menginap di apartemen Altair jika ke esokan paginya ada meeting penting ataupun juga akhir pekan. Harusnya ia juga tidur karena besok pagi ia harus bangun awal, tetapi matanya sama sekali tidak bisa dipejamkan.

Untuk mengurangi bosan Altair duduk di balkon apartemennya, menyesap rokok yang jarang dia sentuh beberapa hari terakhir. Menerawang pemandangan malam yang tersaji dari apartemen lantai delapan. Langit musim panas sangat indah menurutnya, karena dia bisa melihat langit biru yang begitu indah di siang hari dan bisa dengan jelas melihat bintang-bintang di malam hari.

“Kak.. kau tidak istirahat?” Reflek Altair menoleh ke arah sumber suara.

“Aku tidak bisa tidur.” jawab Altair.

“Mau kubuatkan sesuatu?” tawar Aquila lembut.

“Terima kasih tapi tidak usah.” ujar Altair ramah. Ia mematikan rokok yang masih tersisa sepertiga itu begitu Aquila berjalan mendekat.

“Ahh.. begitu.. oiya, terima kasih roti dan coklatnya kak, itu sangat enak.” Jujur Aquila.

“Baguslah jika enak.”

“Kak..”

 “Hmm” gumam Altair memfokuskan atensinya ke gadis mungil di depannya.

“Kau tidak ingin menanyakan sesuatu? Maksudku tentang kejadian di rumah tadi ?” Aquila tidak berani menatap mata pria yang jauh lebih tinggi darinya itu.

“Jika aku bertanya mungkin itu akan memberatkanmu, jadi aku menunggumu yang bicara.. tapi jika kau tidak ingin berbicara pun tak apa, itu masalah keluargamu, aku tidak berhak tahu dan

seandainya aku taupun itu tidak akan berpengaruh pada caraku melihatmu, Aquila Minami!” jelas Altair halus. Ia memang tidak mau memaksa gadis manis itu untuk menceritakan masalah yang tengah dihadapinya.

“Terima kasih.. terima kasih kak!” Aquila tidak tahu lagi bagaimana mungkin ada seseorang sepengertian Altair.

“Oiya Aquila, besok pagi kami akan berangkat kerja pagi dan pulang sedikit larut, kau tidak masalahkan di apartemen sendiri atau kau bisa mengajak Arata untuk menemanimu.”

“Tentu saja tidak apa-apa, aku berani di sini sendirian.” balas Aquila mantap.

“Baguslah kalau begitu, ini kunci apartemenku.” Altair menyerahkan kartu yang berfungsi sebagai kunci pada Aquila. Juga memberitahukan kode akses apartemennya.

Altair adalah orang yang sangat berhati-hati dalam segala hal, tapi dengan Aquila, gadis yang baru dikenalnya dua hari lalu entah kenapa dia merasa tidak perlu memasang sikap hati-hatinya. Ia merasa bisa menyerahkan apapun pada gadis ini.

***

Sudah hampir empat bulan Altair dan Aquila tinggal bersama. Mereka sudah saling beradaptasi dan mengetahui karakteristik satu sama lain. Sesekali teman-teman Altair maupun Aquila akan menginap di apartemen mereka.

Altair sibuk bekerja dan Aquila sibuk kuliah, siapa yang bangun pagi dia yang akan menyiapkan sarapan, dan siapa yang pulang terlebih dahulu dia akan menyiapkan makan malam. Jika yang satu sudah memasak maka yang satu membersihkan sisanya, begitu juga sebaliknya. Sesederhana itu mereka saling melengkapi satu sama lain.

Kehadiran Aquila membuat hari-hari seorang Altair Ryu Sato semakin berwarna. Sebelumnya dia adalah orang yang sangat kaku dan jarang tersenyum. Sekarang dia berubah menjadi sosok yang lebih friendly bahkan dia tidak ragu untuk melemparkan senyum kepada orang lain yang baru pertama ia jumpa. Altair jadi bisa menunjukkan sisi lembutnya terutama kepada Aquila tentunya.

Sedangkan kehadiran Altair di kehidupan Aquila membuat dia lebih merasa aman, selama ini dia tidak punya seseorang yang bisa ia andalkan, yang bisa menjadi tempatnya bernaung saat ia merasa lelah dengan semua hal yang ia lewati. Altair mengajarinya untuk lebih jujur kepada dirinya sendiri, untuk tidak takut mengekspresikan emosi apapun yang memang Aquila rasakan.

Tidak atau tepatnya belum ada hubungan apapun di antara mereka. Altair yang murni menolong Aquila yang butuh tempat bersembunyi dari keluarganya. Aquila yang terlalu nyaman mendapat kasih sayang dari sosok seorang kakak yang selama ini sangat ia inginkan.

Mereka tak sadar hal-hal sederhana itu yang lambat laun membuat mereka akhirnya saling membutuhkan.

“Aquila.. wake up, it is 9 am already!” Altair mengetuk pelan kamar Aquila.

“Lima menit lagi kak!” Terdengar suara malas Aquila dari dalam.

“Baiklah kalau begitu jangan salahkan aku jika lima menit lagi kau tidak kebagian pie apel yang aku bawa semalam.” Altair berlalu menuju dapur untuk melanjutkan sarapan yang tadi tertunda.

“No way, kau tidak bisa menghabiskannya untuk dirimu sendiri!” teriak Aquila. Ia berlari untuk mengejar Altair yang sudah berada di dapur.

Kesan gadis manis dan anggun yang melekat pada sosok Aquila saat mereka kenal pertama kali dulu sudah luntur di mata Altair.

“Kau ada acara hari ini?” tanya Altair pada Aquila yang sudah berada di hadapannya.

“Ada.. aku mau quality time bersama kekasihku, kebetulan hari ini aku libur kerja.” jawaban yang diberikan Aquila membuat Altair tersedak kopinya.

“A.. Apa? Kekasih? Kau punya kekasih?” tanya Altair tak percaya.

“Ya.. kasur di kamarku.” jawab Aquila enteng, menghindar dari Altair yang hampir saja menjitak kepalanya.

“Dasar pemalas!” cibir Altair sambil menyuapkan pie ke dalam mulutnya sendiri.

“Ya mau bagaimana lagi, weekday aku harus kuliah dan weekend aku harus bekerja paruh waktu,” jawab Aquila tidak terima dipanggil pemalas, “kakak sendiri apa ada acara, ini hari sabtu.. Kakak tidak pergi berlibur?” sambung Aquila.

“Aku ingin mengajakmu berbelanja, stok makanan kita sudah habis tapi sepertinya kau punya janji yang sangat penting jadi mungkin aku akan berangkat sendiri.” Altair berucap dengan nada menyebalkan.

“Kak...” rengek Aquila. Aquila sangat suka berbelanja bahan makanan karena itu artinya dia bisa menentukan menu yang akan mereka makan ke depannya karena terakhir kali Altair berbelanja sendiri, berakhir hanya membeli daging, pasta dan makanan instan, tidak ada sayur yang bisa ia masak.

“Apa ada tempat yang ingin kau kunjungi Aquila?”

“Aku ingin ke toko kue yang baru buka di depan toko buku langgananku, menunya terlihat menggoda.” jawab Aquila antusias.

“Baiklah, setelah berbelanja kita mampir ke sana.”

“Kau serius kak?” Aquila meyakinkan dengan mata berbinar. Altair tersenyum lembut dan mengangguk.

Ajakan Altair akan membawa badai pertama untuk hubungan mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status