Itu adalah wujud ancaman Dexter kemarin. Seringai bibirnya semakin lebar saat melihat Mae memandangnya. Merasa menang tentu. Kalau mereka tidak menandatanganinya, maka surat itu tidak bisa disahkan dan Mae tidak akan mendapatkan bagiannya.
“Mmm… Anda punya kewajiban untuk menandatangani.” Pengacara itu mengingatkan kalau proses hukum itu resmi, mereka tidak boleh menolak hanya karena tidak setuju dengan jumlahnya. Mae bisa menuntut dan menang.
“Aku tidak akan tanda tangan sebelum kasus ini selesai. Aku sudah membuat laporan resmi pada polisi, dan mereka akan memulai penyelidikan,” sahut Dexter.
Hakim bisa memaksa mereka menandatangani pengesahan, tapi alasan proses kasus sangat bisa menunda pengesahan itu.
“Apa kalian gila? Aku tidak melakukan apapun pada Barnet!” bentak Mae, mulai marah setelah sadar kalau masih lama uangnya akan cair.
“Itu katamu! Kau pikir kami akan percaya?! Semua orang tahu kau hanya jalang mata duitan yang akan melakukan apapun untuk uang! Aku tidak akan diam sebelum penyebab kematian ayahku terungkap!” Evelyn menunjuk Mae, lalu pengacara itu.
“Kau pergilah! Akan ada surat untukmu dari polisi, mengesahkan penundaan ini!” usirnya.
Pengacara itu dengan cepat membereskan barangnya, tidak ingin terlibat pertengkaran keluarga.
“Sinting! Kalian ingin menggali lagi mayat Barnet?” Mae tidak percaya mereka akan bergerak sejauh itu.
Mereka kemarin tidak menyebut hal ini sama sekali, dan langsung memproses pemakaman dengan normal. Seminggu lalu, ide ini belum muncul pastinya.
“Ya, kami sudah memberi izin. Mereka akan menemukan kejanggalan dan menyeretmu ke penjara!” tandas Evelyn dengan berapi-api. Dendamnya pada Mae tidak terbendung lagi, sampai melakukan hal yang bahkan Mae saja tidak pernah terpikir.
Terbayang polisi harus menggali jenazah Barnet yang sudah berusia seminggu. Bahkan untuk Mae yang sangat tega, keadaan itu terlalu mengenaskan.
“Kalian tidak waras memang. Untuk apa mengganggu Barnet lagi? Bahkan setelah mati pun kalian bersikap kurang ajar padanya!” cela Mae, sambil menyambar mantel. Ia tetap akan pergi dari rumah itu. Seperti rencana, Mae sudah menghubungi Ash juga.
“Kau mau kemana? Kau tidak boleh pergi!” Dexter ikut berdiri saat melihat Mae akan pergi.
“Aku akan pergi saat ingin pergi! Apa hakmu melarang?” Mae tentu meneruskan langkahnya.
Ia akan mencari jalan agar uangnya cair nanti, tapi jelas tidak akan menghabiskan waktu dengan mereka berdua.
“Jangan harap!”
“AGHH!”
Mae menjerit, karena ada tangan menjambak rambutnya, menariknya mundur. Tentu saja Evelyn yang memang tidak pernah ragu menyerang Mae. Ia tidak brutal seperti ini saat Barnet ada karena tentu dilarang.
“Kau tidak boleh pergi kemanapun sampai polisi datang dan menangkapmu! Kau pikir aku akan membiarkanmu kabur?” Evelyn benar-benar menarik rambut Mae sampai kulit kepalanya terasa panas dan pedih.
“LEPASKAN!” Mae memekik sekuat tenaga, dan mencakar tangan Evelyn, tapi tekad Evelyn sudah sekuat batu, tangannya sama sekali tidak mengendur, tetap mencengkram.
“Aku tidak melakukan apapun pada Barnet, kalian tidak akan menemukan apapun!” pekik Mae, melawan lebih kuat dengan menancapkan kukunya ke punggung tangan Evelyn, dan berhasil.
Rasa sakit membuat Evelyn melepaskan tangannya, dan Mae bisa menjauh melepaskan diri. Tapi ada makhluk lain yang menghadang Mae. Dexter mencegahnya keluar, dengan rentangan tangan dan senyum licik.
“Kau mungkin merasa pintar, tapi polisi lebih pintar. Mereka akan menemukan jejak busukmu,” kata Dexter.
“Menemukan apa? Aku tidak…” Suara Mae menyurut karena menyadari satu hal. Ia tidak melakukan apapun pada Barnet, tapi mereka berdua kemungkinan akan memastikan dirinya bersalah.
Kalau penyelidikan itu berjalan jujur, maka Mae tidak akan menjadi tersangka, tapi siapa yang akan menjamin kasusnya berjalan lurus? Evelyn dan Dexter bisa saja melakukan sesuatu untuk membelokkan kasus itu. Mereka bukan hanya menahan uang Mae, tapi juga akan membuatnya di penjara.
Dua keadaan yang tidak menguntungkan Mae, dan membuatnya dalam bahaya. Insting Mae berpikir cepat. Ia tidak bisa memperbaiki apa yang sudah terjadi, yang harus dilakukannya kini adalah melepaskan diri.
“Minggir!” seru Mae, pada Dexter.
“Jangan bercanda. Aku akan mengurungmu di sini, sampai polisi menemukan bukti itu.” Dexter tidak menyentuh Mae, tapi ide itu pasti disetujui Evelyn karena wanita itu dengan cepat menyambar tangan Mae dan menyeretnya dengan paksa.
“Tidak mau!” Mae memutar tangannya, dan terlepas, tapi Dexter ikut campur dan tentu Mae kalah.
Mae bisa mengalahkan Evelyn, tapi tidak mungkin Dexter. Pria berambut gelap itu membekap mulutnya dan mencoba untuk mengunci gerakannya.
Mae membuka mulut selebar mungkin saat bekapan itu belum erat, dan mengatupkan rahangnya sekuat tenaga.
“AGHHH!” Dexter menjerit kesakitan, dan Mae tahu kalau taringnya berhasil melukai. Ia merasakan aroma asin tajam di lidahnya.
“Brengsek!” Dexter menyumpah sambil membungkuk kesakitan.
“Memang jalang sialan!” Evelyn kembali maju melihat adiknya menjauh, tapi kurang cepat. Mae tidak berhenti memandang kemenangannya atas Dexter, ia langsung berlari.
“Berhenti!” jerit Evelyn.
Mae berpaling, dan saat melihat Evelyn mengejar semakin mempercepat langkah.
“Agh!” Mae mengeluh pelan, karena menabrak sesuatu. Ia tidak memandang ke depan, dan saat berbelok rupanya ada tubuh menghadang.
Ada tangan merangkul, mencegahnya jatuh terjengkang. Sesaat jantung Mae mengerut, ia tidak bisa melawan tiga orang saat dua saja sudah kewalahan.
“Mary? Ada apa? Aku mendengar jeritan.”
Mae sudah lama tidak pernah merasa girang saat mendengar suara pria, tapi Ash yang muncul dengan wajah kebingungan adalah anugerah yang akan disyukuri Mae—sampai bulan depan mungkin.
“Kenapa rambut…” Ash tentu melihat rambut brunette Mae yang berantakan. “Mereka…” Mae menunjuk ke belakangnya. Melihat kedatangan orang lain, Evelyn tidak lagi mengejar, berhenti dan menatap Ash yang asing. “Kau siapa?” tanya Evelyn sambil mengernyit heran. Mae menggeleng, menyuruh Ash tidak menjelaskan apapun. Tapi memang Ash tidak punya kesempatan menjawab, karena Dexter yang menyusul dari ruang tengah muncul sambil berseru marah saat melihat Ash. “Kau! Kau yang kemarin…. Sialan!” Dexter menunjuk sambil maju, tapi belum sampai melewati Evelyn, ada tubuh melesat menerjang. Dexter tiba-tiba terbanting ke lantai, dengan tangan Ash mencengkram lehernya. “Aku sudah mengatakan padamu untuk berhati-hati dan tidak menyentuhnya.” Ash berbisik, amat lirih, dekat dengan telinga Dexter. Tidak ada yang mendengar selain Dexter. Tangan Dexter menggapai, dan mencoba mencakar agar terlepas dari cekikan itu, dibantu oleh Evelyn yang menjerit dan menarik punggung jaket Ash. Tapi cekikan itu ti
“Aku punya uang. Aku menunjukkan rekening asli padamu kemarin.” Ash sampai merasa aneh saat mengucapkannya. Ini pertama kali ia harus meyakinkan seseorang kalau ia punya harta. “Lalu kenapa kau tinggal di tempat yang lapuk seperti ini?” Mae menunjuk sambil mengernyit sebal. “Mmm… Aku biasanya tinggal di asrama—sebelum ini. Aku harus mencari rumah dengan segera agar kita bisa…” “Kau punya uang banyak dan hanya ini yang bisa kau temukan? Kau pasti sangat payah saat mencari,” sergah Mae. Memang waktunya hanya seminggu, tapi uang bisa menyelesaikan pembelian rumah dalam waktu beberapa hari saja. “Itu…”“Kau sebentar lagi akan mati bukan? Kau butuh tempat yang indah dan nyaman seharusnya. Pilih dengan lebih baik.” Mae kembali memotong dengan decakan, sambil menatap sekitar. “Nikmati waktu terakhir yang kau punya dengan maksimal. Untuk apa kau tinggal di tempat kumuh seperti ini? Kau ingin mati ditempat yang beraroma seperti orang mati padahal belum ada yang mati di sini?” Mae mengernyi
Tidak mungkin Ash bisa menolak saat ada tubuh hangat yang menempel padanya. Tubuh yang dengan sengaja bergerak perlahan untuk memancing hasrat, mendesak lembut, menarik nafsu yang tadi terbenam jauh dalam benak Ash. Ini tidak termasuk dalam rencananya. Ash hanya ingin menunjukkan kamar untuk Mae, bukan mencumbu maupun menyentuh. Rencana yang hanya tinggal rencana, karena rencana Mae yang lebih berhasil. Mae menyeringai saat Ash menyusupkan wajah ke lehernya, mencari kehangatan dan aroma untuk memuaskan keinginannya. Memang seharusnya seperti ini, Mae hanya perlu memamerkan tubuhnya dan pria akan tergila-gila. Mae mendesah pada saat yang tepat, bersuara serak dan lembut. Membuatnya menjadi pelengkap godaan manja. Untuk memastikan Ash benar-benar tenggelam dalam nafsu tanpa bisa kembali. Mae kembali tersenyum saat kedua tangan Ash mulai naik dan mengelus, mencari kepuasan juga seperti bibirnya, mencari tempat hangat dan empuk untuk disentuh. Membelai lembut pinggang Mae, lalu perut d
Mae tidak merasa melakukan kesalahan sampai membuat Ash menyadari kepura-puraannya. Dan akting yang dilakukannya tadi seharusnya sempurna. Mae melenguh saat dibutuhkan, dan mendesah ketika waktunya tepat. Ia seharusnya sudah terlihat ingin. Butuh waktu sampai hampir setahun bagi Barnes untuk menyadari sandiwara itu, dan itu pun karena Mae melakukan kesalahan. Ia melenguh—berpura-pura menikmati—saat belum terjadi apapun. Mae sudah separuh mengantuk saat Barnes membuka pakaiannya, dan merasa Barnes sudah melakukannya, tapi ternyata belum. Setelah itu Barnes berusaha keras untuk memuaskan Mae, yang mana mustahil—karena Mae tidak pernah menginginkannya. Tapi itu butuh waktu lama, Ash menyadari bahkan sebelum mereka melakukan apapun. “Kau tahu dari mana aku tidak menginginkannya?” Mae ingin tahu dimana kesalahan yang membuat sandiwara itu terbongkar. Ash mengerutkan kening. “Apa ini penting? Aku seharusnya bertanya kenapa kau melakukan ini saat tidak menginginkannya.” Ash menunjuk tubuh
Mae menyipitkan mata, karena tidak mendapati ada makhluk hidup di sampingnya. Ia bangun sendiri, pada ranjang yang dipakainya sendiri. Ash tidak bangun terlebih dulu, karena ranjang bagiannya dingin. Tidak ada yang menempatinya semalaman. “Lucu sekali.” Komentar yang tidak sesuai dengan hati, karena Mae jengkel tentu. Ia berharap Ash akan ada di ranjang bersamanya pagi ini. Setelah kegagalan tadi malam, Mae langsung tidur—karena memang terlalu mengantuk untuk terus jengkel, sementara Ash belum juga masuk. Mae mengira suami barunya itu akan masuk setelahnya. “Apa sebenarnya maumu?” Mae bergerak ke kamar mandi sambil mengomel. Pernikahan ini belum berumur sehari tapi sudah menyebalkan. Biasanya mudah saja padahal. Mae hanya perlu melayani di ranjang, dan sudah. Apa pun akan datang padanya setelah itu—mulai dari pakaian, perhiasan dan lainnya. Mae kini harus berusaha lagi, dan jangan sampai gagal. Mae menatap bayangannya di cermin, dengan sikat gigi masih menyangkut di dalam mulut
“Tidak.” Ash menutup bibir Mae, sesaat setelah ia menutup mata. Mata yang langsung terbuka, amat lebar. Terkejut, tapi yang utama adalah malu. Ini bahkan lebih buruk dari kemarin. Setidaknya kemarin ia berhasil mencium Ash, tidak ditolak sebelum terjadi. Ash terlalu waspada untuk terhanyut saat pagi dan segar. “Bukan salahmu juga, aku harus segera berangkat. Maaf. Tapi aku sudah terlambat.” Ash mundur menjauh, dan merapikan pakaian seragamnya, juga sepatu. “Maaf sekali lagi.” Ash mengangguk, lalu berlari kecil ke arah pintu, tapi berbalik lagi. “Aku sudah memenuhi kulkas, tapi kalau kau tidak ingin memasak, ada restoran di kaki bukit. Mobil yang semalam bisa kau pakai—aku memakai yang lain. Kuncinya disana.” Ash menunjuk ke atas perapian. “Lalu akan ada orang juga yang datang untuk membersihkan nanti sore, dan…” “Tidak perlu!” Mae membantah. Tidak bermaksud ketus, tapi perasaan jengkelnya masih terbawa. “Oh, bagaimana…” “Aku akan mengurusnya sendiri, kau pergi saja!” Mae ak
Mae sebenarnya malas kembali ke Bakewell secepat ini, tapi tidak punya pilihan. Ia harus mengunjungi bank. Uangnya yang ada di rekening sudah kosong, maka ini saatnya ia memakai simpanan lain—emas. Sayangnya belum banyak, dan kini Mae harus menguranginya gara-gara dua anak tiri setan itu. Mae mengangguk pada petugas bank yang menyerahkan buku tabungannya lagi. Ia mencairkan emas yang ada di lemari penyimpanan bank itu, dan kini tabungannya kembali terisi. Ia juga mengurus pemindahan simpanan emas itu, agar tidak perlu kembali ke Bakewell kalau ingin mencairkan uangnya. “Terima kasih atas kunjungannya, Mrs. Jones. Apa ada lagi yang bisa kami bantu?” Pegawai bank itu bertanya dengan ramah. “Untuk urusan bank sudah tidak ada, tapi ada satu hal yang aku minta darimu,” kata Mae sambil berdiri dan memakai kembali kacamata hitamnya. “Oh?” Wanita setengah baya yang melayaninya sejak tadi tampak bingung. “Namaku bukan lagi Jones, tapi Cooper. Tolong katakan pada semua temanmu. Aku yakin in
Terdengar tidak pantas, tapi Mae maklum karena memang uang itu tidak boleh terlambat. Harus ada setiap kali Daisy membutuhkannya.“Sudah ada.” Mae menjawab dalam bisikan singkat.“Oh, syukurlah. Kau sehat rupanya. Aku khawatir kau sakit.” Carol menepuk pelan punggung Mae, menyalurkan kelegaan, dan menutupinya seolah tengah bertanya kabar Mae.“Tidak. Ada masalah di pekerjaan. Aku tidak bisa santai seperti biasa.” Mae memberi alasan tersamar tentang tidak pulang. Tidak terlalu bohong. Bagi Mae menjadi sugar baby dan istri adalah pekerjaan yang menghasilkan uang.“Ada apa? Apa masalahnya berat?” Carol bertanya sambil memandang khawatir. Carol tahu pekerjaan Mae, yang tidak tahu adalah Daisy. Ia mengira Mae bekerja di kota lain dan cukup.“Ya, cukup berat. Tapi tidak perlu khawatir. Aku akan membereskannya.” Mae belum tahu bagaimana, tapi menyingkirkan kekalutan itu. Dengan penuh senyum, Mae mengambil kantong yang dibawanya tadi.“Jeruk bukan? Aromanya.” Daisy mengendus saat Mae membuka