Share

Bab 7 NASEHAT

"Kemarin kamu saat rewang di rumahnya Putri disindir sama Eni dan Tijah, ya, Ran?" tanya Bu Fatimah saat kami tengah bersantai duduk di teras menikmati senja berganti malam.

Aku hanya mengiyakan dengan menunduk, tanpa bersuara. Aku memang terlalu takut menghadapi dunia yang kejam. Saya tidak punya keberanian untuk menegakkan kepala memandang ke depan.

Saat di pabrik tempatku bekerja pun, aku memilih menyendiri. Mungkin akan lebih baik daripada aku harus berbaur dengan yang lain. Aku takut jika mereka mengetahui masalah rumah tanggaku lalu mulai membicarakannya. Itu akan membuatku semakin terluka lagi.

Mungkin keputusanku sangatlah tidak masuk akal, namun, aku merasa kalau itu adalah jalan yang tepat. 

"Bu, mungkin nanti setelah setahun saya bekerja akan berhenti saja dari pabrik. Saya ingin membuat warung sayur saja di depan rumah, itupun nanti bapak izinkan saya memakai izinnya," selaku dengan ide yang terlintas, saya ingin mengalihkan pembicaraan tentang sindiran dari Mbak Eni . 

Aku tidak ingin ibu tahu lebih dalam apa yang aku rasakan saat ini. Jika ibu tahu, kemungkinan bapak juga akan mengetahuinya. Lalu akan merembet kemana-mana, jalan terbaik adalah tidak membahasnya lagi. 

Bu Fatimah mendesah pelan, masih kudengar nafasnya yang seperti kecewa saat aku mengalihkan pembicaraan ke hal lain. 

''Bapakmu pasti setuju saja, kenapa kamu mau berhenti kerja disana? 

"Sebentar lagi Safia akan sekolah, aku ingin mengantar dan menjemputnya sendiri, bu. Cukuplah selama ini kami menyusahkan kalian semua …."

"Siapa yang menyusahkan? Safia? Tidak pernah dia menyusahkan aku dan ibumu. Dia cucuku, kamu anakku. Kalau kamu menyusahkan aku, kenapa dulu aku meminta sama ibumu untuk meninggalkan kamu untukku? Jangan pernah punya pikiran buruk terhadap kami, Ran!" sela bapak yang tiba-tiba datang dari belakang. 

Seketika menunduk lagi, tak ada keberanian untuk menatap manik berwarna hitam itu. 

Seketika menunduk lagi, tak ada keberanian untuk menatap manik berwarna hitam itu. Meski tidak marah, namun, saya takut melihat ke arah bapak. Begitu pula Mita, dia juga tidak akan berani membantah apa yang sudah di ucapkan oleh bapak. Meski begitu, aku dan Mita sama-sama dengan lelaki pertama yang kami cintai itu.

"Bapak sama ibu marah waktu itu bukan karena benci sama kalian, tapi bapak ingin melihat kalian bahagia bukannya terus menerus setiap hari. Percayalah, semarah apapun bapak terhadapmu, bapak tidak akan pernah rela hidup kamu sengsara," jelas Bapak yang membuatku terdiam.

Sejenak kami semua membisu, berselancar dengan pikiran masing-masing.

"Pak, Rani mau bikin warung sayur di depan sana, boleh 'kan?" tanya Bu Fatimah mengawali pembicaraan dari suasana yang tadi senyap.

"Boleh, kapan?" 

"Nanti, Pak. Kalau Safia sudah sekolah. Biar bisa menjaga sepanjang hari, aku nggak mau melewatkan masa-masa dia seperti ini, Pak." 

"Kapanpun kamu akan membuat warung, bicara saja sama bapak. Biar nanti bapak yang membuatnya, ya, meski sederhana saja. Ibu kamu nanti juga bisa membantu kamu berjualan di sana. Iya, 'kan, bu?" ucap Bapak dengan menggebu. 

Bu Fatimah mengangguk dengan tersenyum padanya, wajah cantik yang mulai keriput itu begitu baik selama ini. Saya tidak ingin menyusahkan mereka saat usianya tidak lagi muda. 

Aku tidak mau menjadikan diriku ini beban bagi mereka. Cukuplah sekali saat Mas Rendi masih berada di rumah saat itu. Sekarang, saatnya aku membalas dan membahagiakan orang tuaku. 

☀️☀️

"Harusnya, Mbak Rani berani membantah omongannya Mbak Eni tempo hari. Jangan terlalu banyak diam, Mbak. Justru itu akan membuat Mbak Rani semakin di injak-injak orang," ucap Bu Endang saat kami sama-sama menikmati pemandangan sore hari di alun-alun.

Malam Minggu ini aku dan Mita sedang menikmati indahnya gemerlap lampu di kota. Mengantar Safia bermain aneka permainan di alun-alun. Tanpa sengaja aku melihat Bu Endang dan sekedar menyapanya. 

Sebenarnya aku enggan membahas sesuatu yang sudah lalu. Terlalu menyakitkan buatku jika harus mengorek sesuatu yang telah kupendam lalu di buka dan menyelesaikan isinya. Akan jauh lebih baik di biarkan saja tanpa menyentuh.

Namun, Bu Endang justru membukanya. Mungkin beliau tidak tega yang melihatku terasa seperti pojokkan tanpa ada yang membela. Ah, entahlah.

"Buat apa, Bu?" 

“Jangan menolak lemah di hadapan orang lain, Mbak. saya lebih baik tidak bertegur sapa saja daripada harus di hina secara terus menerus. Tuman." Bu Endang menggenggam erat dengan senyumannya yang tampak sejuk dan bisa menenangkan jiwa.

Raut wajah yang sudah berumur namun, masih terlihat cantik dan berwibawa itu terpancar dengan berseri. Bu Endang, yang aku tahu adalah seorang istri dari kepala sekolah ini mencoba untuk membuat hatiku semakin kuat.

"Jangan malu dan takut menghadapi dunia, nak. Karena, dunia harus ditaklukkan dengan keberanian dan keberhasilan. Jika kamu terus-terusan menunduk dan memalingkan muka dengan apa yang di depan, maka kamu tidak akan pernah maju dan sukses!" ucap Bu Endang yang membuatku berkaca-kaca. "Hutang-hutang suamimu itu memang aib, namun, kamu nggak usah berkecil hati. Berusahalah untuk menutupi aib itu dengan kesuksesan, kamu pasti bisa!" 

Kupeluk tubuh Bu Endang dengan pundakku yang berguncang menahan tangis yang seakan-akan ingin meledak dimanapun berada. Tak ku hiraukan juga lalu lalang pejalan kaki yang melihatku penuh dengan raut yang keheranan. 

Bu Endang, tetangga yang tidak pernah aku tahu isi hatinya, tiba-tiba menasehatiku dengan kalimat bijaknya layaknya seorang ibu. 

"Bagaimana pekerjaan kamu di pabrik? Enak bukan? Apalagi bisa saling bercanda dengan banyak kawan. Itu akan sedikit bisa melepaskan beban pikiran yang menghimpit."

Aku menggeleng cepat, lalu tersenyum tipis menghias bibirku yang tampak kering. Kutatap jauh ke depan, sambil dengan tarikan nafas yang pelan tapi pasti.

"Saya tidak pernah berbaur dengan yang lain, Bu. Seharian penuh saya selalu berkutat dengan pekerjaan, jika istirahat maka saya akan gunakan untuk tidur. Tidak lebih," ucapku dengan pandangan menerawang.

"Kenapa? Seharusnya kamu membuka hati juga pikiranmu untuk bisa melepaskan segala beban pikiran yang mulai mengendap. Bicara sama orang yang kamu percaya, buka semua beban hati kamu. Pasti nanti kamu akan bahagia dan merasa lega."

Sekali lagi aku menggeleng cepat, ku seka air mata yang jatuh membasahi pipi. Serta berharap supaya angin menerpa wajah yang kusut ini agar air mata membeku dan tersimpan rapi di dalamnya.

Namun, naas, bukannya membeku. Justru air mata itu mengucur deras bak air terjun yang memperlihatkan keindahannya kepada yang melihatnya. Terus, hingga hidungku terasa susah untuk menarik udara segar. Buntu.

Bayangan tentang Mas Rendi yang mana telah berjanji akan memberikan kabar terbaiknya saat mencari nafkah. Bercerita tentang tumbuhnya buah cinta kami, serta mimpi indah masa depan, terlintas tanpa aku minta. Ah, mungkin semua itu hanya bualan suamiku saja yang berhasil menghipnotisku.

"Maaf, bukannya Ibu ingin membuka lukamu, tapi percayalah jika akan ada pelangi setelah badai datang menerpamu. Bukalah hatimu, Rani. Masih banyak orang-orang yang menerimamu. Sehingga kamu memang pantas bahagia!" ucap Bu Endang yang membuatku semakin tergugu. 

Dari kejauhan aku melihat Mita dan Safia hendak menghampiri kami. Sesegera mungkin kuseka tangisku dengan cepat. Aku tidak mau mereka melihat kesedihan yang telah memporak-porandakan kebahagiaan yang telah aku ciptakan untuk putri kecilku.  

Aku ingin Safia tahu kalau ibunya selalu baik-baik saja, kuat dan tegar. Supaya dia pun tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan kokoh.

❤️❤️

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status