Beberapa saat sebelumnya,Mutia telah selesai membuatkan teh untuk Damar. Tak lupa diambilnya dua tablet obat tidur dari dalam botol pemberian Aksara lalu dilarutkan nya ke dalam gelas berisi teh untuk suaminya itu. Dengan segera Mutia membawa teh itu ke dalam kamar dan melihat Damar sedang termenung menatap ponsel nya yang layarnya gelap. "Mas, aku bikinin teh. Aku minta maaf tentang kejadian tadi pagi," ucap Mutia sambil meletakkan cangkir berisi teh di atas nakas. Mata Damar yang semula redup menjadi berbinar melihat Mutia datang dengan membawakan teh untuk nya. "Kamu beneran mau minta maaf padaku?" tanya Damar. Mutia mengangguk. "Maaf karena aku terlalu curiga padamu sehingga aku membabi buta menuduhmu selingkuh, Mas. Kamu harus tahu kalau aku itu tipe perempuan pencemburu," sahut Mutia menyunggingkan senyum. Damar menatap istrinya tanpa berkedip. "Apa kamu masih datang bulan?" tanya Damar. Mutia menggelengkan kepalanya. "Sudah selesai," sahut Mutia berbohong. Dia memang
Mutia sedang menatap ikan koi milik Tante Rosi di taman tengah saat mendadak ada suara laki-laki yang mengagetkan nya. "Gimana mbak Mutia? Betah nggak disini?" Mutia menoleh dan melihat Aksara datang dengan membawa dua bungkus sterofoam di tangannya. "Pak Aksa! Wah, bagaimana kisah penggerebekannya semalam?" tanya Mutia penasaran. "Wah seru banget. Sini mbak aku tunjukkan foto dan video nya sekalian sarapan bubur ayam. Mbak Mutia belum sarapan kan?" Mutia menggelengkan kepalanya. "Belum," jawab Mutia malu. Dia memang sedang menghemat uang tabungan. "Nah, ayo makan sama aku, Mbak."Mutia mengangguk dan Aksara berjalan lebih dahulu menuju ruang makan. Lelaki itu mengambil sendok dan memberikan nya satu pada Mutia. "Terimakasih, Pak Aksa. Ngomong-ngomong Tante Rosi kemana ya Mas? Kok nggak kelihatan?" tanya Mutia. "Yah, kalau hampir jam 8 ini sih, Tante Rosi biasanya sudah pergi ke butiknya. Oh ya kamu sudah kenalan sama penghuni kos?""Sudah. Sama bi Inah juga. Alhamdulillah ban
Andi melajukan mobilnya kerumahnya dengan kecepatan sedang. Namun begitu terkejut nya lelaki itu saat melihat ada tulisan berwarna hitam di atas papan kayu yang tergantung di pagar. "RUMAH INI DIJUAL. BAGI YANG BERMINAT, SILAKAN HUBUNGI 081XXX."Andi terbengong-bengong melihat rumahnya yang sudah berlabel. Dengan mata melotot, dia mengucek matanya. Memastikan dia sedang tidak salah lihat. "Ya Tuhan, benar-benar si Mawar ini tidak bisa ditebak! Awas saja dia ya," gerutu Andi kesal. Dia segera meraih ponselnya dan menelepon istrinya. Nada sambung terdengar, tapi istri nya tidak menerima panggilan telepon darinya. "Ck, sialan. Dimana sih si Mawar ini!" Dicobanya sekali lagi untuk menghubungi ponsel sang istri. Tapi tetap saja istrinya tidak mau menerima panggilan darinya. "Duh, coba aku hubungi Aksara dan Novela dulu. Dimana mereka sekarang."Tanpa putus asa, Andi menekan kembali nomor telepon kedua anaknya. Hasilnya sama saja, Aksara tidak mau menerima panggilan telepon darinya.
"Assalamualaikum." Andi dan Larasati menyapa seluruh penghuni rumah itu dengan dada berdebar. Ambar, mami Andi menatap Andi dan Larasati bergantian. Kemudian serta merta berdiri."Waalaikumsalam.""Kamu? Kamu perempuan yang datang merusak rumah tangga anak saya? Berapa tidak tahu malunya kamu!" seru Ambar sambil menuding wajah Larasati yang memucat. "Saya ...""Pelakor kan? Nggak usah menjelaskan diri. Saya sudah paham kamu adalah perebut laki orang. Dasar perempuan nggak tahu malu! Kamu itu cantik. Masa sama lajang nggak laku sih? Kenapa harus mau sama suami orang? Menikah diam-diam tanpa tanpa sepengetahuan istri pertama lagi! Malu-maluin perempuan! Kayak nggak punya harga diri saja!" sembur Ambar. Larasati dan Andi tercengang.'Astaga, sialan nih perempuan bau tanah. Berani-beraninya dia marahin aku. Awas saja ya, anaknya aku buat bucin dan menguasai harta maminya!' umpat Larasati dalam hati. "Mi, jangan begitu. Dia itu istri siriku. Aku sudah menikahi nya dengan sah menurut a
Larasati tercengang mendengar kata-kata Ambar. Dengan tergesa, dia menggoyang-goyangkan bahu Andi. "Mas, Mas. Bangun dulu deh. Kenapa mami kamu nyuruh-nyuruh aku bikin sarapan?" tanya Larasati. Mukanya ditekuk dan terlihat kecut. Andi mengucek-ngucek matanya. Lalu melihat ke arah jam bulat yang menempel di dinding kamar. Sementara itu suara ketukan di pintu kamar berubah menjadi gedoran. "Laras! Bangun kamu! Kamu jangan enak-enakan molor! Kok bisa nggak sungkan sama orang tua?" Andi menatap wajah Larasati. "Kamu tururin apa kata mami dong. Kasihan mami gedor-gedor pintu. Beliau sudah tua. Kamu harus banyak ngalah sama beliau."Bibir Larasati mengerucut. "Ck, Mas. Gimana sih konsepnya? Aku kan istrimu bukan pembantu lho. Kalau bi Inah pulang ke kampungnya, harusnya cari asisten rumah tangga lain dong! Masa aku yang membereskan pekerjaan rumah tangga?" tanya Larasati merajuk. "Nyari ART itu nggak mudah, nanti lah aku cari lagi. Sekarang kamu turutin dulu apa kata mami. Mas nggak i
Andi berjalan di koridor kantor nya dengan dada berdebar. "Duh, kenapa nih si Bos manggil aku?" gumam Andi bingung. Andi berdiri di depan ruangan bosnya dan menata hati beberapa saat. Di kepalanya berkecamuk pertanyaan apa kesalahannya sehingga bos memanggil nya. Tangan Andi terangkat dan mengetuk pintu ruang direktur. "Masuk."Andi lalu masuk ke dalam ruangan Herman, direkrut perusahaan nya. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Andi. Herman menatapnya dengan serius. "Duduk, Pak Andi!" Andi menghela nafas lalu duduk di hadapan direktur utama perusahaan mobil itu. Herman menegakkan tubuhnya di kursi lalu menatap Andi dengan serius. "Kami mendapat laporan bahwa kamu dan tim kamu memanipulasi penjualan bulan lalu. Dan perusahaan merugi sampai 500 juta. Dan kamu sebagai ketua hanya ada dua pilihan, kembalikan uangnya atau kamu mau saya laporkan pada polisi."Andi mendelik. Dia baru ingat kalau diam-diam mengambil uang penjualan dari perusahaan nya sebagai tambahan untuk membeli
Beberapa saat sebelumnya, "Lho, kok kamu udah leha-leha sih? Kan cucian belum kamu bereskan? Rumah belum kamu bersihkan?" tanya Ambar mendelik saat melihat Larasati sedang mengecat kuku tangannya. Larasati langsung memandang mertuanya dengan menghela nafas panjang. "Haduh, Tante. Aku kan capek. Masa nggak boleh sih santai bentar. Lagian tuh Te, nggak jaman kalau sekarang itu istri masak. Istri itu yang penting bisa memuaskan suami agar suami nggak melirik ke perempuan lain," sahut Larasati cuek. "Kamu itu capek habis ngapain? Orang cuma masak mie dan telur gosong aja ngeluh. Kamu beda banget sama Mawar!"Mendengar nama Mawar disebut, Larasati yang semula berniat cuek dan acuh tak acuh pada mertuanya menjadi berani. "Duh, saya harus saingan sama lansia? Jelas bedalah saya dengan Mawar. Saya itu masih muda, cantik, seksi, lincah di ranjang, beda sama Mawar, Te. Jangan menyamakan kami dong!"Larasati memajukan bibirnya saat mendengar ocehan Ambar. "Kamu itu apa yang kamu tawarkan p
"Apa? Tidak mungkin Larasati melakukan nya? Dia tidak punya rumah untuk tinggal."Andi terdiam sejenak. "Tunggu dulu. Apa dia kerumah orang tuanya di kampung?""Mami nggak peduli Larasati dimana. Sekarang kamu cari dan suruh dia mengembalikan mobil mami!""Mami tenang dulu. Mami kan masih punya banyak aset. Bisalah beli lagi.""Apa kamu bilang? Enak aja! Itu mobil kesayangan mami. Almarhum papi kamu yang membelikan nya saat kami merayakan anniversary 25 tahun. Pokoknya kamu cari Larasati sampai dapat. Kamu itu juga aneh, kenapa maling dinikahi!""Oke. Siap. Mami tenang dulu.""Kamu ada dimana sih sekarang? Kok gak pulang-pulang?" "Cerita nya panjang. Nanti saja Andi cerita. Yang penting sekarang, Andi masih ada urusan. Nanti Andi telepon lagi, Mi."Andi segera mengakhiri panggilan teleponnya dengan sang mami. Lalu dia mencoba telepon Larasati. "Ah, diblokir! Sialan Larasati. Nanti aku yang urusan sama polisi. Untung pelapornya mau damai. Aku harus mencari sertifikat rumah Larasati u