Share

BAB 4 : INGIN BUNUH DIRI

Tiga hari kemudian.

Naina akhirnya sadar setelah tiga hari lamanya keadaannya kritis dan tidak sadarkan diri.

"Syukurlah kalau sudah sadar, Setelah ini aku harap kau tidak lagi menyusahkan aku!" ungkap Rangga dengan tersenyum tipis dan menghela nafas cukup panjang.

Naina mengerjapkan matanya, merasa bingung dengan keberadaannya sekarang.

"Kamu siapa? Aku dimana?" tanya Naina begitu heran, saat ada pria tidak dikenal, sedang berdiri tepat di sampingnya tersebut.

"Heh, jangan pura-pura tidak tahu ya, lihatlah sekelilingmu, apa kau tidak bisa melihat sedang berada dimana sekarang?" jawab Rangga dengan ketusnya.

Tentu saja Naina bisa melihat barang-barang yang memang tidak asing baginya, dan bisa menyadari jika sedang berada di rumah sakit sekarang.

"Bukan itu maksudku, kenapa bisa aku berada di sini?" tanya Naina.

"Masih bisa bertanya kenapa? Kau tidak ingat, aku menemukanmu dalam keadaan terluka parah di bagian kepala sekitar tiga harian kemarin, yang hanya ditutupi oleh daun pisang!" balasnya.

Naina mulai mengingat kejadian yang sebelumnya telah terjadi padanya, satu persatu ingatan itu mengantarkannya kepada keterkejutannya saat mengetahui perselingkuhan suami dengan sahabatnya, juga bisa mengingat betapa kejamnya Aditya yang dengan tega mendorongnya ke tembok mengakibatkan kepalanya terluka parah, hingga sakitnya terasa sampai sekarang.

"Aku ditemukan dalam keadaan yang terluka parah di hutan dan hanya ditutupi oleh daun pisang? Memangnya aku mayat, berarti ia sudah tidak menginginkan aku lagi! Hanya demi wanita murahan itu, ia rela membuang istrinya sendiri?! Keterlaluan sekali kamu, Mas!"

Mendengar gumaman dari Naina, Rangga hanya diam terpaku, ia tak tahu permasalahan apa yang sedang wanita itu hadapi, namun Rangka bisa tahu kalau ternyata wanita yang telah ditolongnya tersebut memang dibuang.

Tanpa sadar, air mata Naina mulai keluar setelah memikirkan itu semua, sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya kalau suami yang sangat dicintai selama ini ternyata menyimpan rahasia amat besar yang memilukan, menjalin kasih secara diam-diam dengan sahabatnya sendiri membuatnya begitu sakit hati.

Naina juga masih ingat jika pada saat itu perutnya teramat sakit, hingga keluar darah dari sela-sela kakinya, membuatnya jadi sangat takut kehilangan janin yang sudah begitu lama ia damba.

"Lalu bagaimana dengan calon bayiku?" tanya Naina sembari mengusap perutnya dengan kedua tangan. Sangat besar harapannya kalau bayinya masih selamat.

"Heuh? Eum ... Kalau untuk itu ... Eee ..."

Rangga terlihat ragu dan bingung untuk menjawabnya, tahu betul bagaimana reaksi wanita di hadapannya tersebut kalau sampai ia mengatakan yang sebenarnya.

"Kenapa kau hanya diam saja! Ayolah katakan! Aku mohon," pinta Naina dengan memelas dan cemas.

Ruangan hening untuk sejenak, karena Rangga yang belum mengatakan apapun hanya menunduk sedang sibuk merangkai kata yang tepat untuk diucapkan, sedangkan Naina sendiri terlihat sudah tak sabar untuk mendengar jawabannya.

"Ah, sudahlah! Yang terpenting kau sekarang telah sadar dan berhasil melewati masa kritis, jadi apa lagi yang harus dikhawatirkan? Karena yang utama adalah keselamatanmu!" ungkap Rangga, yang semakin membuat Naina merasa sangat kesal, kenapa pria di hadapannya itu belum mengerti juga kalau saat ini ia sedang begitu mencemaskan calon bayinya.

Naina seketika bangkit dari tidurnya, duduk dan berusaha untuk melepas infus yang berada di tangannya, tentu saja hal tersebut membuat Rangga menjadi semakin ngilu dan panik dibuatnya.

"Hei! Apa yang hendak kau lakukan, oke! Baiklah, aku akan mengatakan yang sejujurnya, tapi ingat kamu harus tetap kuat menghadapi kenyataan ini, jangan histeris, juga jangan sedih, karena memang ini semua sudah takdir!"

Naina mengangguk dan menghentikan aksinya hendak mencabut infus, lanjut menatap Rangga, bersiap mendengar apapun yang akan pria tampan itu jelaskan padanya.

"Seperti yang sudah aku katakan tadi, waktu itu kau terluka parah di bagian kepala, hingga keadaanmu kritis karena kehilangan banyak darah dan membutuhkan pendonor darah secepatnya, Dokter mengatakan kalau nyawamu bisa saja tidak tertolong karena memang saking parahnya keadaanmu waktu itu, andai saja aku tidak mendonorkan darahku untukmu, tidak terbayangkan nasibmu akan jadi seperti apa sekarang, mungkin ini memang sebuah keberuntungan untukmu, karena golongan darah kita ternyata sama," papar Rangga.

"Tapi memang bayimu tidak bisa diselamatkan, kalau untuk lebih jelasnya tanyakan sajalah pada Dokter sendiri, karena alasan aku tidak menanyakan penyebabnya secara detail, takut saja kalau Dokter mengira aku adalah Ayahnya," sambungnya, sembari menatap Naina dengan sedih.

Tidak seperti yang dibayangkan oleh Rangga, Naina ternyata menuruti apa yang sudah ia peringatkan tadi untuk tidak bersedih, histeris, dan juga harus kuat menghadapi kenyataan pahit ini, wajahnya tampak datar, tatapannya begitu dingin dan tetap melihat ke arah depan tapi kesedihannya terlihat jelas tentu tak bisa disembunyikan.

Rangga bernafas lega, karena dengan bersikap tenang seperti ini, wanita itu tidak akan menyusahkan dirinya lagi.

"Baguslah, kalau kau tidak membuat drama dengan tangisan histeris dan nyaring khas wanita saat sedih, karena kehilangan bayimu itu, teruslah seperti ini karena tidak baik berlarut-larut dalam kesedihan," ujar Rangga.

Seketika air matanya menetes dengan deras, Naina menangis tanpa suara berusaha mengeluarkan rasa sakit yang menghimpit relung hatinya dengan air mata yang terus saja keluar tanpa diminta.

Berkali-kali mencoba untuk mengusir kesedihan, namun percuma ia tidak mampu, karena kenyataannya memang tak ada satupun seorang Ibu di dunia ini yang bisa bersikap biasa saja saat kehilangan bayinya.

Tanpa diduga, Naina justru mencabut kembali infusnya, berjalan keluar dari ruang perawatannya, meringis kesakitan, dengan terus memegangi kepalanya yang masih diperban.

"Tunggu! Kau mau kemana?!"

Rangga berusaha mengejar Naina, namun sayang ia terhalang oleh brankar didorong oleh perawat yang sedang membawa pasien.

Nania berjalan gontai tanpa ekspresi dengan mata sembabnya, ia terus melangkahkan kaki untuk keluar dari area rumah sakit, hingga sampai di jalan.

Sorot matanya sayu dan tidak fokus, cara jalannya pun juga sudah seperti orang linglung, ia tidak peduli sedang berjalan dimana sekarang, tidak peduli kalau nanti tertabrak mobil yang melintas hingga terlindas, semua pengendara sudah memberikan peringatan lewat klakson supaya segera minggir, tapi Naina tak bergeming.

"Astaga, kupikir ia tak akan menyusahkan aku, tapi ternyata aku salah, sekarang justru sangat menyusahkan!" gumam Rangga, begitu kesal saat mendapati Naina sedang menantang maut di jalanan.

"Hei, wanita aneh! Jangan di situ?! Jangan bunuh diri!" pekik Rangga sembari terus berlari berusaha untuk menyelamatkannya.

Tapi Naina tak peduli, tetap berjalan semakin ke tengah, tidak memperdulikan teriakan dari Rangga yang tentu saja bisa ia dengar, seakan tidak menghargai perjuangan pria tersebut yang sudah berusaha menyelamatkan nyawanya dengan mendonorkan darahnya kemarin, justru sekarang ia hendak menghilangkan nyawanya sendiri dengan begitu mudahnya.

"Mama, Papa, Naina rindu! Naina ingin bertemu dengan kalian! Naina sudah lelah, hidup di dunia bersama orang-orang jahat yang tega menyakiti!" gumamnya, sembari terus melangkahkan kakinya semakin ke tengah jalan.

Rangga melihat Naina dengan nanar.

"Dia sungguh wanita teraneh yang pernah kutemui, entah kenapa setelah Mama mengenalinya, langsung menyuruhku untuk tetap menjaga serta berada di sampingnya, siapa sebenarnya dia?" gumam Rangga dalam hati, sembari terus berlari menuju ke arah Naina.

Sembari memberi isyarat dengan mengangkat tangan kanannya pada mobil-mobil yang hendak melintas supaya tidak menabrak mereka.

Dari arah berlawanan, datang mobil dengan kecepatan tinggi, sepertinya tidak menghiraukan isyarat Rangga, dan bisa diperkirakan kalau Naina tidak segera minggir, maka ia akan tertabrak mobil saat itu juga.

Rangga yang sudah dekat, langsung menarik pergelangan tangan wanita cantik itu supaya bisa menjauh dari dari mobil yang berlalu-lalang, hingga mereka berdua berguling beberapa kali di pinggir jalan, Rangga terlihat memeluk Naina, berusaha untuk melindunginya supaya tidak terluka.

Karena kesal, Naina seketika itu juga mendorong Rangga dengan kasar, berusaha menjauh dari pria yang menurutnya hanya berusaha untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan.

"Buat apa kau harus menyelamatkan aku? Peluk-peluk lagi! Pasti kau mau memanfaatkan untuk mengambil kesempatan 'kan, dasar pria hidung belang!!"

"Kenapa tidak membiarkan aku tertabrak mobil hingga terlindas, biar aku mati sekalian! Kita tidak saling kenal, dan sudah seharusnya kau tidak perlu ikut campur dengan urusanku!" Naina berteriak marah, meluapkan segala emosinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status