Share

Bab 4

Dalam hitungan mundur, tiga, dua, satu!

Ku buka perlahan. Benar sekali. Di dalamnya adalah benda berbentuk kotak. 

Coba kalian tebak! Isinya apa hayo? Aduh, aku dek-dekan. Sampai gemetar 'ni tangan.

"Karmila, dicari Bu Efi 'ni!" teriak Mas Darius. Ish, menyebalkan sekali. Ku intip saja dulu.

"Karmila ...! Sudah di tunggu 'ni," serunya lagi. Suara lelaki itu membuyarkan sesuatu yang ada di kepalaku.

Kotak itu ku letakkan begitu saja di nakas. Lalu ke luar menemui Bu Efi.

"Lho, Mbak Karmila kok belum siap-siap?" tanya Bu Efi. Bu Efi terlihat kaget melihatku. Aku pun tak kalah bingung.

"Si-siap, siap apa, Bu?"

"Lho, Mbak Karmila lupa atau amnesia? Bukankah kemarin Mbak Mila sendiri yang ngajak bareng aku untuk menjenguk Bu RT?"

"Oalah iya, Bu Efi. Maaf, aku lupa!" kataku. Tepuk jidat dah. Gara-gara berlian aku jadi amnesia. "Kalau begitu ku ambil tas dulu, Bu!" pamitku. Aku cepat-cepat ke kamar dan menyambar tas kecil di sana. "Ayo, Bu!" 

"Pakai mobilku saja, Mbak Mila. Kebetulan suamiku libur kerja," katanya.

"Memangnya dia mau mengantar kita?" tanyaku penasaran.

"Ya jelas maulah, Mbak. Masak antar istri sendiri nggak mau. Kalau nggak mau, kempesin saja ban mobilnya," canda Bu Efi. 

Ahahaha.

Kami tertawa serentak. Sekilas ku lihat Mas Darius yang sedang asik bermain dengan burungnya. "Andai saja Mas Darius mau belajar nyetir mobil. Jadi, dia tidak perlu mengeluarkan uang untuk membayar supir. Aku bisa diantarnya setiap kali akan pergi. 'Kan, nggak enak kalau pergi berdua dengan supir. Paling cuma bisa duduk diam main ponsel. Nggak seru!" batinku.

"Mas, kami pergi dulu ya!"

Aku salim dan ku kecup punggung juga telapak tangannya.

"Iya, hati-hati!" katanya dengan santai.

Di halaman rumah, ternyata sudah ada Pak Randi--suami Bu Efi. Kami masuk ke dalam mobil itu. Aku dan Bu Efi duduk di belakang.

"Lho, Bu Efi kok di belakang. Kenapa nggak di depan?" tanyaku bingung. Biasanya istri 'kan duduk di sebelah suaminya.

"Nggak, Mbak Mila. Di belakang saja, menemani Mbak Mila. Nanti kalau aku di depan, Mbak Mila malah jadi obat nyamuk lagi," ujar Bu Efi. 

"Hehe, iya juga 'sih," gumamku.

"Pak Randi tidak apa-apa di depan sendiri?" tanyaku. 

"Halah, biasa saja, Mbak. Sudah biasa setiap hari nyetir sendiri," kata Pak Randi.

"Kamu enak, Mbak Mila. Mas Darius punya sopir sendiri," kata Bu Efi.

"Enak Bu Efi, dong! Kemana-mana bisa berdua terus sama suami," balasku.

"Enak dari mana, Mbak? Aku kalau ke luar kota dan nyetir sendiri, rasanya capek banget. Kaki, tangan, otak juga. Apalagi kalau mengantuk juga. Pokoknya lengkap capeknya," kata Pak Randi.

"Benar Mbak Mila, Mas Randi kalau perjalanan jauh, dia jadi mudah sakit," Bu Efi menimpali.

"Iyalah, Mbak. Jadi Mas Darius itu enak. Kemana-mana tinggal ngomong 'ayo' lalu tiduran di mobil. Tahu-tahu sudah sampai tujuan," ujar Bu Efi.

Di sini aku mulai bingung. "Maksud ... Ibu apa? Bukankah enak nyetir sendiri, Bu Efi? Aku malah sering menyuruh Mas Darius untuk belajar mengemudikan mobil. Tapi, dia tidak pernah mau," kataku.

"Ya jelas nggak mau, Mbak. 'Kan lebih enak ada sopir," balas Pak Randi.

Sepertinya untuk hal mengendarai mobil pun aku juga akan kalah berdebat. Untung ini membahas dengan orang lain. Kalau dengan suamiku, ujung-ujungnya bakal diceramahi.

Mungkin ini yang dinamakan WANG SINAWANG melihat, juga dilihat. 

Aku melihat seorang istri yang mobilnya di setir suaminya sendiri itu enak banget. Tapi, Bu Efi dan suaminya justru sebaliknya, mereka menganggap aku dan suamiku lebih enak, karena kemana-mana bawa sopir.

Pantas saja waktu itu, saat aku berkeinginan belajar mengemudikan mobil, dilarang keras oleh Mas Garwo alias sigaraning nyowo atau belahan jiwa. Mungkin dia takut kalau aku kecapekan. Atau takut istrinya kelayapan melulu. Hehe. 

***

Puskesmas tempat merawat Bu RT sudah terlihat cukup dekat. Pak Randi mulai mempercepat laju mobilnya hingga sampai di parkiran, aku dan Bu Efi turun. Lalu, aku dan Bu Efi masuk ke dalam. Sedangkan Pak Randi menunggu di luar.

Kami menyambangi sebuah kamar yang di dalamnya terdapat Bu RT, sedang terlihat terkulai lemah di ranjang.

"Assalamualaikum!" serantak kami mengucap salam.

"Walaikum salam, Bu Efi, Mbak Mila. Mari masuk!" Pak RT menyambut kami.

"Bu RT, bagaimana keadaannya?" tanya Bu Efi.

"Sudah agak mendingan kok, Bu. Mungkin besok sudah boleh pulang," jawab Bu RT.

"Ini cuma berdua saja?" tanya Pak RT sambil menunjukku dan Bu Efi bergantian.

"Kita bertiga kok, Pak. Sama Mas Randi. Dia menunggu di luar," ujar Bu Efi.

"Lho, kenapa tidak di ajak masuk?" Pak RT bertanya lagi.

"Biarkan di luar saja, Pak RT. Biar Bu RT tidak terlalu bising," jawab Bu Efi.

"Bu Efi ngelesnya kurang pinter. Padahal, tiga ibu-ibu vs dua bapak-bapak, akan lebih los tiga ibu-ibu. Jadi, meski yang pria di luar, tetap saja ruangan akan ramai," batinku.

"Kalau begitu biar aku ke luar menemani, Pak Randi," kata Pak RT.

Pak RT ke luar. Kami diam saja sampai punggung lelaki itu benar-benar tidak kelihatan. Hantu kali ya.

"Kemarin Bu Meta, Bu Fatia juga ke sini," ujar Bu RT.

"Oalah, kok mereka nggak ngajak kita ya Mbak Mila?" tanya Bu Efi.

"Mungkin karena mereka tidak suka dengan Mas Darius, Bu Efi!" jawabku. Sepertinya aku kembali berpikiran negatif lagi dengan kumpulan ibu-ibu rumpi.

"Mereka cerita apa saja ke sini, Bu RT? Secara, signal mereka 'kan kuat. Kabar orang se-RT bisa tahu semua. Mengalahkan chanel TV," ujar Bu Evi.

Bu RT tersenyum mendengar pertanyaan warganya yang satu ini.

"Kira-kira aku cerita nggak, ya? Aku serba salah ni," ujar Bu RT.

"Kenapa bingung Bu RT? Cerita saja," desak Bu Efi.  

"Masalahnya, mereka sudah bicara padaku, kalau aku nggak boleh bilang-bilang sama orang," katanya lagi

Aku cuma bergeming sambil mikir. Sepertinya mereka membicarakanku. Terlihat dari sikap Bu RT yang sungkan terhadapku.

"Halah, nggak apa-apa Bu RT. Lagian, si Fatia itu nggak mungkin bisa menyimpan rahasia. Paling beritanya juga bocor kemana-mana," ujar Bu Efi.

Kemudian Bu RT menatapku. Meski bibirnya masih sedikit pucat, tapi badannya sudah terlihat segar.

"Karmila, kamu jangan marah, ya. Sebenarnya mereka membicarakanmu," kata Bu RT.

Drundungdungdung. Biar seperti yang ada disinetron,hehe.

Benar 'kan dugaanku. Mereka pasti membicarakanku. Kali ini bukan sekedar berpikir negatif. Tapi fakta.

"Mereka bicara apa, Bu?" tanyaku.

Bu RT terlihat sungkan untuk bicara. "Emmm, itu Mil. Katanya, Darius sok-sokan mau beli emas 1kg. Tapi nggak jadi. Apa benar?" tanya Bu RT. Bu Efi ikut melongo. Haduh, dasar mulut ember. Ternyata ceritanya disebar luaskan. Bisa viral di komplek 'ni. Merdengar soal emas, otakku kembali ke rumah. Eh, kembali teringat benda kecil yang ada di kamarku. Jadi pengen buru-buru pulang.

    

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status