“Maksud kamu apa, Mas?“ tanyaku tidak paham. ‘Isi' apa yang Mas Adnan maksud, bukankah yang namanya martabak ada isinya telur dan sayur? Ah, entahlah.
Mas Adnan menghela nafas, seperti berat mengatakan sesuatu. “Ada pelet di dalam martabak itu, Dek. Tiara ingin merusak hubungan kita melalui Ibu." Mas Adnan berhenti sejenak menyeruput kopi pahitnya. Ia sangat menyukai kopi yang kental dan pahit.
“Masak sih, Tiara seperti itu?” Aku mengernyitkan dahi, ‘Serius Tiara seperti itu? ‘ batinku bergejolak, banyak sekali pertanyaan yang ingin kulontarkan, tapi kutahan. Tidak semuanya harus aku tanyakan saat ini juga.
Mas Adnan mengangguk, “Iya, Tiara tidak suka melihat kita hidup bahagia,“
“Aku gak percaya.” Jelas saja aku tak mempercayai ucapan Mas Adnan. Kalau kalian tahu, pasti akan berpikiran sama sepertiku.
Tiara adalah perempuan yang terlihat sempurna, wajahnya cantik, berkulit putih bersih, dan berkarir. Berbeda jauh denganku yang biasa saja, kulitku tak seputih Tiara, dan aku hanya ibu rumah tangga biasa, mengerjakan perkerjaan rumah dan mengasuh anak.
Dulu pernah ingin berkarir, bekerja sebagai PNS dan berwirausaha sendiri. Namun, apalah dayaku, kuliah tidak lulus, jangankan menjadi PNS, berjualan saja aku tak bisa. Karena masalahku di masa lalu, membuatku sedikit menjauh dari orang-orang. Nyaliku ciut saat bertemu orang, apalagi mereka yang membenciku.
“Terserah kalau kamu tidak percaya.” Mas Adnan kembali menyeruput kopinya. “Lain kali kalau dia datang, buang apapun yang dia bawa.” Perintah mas Adnan membuatku berpikir sejenak.
“Gak enak dong sama Tiara, nanti takutnya dia tersinggung." Aku tipe orang yang mudah tidak enak dengan orang lain. Aku tidak ingin Tiara berpikir buruk tentangku apabila apa yang dia bawa langsung dibuang.
“Kalau orangnya sudah pulang, baru kamu buang, Dek." Mas Adnan terlihat kesal, jangan menghina karena aku loading lama ya, Mak. Memang seperti inilah aku apa adanya, kalau tidak dijelaskan rinci aku tidak akan paham.
“Iya, Mas, iya!” jawabku sewot, begitu saja dia sudah kesal.
“Tapi aku masih gak percaya loh, kok Tiara seperti itu sih?” Aku bergumam sendiri, masih tidak percaya.
Seolah mendengar ucapanku, Mas Adnan berkata, “ Dia memang seperti itu, makanya aku gak suka! Semua teman dekatnya, bisa sedekat itu karena Tiara yang bikin mereka suka, bukan murni suka.”
Aku menghela nafas, “Rumit sekali sih?“
Mas Adnan nampak tersenyum, ah bukan, mengejek lebih tepatnya. “Begitulah dia, ingin menjadi pusat perhatian, egois, dia ingin didengar, tapi tidak mau mendengar orang lain.” Lagi-lagi aku terkejut mendengar cerita Mas Adnan, selama menjadi istrinya aku belum pernah mendengar Mas Adnan menceritakan tentang Tiara.
Sebelumnya Tiara jarang sekali kemari, dan aku pun tidak peduli dengannya. Dia hanya masa lalu Mas Adnan, masa lalu buruk yang harus dibuang, kalau kata Mas Adnan. Aku tidak ingin bertanya, karena sepertinya mas Adnan tidak ingin bercerita.
Kemarin adalah kali pertama Tiara datang dan membawa martabak telur kesukaan Ibu. Ternyata tujuannya ingin membuat Ibu membenciku dan mengusir dari rumah ini. Apa yang akan kalian lakukan, jika menjadi aku?
“Ikuti alur dia, Dek. Pura-pura gak tahu kalau kita sudah mengetahui niat busuknya,” perintah Mas Adnan. Kenapa dia terlihat tenang? Kalau aku menjadi dia, akan kukembalikan pelet yang ia kirimkan. Mampus sekalian saja, aku tidak peduli.
Andaikan yang kena aku atau Mas Adnan itu tidak masalah, InsyaAllah kami paham bagaimana menghilangkan pengaruh pelet itu, nah ini Ibu Mertua, beliau sama sekali tidak terlibat apapun dengan masalah kami. Aku tidak terima!
“Kenapa harus diem-diem gitu? Udah jelas dia ingin mencelakai Ibu, dan ingin kita berpisah. Kok Mas masih tenang-tenang saja sih? “ tanyaku kesal.
Mas Adnan menghela nafas lagi, “Dek, coba bayangkan, misal dia tahu kita menghilangkan pengaruh pelet itu dari Ibu, Tiara akan semakin tidak terima, dia akan terus menerus mengirimkan pelet yang lebih berat efeknya. Kasihan Ibu,” jelas Mas Adnan.
“Haah, baiklah.” Aku menyenderkan kepala di bahu Mas Adnan. Kurasakan tangannya mengelus rambutku.
Mungkin dari kalian ada yang bertanya, dari mana Mas Adnan tahu Martabak itu ada isinya. Mari aku jelaskan, tapi rahasia ya? Jangan bilang Tiara, nanti dia semakin brutal. Aku tidak ingin terjadi apapun pada Ibu mertuaku tercinta.
Jadi sedari kecil, mata Mas Adnan berbeda dengan kita yang normal. Kenapa? Mas Adnan mempunyai indra keenam atau semacamnya. Dia bisa melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh mata normal, jadi dia mas Adnan gak normal dong matanya? Iya, dalam artian mata Mas Adnan adalah langka. Tidak semua orang memiliki kemampuan itu, ah ada yang bilang juga itu bukan kemampuan, tetapi musibah. Aku tidak peduli! Karena berkat mata mas Adnan, Alhamdulillah kami bisa melewati beberapa kali masalah yang berhubungan dengan ilmu Hitam.
Sebelum Mas Adnan menikah, ia belajar mengendalikan kemampuan indra keenamnya, ia belajar bagaimana menyembuhkan orang yang terkena pelet, guna-guna, ataupun santet. Mas Adnan pernah bercerita, apabila ada orang yang memiliki indra keenam, tapi tidak bisa mengendalikannya, maka bisa jadi orang ini menjadi gila.
Cup!
Kurasakan Mas Adnan mencium rambutku, beralih menciumi tengkuk yang memberikan sensasi tidak biasa. Aku tahu apa maksudnya, kugandeng tangan Mas Adnan, mengajaknya ke kamar untuk mencari jalan surga bersama.
“Assalamu’alaikum,”Aku mendengar suara salam, sepertinya Tiara yang datang. Segera kumatikan kompor, oseng tahu dan kacang menjadi menu sarapan kami pagi ini.“Mau apa ke sini pagi-pagi,” gumamku kesal. Saat melewati ruang keluarga, aku melihat Ibu sedang bermain dengan Mehra, sepertinya beliau enggan menyambut Tiara.“Oh, Mbak Tiara,” sapaku dengan ramah, pura-pura ramah lebih tepatnya.Tiara menatapku sinis, lebih tepatnya saat ia melihat rambutku yang basah. Mungkinkah ia tidak suka aku basah pagi hari? Ah, bodo amat. Aku tidak mau memikirkan perasaan Tiara, untuk apa? Dia saja tega memelet Mertuaku.“Ada perlu apa ya, Mbak?” Aku bertanya dengan ramah dan tersenyum lebar, seolah tidak memedulikan tatapannya yang sinis.Pertanyaanku sepertinya membuyarkan lamunan Tiara, terbukti dia sedikit terkejut mendengar suaraku. Ah, Tiara, kenapa kamu datang lagi ke sini?“Enggak, aku nyari Ibu. Beliau ada?” jawab Tiara mengulas senyum. Pura-pura lebih tepatnya, aku bisa membaca pikiranmu sek
Aku bersujud di malam yang dingin, menggelar sajadah, saat semua orang masih berada di alam mimpi. Memohon ampunan kepada Allah atas dosa di masa lalu yang sudah kuperbuat. Aku tahu dosaku sangat besar, dosa yang hina, dan semua orang membenci itu. Namun, aku yakin Allah akan memberi ampunan pada hambanya yang bertaubat, betul?Aku berdoa, semoga Allah mengampuni semua dosaku, dosa semua orang yang mengenalku, tak lupa memohon agar Allah menjauhkan kami dari pelet yang digunakan Tiara.Mungkin semua orang akan berkomentar bahwa aku dan Tiara jahat! Benar, kami sama-sama jahat. Akibat ulah kami banyak dari mereka yang sakit hati.Keluarga Tiara dan semua orang yang menganggap dia sempurna akan menghujatku tiada ampun. Menyebarkan aibku melalui media sosial, bahkan ada dari mereka yang memalingkan wajah saat bertemu denganku.Beda lagi dengan Tiara, mertuaku lah saksi hidup berapa kejamnya Tiara saat masih menjadi menantu. Ibu pernah bercerita, Tiara tidak pernah membantunya mengerjakan
“Ibu, kenapa?” tanyaku bingung dengan perubahan Ibu.Kulihat Tiara tersenyum sinis melihatku. Ah, sepertinya ada yang ia rencanakan.“Apa kamu lihat-lihat?” teriak Ibu, matanya kini memerah, menatapku nyalang. Ada apa dengan Ibu?“Apa yang terjadi pada Ibu?” Aku berlari menghampiri Ibu, kuteliti semua anggota tubuh Ibu, mungkin saja ada yang sakit atau apa.Namun, aku terkejut, Ibu menampik tanganku. Lalu mendorongku hingga aku terjatuh. Untung saja tidak terjadi apa-apa pada Mehra. Aku meringis, bokongku sakit sekali rasanya. Segera aku berdiri sambil terus mengelus bokongku yang sakit.“Gak usah pegang-pegang, najis!” hardik Ibu padaku, jangan-jangan Ibu kena pelet lagi? Ya Allah, menyusahkan sekali sih.“Bu, ini aku Mila. Menantu Ibu!” seruku berusaha mendekati Ibu lagi.“Gak usah dekat-dekat, pergi kamu. Lebih bagus kamu pergi dari rumah ini sekalian!” teriak Ibu, ya Allah, kasihan sekali Ibu, bagaikan kalau nanti fisik Ibu lemas lagi?Aku berhenti, kutatap Tiara yang terus menata
“Mas, tadi Tiara bikin rusuh,” lapor Mila pada Adnan sesaat setelah pulang kerja.“Hmm... ““Kok gitu doang sih jawabnya? Gak seru ah!” sungut Mila kesal.“Mau dijawab gimana maunya?” tanya Adnan sedikit kesal.Mila bersungut-sungut meninggalkan Adnan yang masih termangu di dalam kamar bingung. Ada-ada saja kelakuan istrinya. Ia hanya berusaha menjaga hati Mila, ia tidak ingin Mila tersakiti bila ia terlalu menanggapi obrolan tentang Tiara.“Mas, makan malam sudah siap,” teriak Mila dari dapur. Bu Rini, mertua Mila datang ke dapur dengan menggandeng Mehra.Inilah kelebihan Mila, ia mudah marah, tapi mudah pula luluh dengan sendirinya. Ia tidak bisa berlama-lama memendam sakit hati, apalagi dengan Adnan. Entah mengapa pesona Adnan sudah membutakan mata dan batin Mila.Mila teringat, saat masih kuliah dulu, Adnan bersama temannya nekat menemuinya naik kereta. Dulu kereta belumlah nyaman seperti sekarang, mereka harus rela berdiri di toilet berjam-jam karena kereta yang sangat penuh. Kar
“Ayah kenapa, Yah?” Teriak Tiara histeris, dilihatnya mulut pak Surya mengeluarkan banyak darah, dan tubuhnya terlihat sangat lemas. Tubuhnya sudah terjerembap ke belakang saat Tiara masuk.“Ayah!” Panggil Tiara, berkali-kali ia menepuk pipi Ayahnya yang mulai terpejam. Kali ini ia mengguncang tubuh pak Surya, tapi tetap saja matanya tertutup.Dengan jantung yang berdebar ia mengecek nadi ayahnya, ‘Alhamdulillah, masih hidup’ batin Tiara. Segera ia keluar mencari bantal, air dalam wadah, dan handuk. Setelah mendapatkan itu semua, Tiara menaruh bantal di kepala pak Surya, tak lupa ia menyeka darah yang keluar dari mulutnya menggunakan handuk. Setelah lumayan bersih, Tiara mengambil selimut untuk pak Surya.“Awas kalian, aku akan membuat perhitungan dengan kalian!” sungut Tiara. Ia kembali ke kamarnya meninggalkan ayahnya yang sedang tertidur. Entah apa yang sakit dalam diri pak Surya, Tiara belum tahu, karena kejadian tadi seketika membuat ayahnya seketika pingsan.Setibanya di kamar,
“Bu Tiara, apakah benar, Ibu bikin masalah sama Rara?” tanya Bu Syida pada Tiara yang masih terdiam sejak selesai mengajar di kelas X A, ia masih terus memikirkan ucapan Rara yang akan mengadukan masalah tadi pada Papanya.Tiara mengangguk ragu, lalu berucap,” Saya lepas kontrol, Bu.”Bu Syida menghela napas kasar, pasti akan ada masalah besar terjadi setelah ini. Semua tahu, sekali Rara berucap, Papanya akan mengabulkan semua keinginannya.“Bu Tiara harus segera meminta maaf pada Rara sebelum dia mengadu Pak Raharjo,” saran Bu Syida cemas, saat ini mereka sedang berada di ruang guru. Tidak banyak guru yang berada di ruangan ini, karena waktu masih menunjukkan jam pelajaran.“Tidak, Bu! Saya tidak bersalah. Kenapa saya yang harus meminta maaf?” tanya Tiara sengit, ia tidak sudi meminta maaf pada anak bau kencur macam Rara.“Apakah Bu Tiara tidak memikirkan kelanjutan yayasan ini tanpa sumbangan dari pak Raharjo?” timpal Bu Syida tak kalah sengit, andaikan Pak Raharjo menyetop sumbanga
“Kita mau kemana sih?” Tanya Tiara penasaran. Pasalnya jalan yang Arya lewati adalah jalan menuju kota sebelah, tidak seperti biasanya. Tumben sekali Arya mengajaknya keluar kota, apa yang ingin Arya tunjukkan padanya?“Rahasia, pasti kamu akan suka,” jawaban Arya membuat Tiara semakin penasaran.“Kasih tahu kenapa sih, aku kepo,” rengek Tiara manja.“Aku kasih petunjuk, tempat ini berada di atas bukit,” ucap Arya terus menatap jalan.Tiara berpikir sejenak,” Ke taman langit kah?”Arya hanya tersenyum misterius, tanpa sadar ia mengecek k*ndom yang berada di saku celananya. Aman!Arya menyeringai, ia harap semuanya akan berjalan lancar. Mengingat desahan Tiara membuat Arya semakin tidak sabar untuk mencapai tujuan. Hasratnya ingin segera dituntaskan.Tiara tidak menyadari, bahwa ini adalah awal dari kehancuran hidupnya.Di lain tempat, Adnan nampak gelisah. Berkali-kali ia melihat jam di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam, tapi Tiara belum terlihat barang hidungnya. Biasany
“Dari mana aja kamu semalam?” bentak pak Suryo pada Tiara yang baru saja datang. Tentu saja Pak Suryo marah, karena Tiara pulang esok paginya. Itu pun sudah siang, pukul 9 pagi Tiara baru datang.Tiara menunduk tidak berani menatap ayahnya yang sedang marah. Ia tahu, ia salah. Tapi bukan salah Tiara sepenuhnya. Ia tidak tahu, kejutan yang Arya maksud adalah pesta miras.Bangun tidur tadi, Tiara terkejut mendapati tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang pun. Ia melihat Arya dan teman-temannya pun sama, polos tanpa baju. Tubuhnya bergetar, ia menatap nanar tubuhnya dan mereka bergantian, ‘Mungkinkah mereka melakukan itu denganku? Bergantian?’ batin Tiara jijik dengan dirinya sendiri.Sepagian ia menangis, menangisi kebodohannya yang mudah terpedaya oleh Arya. Ia merasa dirinya lebih rendah dari pelac*r. Tubuhnya digilir tanpa bayaran, sedangkan pelac*r masih mendapatkan uang.Setelah membangunkan Arya dengan susah payah, akhirnya mereka pulang. Walau sebelumnya sudah diwarnai dengan ce