Eva mendelikkan matanya ke arah Andra yang sedang meminum kopinya. Sejak mereka pulang dari taman bermain, pria itu sama sekali tak menjelaskan tentang panggilan dari kontak bernama 'Kekasihku' tersebut.
"Saya akan beritahukan hal itu kepada ayah dan ibu," ujar Eva.Andra menganggukkan kepalanya. "Baiklah."Eva semakin jengkel mendengar jawaban dari pria tersebut. Ia meletakkan gelas di atas meja makan dengan kekuatan penuh. Suara gelas itu bahkan sampai terdengar ke ruang tengah.Ibu Eva datang dengan membawa sepiring buah. Mereka tiba di rumahnya sejak sore hari. Tetapi ia sama sekali tak mengizinkan Andra pulang sebelum menjelaskan siapa wanita yang menghubunginya."Kalian kenapa, sih? Kok bertengkar?" tanya Ibu Eva.Eva menatap sinis Andra yang terlihat tak peduli. "Dia punya pacar, Bu."Ibu Eva menarik kursi yang ada di samping Andra, lalu menempatinya. "Benar begitu, Andra?"Andra langsung menoleh ke arah Ibu Eva, lalu menggeleng. "Bohong, Bu."Eva membelalakkan matanya. "Jelas-jelas tadi pacar kamu telepon!"Andra mengernyitkan dahinya. "Bukankah saya sudah bilang kalau yang telepon itu—"Eva mencebikkan bibirnya. "Saya tidak dengar."Andra menghela napasnya pelan. Ia meletakkan gelasnya di meja. Lalu ia mengambil ponsel dari saku kemejanya. Eva langsung berdiri dari kursinya. Setelah itu ia pun mengikuti wanita itu menuju ke ruang tamu. Di sana terlihat ayahnya sedang sibuk dengan laptopnya.Andra yakin wanita itu pasti akan memberitahukan kejadian ini pada ayahnya. Ia harus segera bersiap menyusun kalimat. Sebenarnya mudah saja, ia hanya perlu menghapus riwayat panggilan dan semuanya akan baik-baik saja. Tapi ia tak akan melakukan itu. Ia langsung duduk di sofa yang sangat nyaman itu, lalu menundukkan kepala layaknya orang yang bersalah.Eva langsung menarik laptop ayahnya tersebut. "Ayah, aku mau bicara."Hendri menghela napasnya pelan. "Ada apa, Eva? Ayah harus menyelesaikan pekerjaan ini.""Ayah, tolong dengarkan Eva," kata Eva dengan wajah memelas. Ia langsung menudingkan telunjuknya pada Andra. "Dia sudah punya pacar, Ayah. Aku ga mau menikah sama dia."Andra mengangkat kepalanya, lalu menggeleng lemah. "Saya tidak melakukan hal seperti itu."Eva sontak menoleh ke arah Andra dengan mata melotot. Ia langsung menyebrang ke sofa yang ada di samping pria itu. Ia mencari ponsel di seluruh saku pria itu tanpa permisi."Ka—kamu," ujar Andra dengan gugup. Ia langsung berdiri dan duduk di sofa lainnya."Mana hp kamu? Jangan jadi pengecut seperti ini!" seru Eva dengan suara meninggi.Andra menarik nafasnya panjang, ia mencoba untuk sabar. Ia segera mengambil ponsel yang ada di saku kemejanya. Lalu memberikannya pada Eva yang menatap dengan sorot tajam. Wanita itu langsung menyambarnya dengan ganas.Ia menggelengkan kepalanya dengan lemah. Ia masih tak percaya akan menikah dengan wanita super ganas seperti ini. Sangat sulit untuk membuat wanita itu mengerti. Bahkan saat ingin memberi penjelasan, wanita itu langsung memotong ucapannya."Lihat ini, Ayah."Suasana mendadak sunyi saat Hendri menatap layar ponsel milik Andra dengan saksama. Lalu ia menatap kedua orang yang sedang beradu tatap itu secara bergantian."Andra," panggilnya.Andra langsung menoleh ke arah Hendri dengan senyum manisnya. "Iya, Ayah.""Kamu mencintai anak saya?" tanya Hendri dengan tatapan tajamnya.Andra membuka mulutnya, tapi sama sekali tak ada suara yang keluar. Ia mengatupkan kembali mulutnya, lalu memikirkan jawaban yang cocok."Dia pasti ga cinta sama aku," celetuk Eva.Andra mendelikkan matanya. Ia langsung mengangguk tanpa berpikir lebih lama lagi."Saya mencintai Eva," ucap Andra.Hendri tertawa kecil, lalu memberikan ponsel itu pada Andra. Ia meraih laptopnya yang disita oleh Eva. Tapi nampaknya, wanita itu masih belum menyerah. Ia menahan laptop itu sekuat tenaganya."Ayah, ini serius!" Eva kembali merampas ponsel dari genggaman Andra, lalu memberikan ponsel itu pada ayahnya. "Lihat sekali lagi, Ayah. Dia punya pacar."Ayahnya tertawa, kali ini cukup keras. "Jelas saja dia punya pacar. Kamu kan pacarnya, Va. Nah, itu kontak kamu."Mulut Eva langsung terbuka lebar. Ia memandang kontak bertuliskan 'Kekasihku' tersebut. Ia sangat terkejut saat menyadari bahwa itu benar kontak miliknya. Ia bahkan tak bisa menatap Andra karena terlalu malu. Ia memilih untuk memasukkan ponsel pria itu ke sakunya. Lalu ia segera pergi menuju kamarnya.~~~"Eva, ayo keluar dulu. Andra mau pulang, nih."Eva dengan malas keluar dari kamarnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam, memang sudah sepantasnya pria itu pulang. Jika tidak, pasti tetangga akan berpikiran yang buruk. Ia bisa melihat Andra yang berdiri di bibir pintu. Pria itu sudah sangat siap, sepatunya juga sudah terpasang dengan baik."Saya pamit pulang," ucap Andra sambil menyalami ayah dan ibu Eva.Mereka tersenyum manis, lalu memerintahkan Eva untuk mengantar sampai ke gerbang. Mungkin orang tuanya takut jika Andra diculik nenek lampir yang terobsesi dengan pria tampan.Eva berjalan dengan langkah gontainya mendahului Andra. Selama perjalanan menuju gerbang, tak ada satupun yang membuka pembicaraan. Hanya terdengar sayup-sayup suara binatang malam seperti jangkrik dan kawan-kawannya.Andra menghentikan langkahnya. "Sampai sini saja, Va."Eva menunjuk gerbang komplek yang sudah cukup dekat. "Tanggung loh, gerbangnya di sana."Andra mengernyitkan dahinya. "Rumah kamu jauh loh, Va. Terlebih lagi ini sudah malam."Eva menunjuk satpam yang sedang menonton televisi di posnya. "Ada pak satpam. Saya bisa teriak, suara saya cukup keras loh."Eva menarik lengan Andra untuk melanjutkan perjalanan menuju gerbang komplek tersebut. Ia masih tak percaya sedang bersama pria saat ini, apalagi pria itu sangat tampan. Padahal sudah lebih dari 25 tahun ia menjaga jarak dengan pria mana pun.Ia tiba-tiba teringat dengan kejadian hari ini. Ia masih tak menyangka kalau Andra menyimpan kontaknya dengan nama seperti itu. Tanpa sadar senyum yang cukup lebar terbit, hal itu cukup membuat pria di sampingnya bingung. Setelah sampai di gerbang, ia masih tak berhenti. Pikirannya masih berada di tempat lain."Sudah, Va."Eva mengerjapkan kedua matanya. "Oh iya, saya ga lihat gerbangnya.""Sebenarnya kamu ga perlu mengantar saya seperti ini," kata Andra lirih.Eva tersenyum tipis. "Iya sih. Tapi ga masalah kok, saya jadi bisa jalan-jalan.""Kenapa kamu mau menikah sama saya?" tanya Andra.Eva terdiam sejenak, matanya terus menatap wajah datar Andra. "Karena kamu tampan.""Selain itu?"Eva tersenyum tipis, tangannya bergerak dengan sendirinya menyentuh bibir tebal pria dihadapannya."Aku suka—"Andra tak ingin menyia-nyiakan moment seperti ini. Ia pun langsung mendaratkan bibirnya di atas bibir Eva. Tapi ia sama sekali tak melakukan sesuatu yang lebih dari itu. Ia langsung menjauhkan tubuhnya. Ia tersenyum tipis menatap wanita yang saat ini mematung di tempatnya."Eva," panggil Andra pelan.Eva mengerjapkan matanya. "I—iya.""Saya pamit," ucap Andra.Eva mengangguk kaku, lalu menundukkan kepalanya. Andra menjadi gemas sendiri melihat tingkah wanita tersebut. Ia menolehkan kepalanya ke arah pos satpam. Nampak seorang pria paruh baya yang sudah memejamkan matanya.Andra menyentuh pipi wanita itu dengan telapak tangannya. Hal itu membuat Eva langsung mengangkat kepalanya. Bertepatan dengan itu, ia kembali mendaratkan ciumannya pada wanita tersebut. Kali ini ia tak ingin terlalu cepat mengakhirinya. Ia memberikan sedikit lumatan yang membuat wanita itu melingkarkan kedua tangan di lehernya. Ia menarik pinggang ramping wanita itu agar semakin dekat dengannya. 'Terima kasih, pak satpam,' batin Andra.Bersambung ....
Eva menghela napasnya kasar. Ia mangacak rambutnya hingga berantakan. Otaknya secara otomatis terus mengulang kejadian semalam. Ia bahkan tak menyangka akan jadi seperti itu. Padahal sebenarnya ia ingin menyingkirkan sesuatu dari bibir pria itu. Tapi sepertinya sudah terjadi kesalahpahaman.Eva beranjak ke meja yang di tempati oleh Vira. Nampak wanita itu sedang memoles wajahnya. Ia menepuk bahu wanita itu pelan, hingga membuatnya menoleh."Kenapa, Va?" tanya Vira.Eva menarik kursi milik Ina yang masih kosong karena pemiliknya belum datang, lalu duduk di samping Vira. Ia menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak terasa gatal."Gue mau nanya," gumam Eva pelan.Vira menaikkan kedua alisnya bersamaan. "Hm, nanya apa tuh?""Wajar ga sih kalau ciuman sama orang yang kita ga suka?" tanya Eva.Vira terdiam, ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia masih memproses ucapan Eva yang begitu mengejutkan
Eva memarkir mobilnya di depan sebuah gedung yang cukup besar. Ia memang sudah mempersiapkan tempat untuk mencari gaun pengantinnya jauh sebelum dijodohkan dengan Andra. Ia selalu memimpikan gaun yang ada di dalam gedung tersebut. Ia keluar dari mobil yang dipinjamkan oleh Ina. Sedangkan cowok itu nampaknya masih bingung dengan yang terjadi saat ini."Ayo turun," ujar Eva.Andra menganggukkan kepalanya. Ia keluar dari mobil itu dan mengikuti langkah Eva memasuki gedung berlantai 5 tersebut. Harum semerbak langsung menyeruak masuk ke dalam hidung saat pintu utama terbuka. Ia bisa melihat wajah wanita di sampingnya begitu bersinar melihat kumpulan gaun yang membentang dari sudut ke sudut lainnya.Ia hanya bisa menurut saat Eva menarik lengannya masuk ke sebuah pintu kaca. Di dalam ruangan itu terlihat gaun yang sangat mewah, tentu harganya tidaklah murah. Walau dari kejauhan, ia bisa melihat 8 digit angka tertempel di tiap gaun. Tentu itu membuat
Eva memandangi dirinya di cermin. Ia merasa jantungnya berdegup sangat cepat sampai tak beraturan. Ia bisa mendengar suara pembawa acara yang sudah heboh. Suasana di luar rumah juga sudah sangat heboh. Ia sengaja mengadakan pernikahan di rumah Andra agar tak terlalu banyak membuang uang.Tak lama, pintu ruangan tempatnya dirias itu terbuka. Ibunya tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Eva langsung menghambur dan memeluk ibunya tersebut. Ia yang semula biasa saja seperti terbawa suasana. Entah mengapa air mata lolos begitu saja mengalir di pipinya."Loh ... anak ibu ga boleh nangis," ujar ibunya sambil menghapus jejak air mata yang mengalir di pipi Eva.Eva menarik kedua sudut bibirnya walau air maya terus mengalir. Ia menganggukkan kepalanya dengan lemah, lalu kembali memeluk ibunya tersebut."Sebentar lagi kamu keluar ya. Andra sudah di luar," kata ibunya.Eva menganggukkan kepalanya, lalu ibunya pun pamit untuk kembali
Eva meringis kesakitan saat telapak kakinya terkena air. Akibat pelarian tanpa alas kaki, ia mendapat luka yang cukup parah di kakinya. Terpaksa ia berjalan tertatih menuju ruang kerjanya. Tidak ada siapa pun di sana, hanya Eva seorang diri. Ia langsung merebahkan tubuhnya di sofa yang baru datang beberapa minggu lalu. Ia kembali teringat dengan ucapan Andra yang berhasil menghancurkan hatinya. Tepat di hari pernikahan, pria itu berani mengatakan bahwa dia menyukai wanita lain."Brengsek!"Eva meraba seluruh tubuhnya. Ia mendesis pelan saat menyadari ponselnya tertinggal di rumah Andra. Ia terlalu terburu-buru sampai melupakan barang kesayangannya tersebut. Ia memilih untuk memejamkan kedua matanya. Ia berharap semua ini cuma mimpi. Eva sama sekali tak menyangka pernikahan pertamanya ini berakhir seperti itu."Eva."Eva langsung membuka matanya dan menoleh ke arah pintu. Matanya terbelalak kaget saat melihat Andra yang sudah berdir
Eva meregangkan otot tubuhnya. Matahari sudah kembali menyeruak masuk melalui celah gorden kamarnya. Ia berusaha membuka kedua matanya yang terasa sangat sulit. Samar-samar ia melihat sosok Andra yang duduk di tepi ranjang tengah menatapnya. Walau nyawanya belum terkumpul, ia langsung bangun dari ranjang itu."Hari ini kita pulang ke rumah saya," ujar Andra.Eva hanya bisa membuka mulutnya. Ia mengira akan tinggal di rumah yang seperti istana ini, tapi ternyata mereka akan pindah ke rumah Andra. Ibunya pernah berkata bahwa pria itu tinggal di apartemen yang sempit untuk menghemat pengeluaran. Itu artinya Eva akan tinggal di apartemen itu mulai hari ini."Apartemen?" tanya Eva.Andra menganggukkan kepalanya. "Saya tidak ingin merepotkan orang tua."Andra mengambil ponselnya yang ada di meja, lalu segera keluar dari kamar tersebut. Kini meninggalkan Eva yang masih berdiri di tempatnya. Ternyata pikirannya dengan pria itu
Selesai membuang sampah, Andra mengajak Eva untuk makan siang di salah satu tempat favoritnya. Eva yang sama sekali tak tahu tempat itu pun menurut saja. Ia mengikuti langkah Andra menyusuri trotoar yang cukup dipadati pedagang kaki lima. Lalu Andra berhenti di depan gerobak bakso yang tampak tak higenis tersebut. Eva menyentuh lengannya, ia langsung menoleh dan tersenyum. Ia menggenggam lengan Eva dan duduk di kursi yang tersedia.Eva menyapukan pandangannya ke segala arah. Benar-benar jauh dari kata sehat, terutama saat jalan itu ramai. Asap dari kendaraan itu dengan mudah masuk ke hidungnya. Eva mengibaskan tangan di depan hidungnya."Aduh! Kalau tahu begini, saya pasti bawa masker," gerutu Eva.Pedagang bakso yang berusia hampir setengah abad itu menoleh. Andra mengisyaratkan pedagang bakso itu untuk tidak mendengarkan ucapan Eva."Selama ini saya makan seperti ini," ujar Andra.Eva mengernyitkan dahinya,lalu ia me
Eva membuka kedua matanya yang terasa berat. Alarm dari ponselnya terus berdering hingga memenuhi seisi kamarnya. Ia meraih ponsel dan mematikan alarm tersebut. Matanya mengerjap berulang kali sambil memperhatikan sekitarnya. Lalu dahinya mulai berkerut saat merasa ada kejanggalan.Eva masih ingat betul, malam itu ia sedang menonton sinetron kesukaannya di ruang tamu. Tapi mengapa ia bisa ada di dalam kamar. Pikirannya tertuju pada Andra. Ia segera bangun dari kasurnya dan keluar dari kamar. Setelah berada di luar, ia melihat kaki Andra menjuntai ke atas sandaran sofa. Eva menghampiri pria itu dan menatapnya sejenak. Wajahnya saat tidur ternyata menyimpan ketampanan yang tak pernah Eva sadari. Rambutnya yang berantakan membuatnya benar-benar berbeda. Biasanya rambut itu selalu tertata dengan rapi."Andra," panggil Eva sambil menepuk bahu Andra pelan."Hm.""Bangun, Ndra," ujar Eva.Bukannya bangun, Andra semakin merapa
"Kenapa kamu ga bilang sama saya?" tanya Eva dengan suara lirih.Eva mendorong tubuh Andra hingga terjatuh di atas sofa. Ia menatap suaminya itu dengan sorot tajamnya. Ia sama sekali tak membuka mulutnya. Andra berulang kali mengalihkan tatapannya ke sembarang arah untuk menghindari kontak kata dengan wanita di hadapannya. Andra menghela napasnya pelan, ia beranjak bangun dari sofa. Tapi dengan cepat Eva langsung mendorong tubuhnya lagi."Eva, saya bisa jelaskan ini semua," ujar Andra.Eva menganggukkan kepalanya. "Baguslah. Kalau begitu jelaskan sekarang juga!""Saya hanya memiliki satu kamar di sini," kata Andra dengan kepala yang menunduk.Eva memicingkan kedua matanya. "Lalu mengapa kamu menolak untuk tinggal bersama saya?"Andra tak menjawab, ia terus menundukkan kepalanya. Ia tak punya alasan yang kuat untuk menjawab pertanyaan istrinya tersebut. Sebenarnya mereka memang lebih layak tinggal di rumah