Eva membuka kedua matanya yang terasa berat. Alarm dari ponselnya terus berdering hingga memenuhi seisi kamarnya. Ia meraih ponsel dan mematikan alarm tersebut. Matanya mengerjap berulang kali sambil memperhatikan sekitarnya. Lalu dahinya mulai berkerut saat merasa ada kejanggalan.
Eva masih ingat betul, malam itu ia sedang menonton sinetron kesukaannya di ruang tamu. Tapi mengapa ia bisa ada di dalam kamar. Pikirannya tertuju pada Andra. Ia segera bangun dari kasurnya dan keluar dari kamar. Setelah berada di luar, ia melihat kaki Andra menjuntai ke atas sandaran sofa. Eva menghampiri pria itu dan menatapnya sejenak. Wajahnya saat tidur ternyata menyimpan ketampanan yang tak pernah Eva sadari. Rambutnya yang berantakan membuatnya benar-benar berbeda. Biasanya rambut itu selalu tertata dengan rapi."Andra," panggil Eva sambil menepuk bahu Andra pelan."Hm.""Bangun, Ndra," ujar Eva.Bukannya bangun, Andra semakin merapa"Kenapa kamu ga bilang sama saya?" tanya Eva dengan suara lirih.Eva mendorong tubuh Andra hingga terjatuh di atas sofa. Ia menatap suaminya itu dengan sorot tajamnya. Ia sama sekali tak membuka mulutnya. Andra berulang kali mengalihkan tatapannya ke sembarang arah untuk menghindari kontak kata dengan wanita di hadapannya. Andra menghela napasnya pelan, ia beranjak bangun dari sofa. Tapi dengan cepat Eva langsung mendorong tubuhnya lagi."Eva, saya bisa jelaskan ini semua," ujar Andra.Eva menganggukkan kepalanya. "Baguslah. Kalau begitu jelaskan sekarang juga!""Saya hanya memiliki satu kamar di sini," kata Andra dengan kepala yang menunduk.Eva memicingkan kedua matanya. "Lalu mengapa kamu menolak untuk tinggal bersama saya?"Andra tak menjawab, ia terus menundukkan kepalanya. Ia tak punya alasan yang kuat untuk menjawab pertanyaan istrinya tersebut. Sebenarnya mereka memang lebih layak tinggal di rumah
Lebih dari 5 menit Eva terus menangis di trotoar yang ramai dilalui orang. Beberapa dari pejalan kaki berbisik membicarakannya, tapi ia sama sekali tak peduli. Ia terus menangisi ponselnya yang masih berstatus kredit tersebut. Eva mengangkat kepalanya saat melihat sepasang sepatu berhenti tepat di depannya."Andra?""Kenapa nangis di sini?" tanya Andra sambil mengulurkan sebelah tangannya.Eva langsung menyambut uluran tangan suaminya itu. Namun air mata nampaknya masih enggan untuk berhenti mengalir. Andra terus menatapnya dengan bingung."Apa yang membuat kamu menangis seperti ini?" tanya Andra.Eva menyerahkan tasnya pada Andra. "Ponsel saya hilang!"Andra terkekeh pelan lalu mengusap punca kepala istrinya tersebut. Ia mengambil sesuatu dari saku celananya, lalu ia menyodorkan ponsel milik Eva. Terlihat wajah istrinya begitu bahagia."Kok bisa ada di kamu?" tanya Eva dengan senyum lebarnya.
Andra tiba terlebih dahulu di rumah. Ia mengangkat sebelah tangannya untuk melihat arloji. Jarum pendek sudah berada tepat di angka enam, tapi Eva masih belum pulang. Ia langsung masuk ke dalam kamar. Ia tersenyum tipis menatap gorden yang membelah kamar tersebut. Ia menyingkap gorden itu. Seketika tubuhnya langsung membeku, ia mengerjapkan matanya beberapa kali."A-a-andra?"Andra memutar tubuhnya dengan cepat. Ia merasakan wajahnya mulai memanas. Untuk pertama kalinya ia melihat sesuatu yang seharusnya tidak dilihatnya. Ia menggelengkan kepalanya berulang kali untuk menghapus ingatannya dari kejadian beberapa detik yang lalu."Andra?" panggil Eva.Andra menggelengkan kepalanya. Ia tidak akan menjawab panggilan Eva. Ia memilih berlari keluar dari kamar. Ia langsung menghidupkan televisi dan mencari saluran secara acak. Kemudian ia duduk di sofa walau masih dengan detak jantung yang tak karuan. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuk
Sejak kejadian malam itu, Eva benar-benar menjaga jaraknya dengan Andra. Ia bahkan tidak membiarkan sandalnya berdekatan dengan sandal milik pria itu. Saat berangkat bekerja, Eva sengaja membiarkan Andra pergi terlebih dahulu. Layaknya bisa memprediksi jarak, ia berjalan 10 meter di belakang suaminya tersebut. Eva memicingkan kedua matanya, pandangannya tertuju pada langkah kaki Andra yang semakin lambat. Ia pun mengikuti ritme langkah kaki suaminya. Ia tidak akan membiarkan jarak 10 meternya menjadi berantakan.Saat tengah fokus menyamakan langkah, ponsel di genggaman Eva bergetar menandakan sebuah pesan masuk. Ia langsung menggulir layar ponselnya. Nampak sebuah pesan dari Andra. Ia mencebikkan bibirnya, mungkin itu yang menyebabkan Andra memperlambat langkahnya.'Kamu jalan lebih dulu. Saya ada urusan.'Begitu isi pesannya.Eva mengernyitkan dahinya, ia mempercepat langkahnya untuk mengejar Andra. Setelah berada dalam jarak yang memun
Andra memasuki ruang kelas yang akan menjadi jadwal terakhirnya hari inj. Ia melangkah dengan tubuh tegapnya. Seperti biasa, para siswi yang baru memasuki masa remaja itu tersenyum malu-malu. Andra berdiri di depan papan tulis, lalu mengeluarkan selembar kertas. Ia menunjuk salah satu siswa yang duduk di kursi paling belakang."Nando!" panggilnya dengan suara lantang.Siswa bernama Nando yang sedang sibuk dengan buku itu langsung berdiri saat mendengar suara gurunya tersebut. Lalu Andra menggerakkan tangannya seolah mengisyaratkan Nando untuk maju ke depan. Muridnya itu langsung maju tanpa membatah sedikit pun."Kenapa nilai harian kamu kosong?" tanya Andra dengan suara yang melembut.Nando menundukkan kepalanya. "Maaf, Pak. Saat itu saya tidak datang ke sekolah karena sakit."Andra mengernyitkan dahinya. Ia mengambil buku absen dari laci mejanya. Ia meneliti setiap titik yang ada di nama Nando. Semuanya te
Eva mendengus sebal, entah sudah berapa kali ia mencoba keberuntungannya di mesin capit tersebut. Ia hampir patah semangat, padahal sedikit lagi ia berhasil mencapit boneka cacing yang diminta oleh anak laki-laki di sampingnya. Anak itu mengerucutkan bibirnya dengan wajah kesal."Tante payah!" kata anak tersebut.Eva langsung melongo saat mendengar ucapan anak tersebut. Padahal ia sudah menghabiskan hampir dari semua uangnya demi mendapatkan boneka tersebut. Eva merogoh sakunya lagi, ia menggenggam selembar uang lima ribuan."Eva, ayo pulang!" kata Vira yang baru saja selesai membeli pakaian.Eva menggeleng cepat. "Ga! Gue ga akan pulang sebelum dapat boneka itu!"Ina mendecak sebal. "Ya sudah, kita pulang duluan."Eva tak menjawab, ia langsung berlari menuju ke sebuah kios untuk menukar uang kertasnya menjadi koin. Ia tidak akan menyerah begitu saja. Saat ia kembali, anak laki-laki itu sudah menghilang. M
Eva menatap Andra yang sudah tertidur di kasurnya. Ia sempat merasa kesal karena mau tak mau ia harus tidur di kasur tipis milik Andra. Padahal setelah Andra menerima paket, Eva sudah menyuruhnya untuk tidur dikasurnya sendiri. Tapi nampaknya pria itu sudah tidak kuasa menahan rasa kantuknya. Akhirnya ia tumbang di kasur milik Eva. Waktu terus berjalan, terdengar suara ketukan satpam yang menandakan tengah malam. Eva beranjak ke kasur milik Andra. Awalnya ia merasa nyaman, tapi setelah cukup lama punggungnya mulai terasa sakit akibat per yang ada di kasur itu sudah tidak berfungsi. Ia berinisiatif melapisi kasur dengan bed cover yang cukup tebal. Rasanya jauh lebih nyaman, tapi Eva sama sekali tidak bisa memejamkan kedua matanya. Ia berhasil merusak jam tidurnya. Eva bangun dari kasur tersebut. Kemudian ia beralih pada ponsel Andra yang tergeletak di lantai. Eva meraih benda itu, namun saat dinyalakan, ternyata ponsel itu dipasang keamanan berupa kata sandi.
Andra duduk di depan ruang IGD dengan perasaan yang kacau balau. Untuk kedua kalinya ia melihat seseorang bersimbah darah seperti itu. Sebenarnya dahulu ia ingin menjadi seorang dokter, tapi sejak pertama kalinya ia melihat pemandangan mengerikan seperti itu, ia mengurungkan niatnya. Alhasil kuliahnya selama bertahun-tahun di fakultas kedokteran itu menjadi sia-sia. Kini ia hanya menjadi seorang guru di bidang pengetahuan alam.Terdengar langkah kaki yang cukup ribut mulai menghampirinya. Andra melihat kedua orang tua Eva berjalan tergopoh-gopoh. Andra bangun dari tempat duduknya, lalu menghampiri mertuanya tersebut. Namun Linda langsung menamparnya cukup keras. Hal itu membuat Andra mematung di tempatnya. Bukan karena sakit, tapi ia sangat terkejut."Apa kamu sama sekali tidak mencintai anak saya?!" bentak Linda cukup keras.Hendri mengusap bahu istrinya itu. "Tenang, Bu. Kita sedang di rumah sakit."Linda menggelengkan kepalanya.