Aku terbelalak mendengar pria itu tahu kapan aku pulang. Aku sempat berpikir apakah Om Do sekarang sedang mengawasiku dari luar atau dia hanya menggertakku saja? Tanpa menjawab ucapannya Aku mengklik tanda merah saking kesalnya."Kenapa? Apa suami Lo mau jemput?" "Enggak.""Terus apa katanya?""Dia bilang gue enggak usah keluyuran dulu sebab dia tahu kalau sekarang gue udah waktunya pulang.""Lo bilang kek, kalau Lo pergi sama Gue. Memangnya Lo gak bilang sama dia kalau Lo punya temen yang manis dan baik hati kayak Gue dan Mitha. Jadi aman kalau pergi-pergi sama Gue. Kita cuma nongkrong aja kok di cafe. Lagian Lo mau ngapain di rumah, mau nyuci, masak, bersih-bersih. Aduh, kalau udah nikah bukan berarti kita kehilangan waktu untuk bersama teman-teman, dong." Ghea berbicara panjang lebar.[Biasakan untuk mengucap salam sebelum menutup telepon, gak sopan kamu sama suami.]Selanjutnya Om Do mengirim pesan seperti itu membuatku rasanya ingin membanting ponsel ini.[Kalau kamu enggak lang
Sontak aku berbelok ke arah yang berlawanan dengan tempat pria itu berdiri. Aku melangkah tergesa-gesa setengah berlari, hingga ketika melihat ada taksi terparkir di pinggir jalan, langsung saja aku mendekatinya dan menarik pintunya. Tanpa pikir panjang lagi aku masuk dan duduk.Nafasku terengah-engah tapi merasa lega juga karena telah terhindar dari pria itu, sebab aku yakin, Om Dimas tengah menungguku.Tanpa kusadari taksi itu sudah berpenghuni. Sampai ketika aku menengok ke sebelah kanan dan melihat seseorang yang duduk di sana tengah tersenyum menatapku. Lantas aku merasa tidak enak karena telah masuk taksi yang telah diduduki oleh orang lain tanpa permisi."Eh, maaf, saya kira taksi ini kosong," ucapku sambil mencari handle pintu. Aku berniat keluar, tak apa aku akan berjalan lagi semoga tidak sampai diketahui oleh Om Dimas."Tidak apa-apa, duduk saja. Mungkin kita searah atau saya bisa cari taksi lain, sepertinya kamu tergesa-gesa.""Bukan, eh iya. Tapi saya tergesa-gesa." Aku b
Melewati area ruko aku hanya mendapati mendapati Ilham dan Danang yang berada di belakang etalase. Tidak ada Om Do, lalu kemana pria itu? Masa pergi dari tadi pagi belum juga kembali, bukankah seharusnya dia berada di toko atau jangan-jangan dia membuntutiku, tapi itu tidak mungkin juga.Sebenarnya aku ingin bertanya pada Ilham ataupun Danang tentang keberadaan pria itu. Tapi aku merasa tidak enak nanti dikiranya aku kangen, ish bisa-bisa Om Do ge-er.Tanpa menyapa mereka, aku langsung menuju lantai dua karena sudah tidak tahan dengan baju yang kukenakan saat ini. Hingga ketika pintu terbuka aku langsung menarik paksa kain yang menutupi kepalaku lalu melemparnya sembarang ke arah sofa. Begitupun dengan baju dan celana, aku langsung menggantinya dengan pakaian yang biasa aku pakai di rumah, celana hotpants dan kaos pendek.Duduk bersandar di sofa menghadap televisi lalu menyalakannya. Tidak lupa juga menyalakan pendingin ruangan. Ah, rasanya segar sekali. Sejenak aku lupa bahwa kini se
Dia terus menatapku meskipun tidak segarang tadi. Merasa tidak enak diperhatikan seperti itu, akhirnya aku berdiri dan merapikan baju-baju yang berantakan itu, lalu menyimpannya ke tempat cucian."Sebaiknya kamu mandi, kamu belum melaksanakan salat zuhur 'kan?" Om Do setengah berteriak.Huft, lagi-lagi!Tidak ingin protes akhirnya aku melakukan apa yang barusan diperintahkan, mandi dan salat sebisanya aku.Selesai salat aku melihat pria itu sedang duduk di depan laptopnya. Berarti dia tidak ikut menjaga tokonya, aku menyimpulkan seperti itu. Kalau begitu pasti dia punya pekerjaan lain atau mungkin kebetulan hari ini dia ada kegiatan di luar dan tidak di toko. Entahlah.Karena di kampus aku belum sempat beli makanan, maka sekarang aku merasakan kalau perut ini perlu diisi. Aku berjalan keluar dari kamar sambil memegangi dan mengusap perutku."Kalau kamu lapar di kulkas ada telur. Aku belum sempat belanja bahan makanan lainnya." Pria itu seperti tahu apakah yang aku rasakan."Terus aku
Om Do datang setengah berlari. Sementara aku yang panik spontan memegang tangannya dan bersembunyi di balik punggung lebar pria itu.Karena takut melihat asap yang mengepul, aku terus mengikuti kemana pun tubuh Om Do bergerak. Tetap berada di belakangnya. Kali ini aku memegang punggungnya karena tangan pria itu bergerak cepat mematikan kompor dan entah apa lagi karena aku bersembunyi di balik punggungnya. Hingga beberapa saat. Aku belum berganti posisi."Kamu benar-benar gak bisa masak atau hanya modus supaya bisa nempel dipunggungku?"Apa?Aku sontak menjauh dari pria itu dengan wajah memanas. Apalagi barusan Om Do menuduhku hanya modus. Ish!"Jadi Om kira barusan aku bercanda? Yang benar saja!" "Lagian kamu nyaman banget nempel di punggungku," kekehnya tanpa merasa bersalah telah menuduhku.Eh, iyakah?Mungkin itu hanya perasaannya saja atau jangan-jangan malah ke-geer-an."Enak saja! Berarti Om yang ge-er!" "Geer? Aku ge-er sama kamu? Enggak bakalan." Pria itu mencebik.Aku pun
"Suka-suka aku dong, mau manggil apa pun. Kalau mau aku pertanyakan, kenapa kamu juga memanggilku Om Do? Namaku Muhammad Refaldo." Pria itu mengangkat pundaknya seakan menantangku."Aku aku cuma mengikuti Rendy yang menyebutmu seperti itu." Aku membela diri dan memang itu alasan yang sebenarnya."Rendy sudah jelas keponakanku jadi dia sudah sepantasnya memanggilku dengan sebutan Om. Lalu apakah pantas seorang istri memanggil suaminya dengan sebutan Om?" Jawabnya penuh penekanan."Dengar ya, Om. Apa perlu aku tegaskan sekali lagi. Om itu suamiku hanya di atas kertas, jadi jangan permasalahkan, aku mau memanggil Om dengan sebutan Paman, Bapak, atau apa pun."Aku kembali menutup pintu dengan keras. Perasaan kesalku sudah di ubun-ubun, mungkin bisa jadi karena efek lapar ditambah sikap Om Do yang keras kepala.***Satu jam aku hanya mondar-mandir di dalam kamar. Mau tidur juga tidak terlelap karena memang tadi sudah tidur sepulang dari kampus. Apalagi sekarang perutku sudah sangat lapar.
"Om tahu apa yang terjadi padanya dan bagaimana kabarnya sekarang?" Aku menatapnya, pria itu masih makan dengan lahap."Enggak," jawabnya dengan mulut penuh sambil menggeleng tanpa melihat ke arahku.Aku menghembuskan napas panjang, kukira dia bertanya seperti itu karena sudah tahu bagaimana kabar Rendy secara Om Do adalah keluarga dekatnya Rendy. Sampai saat ini sejujurnya aku masih khawatir. Takut terjadi apa-apa pada Rendy, bagaimanapun dia adalah orang yang masih aku cintai saat ini meskipun ada terselip rasa kesal."Ponselnya masih belum aktif." Aku setengah bergumam. Malu kalau ketahuan aku sering mengecek ponsel Rendy. "Lalu apa kamu berniat mencari kabarnya ke rumah Mbak Renita?" Om Do bertanya dengan nada serius.Aku mendongak mendengar dia berkata seperti itu. Tak disangka Om Do pun sedang melihat ke arahku dan aku tidak dapat menghindari tatapan matanya yang kali ini terlihat serius juga."Enggak," jawabku sambil menggeleng beberapa kali."Kenapa? Bukankah kamu ingin menge
[Aku ingin bicara dan menjelaskan sesuatu padamu, La. Kita harus ketemu, besok selepas kuliah aku jemput kamu di kampus. Rendy.]Benarkah ini pesan dari Rendy? Tapi kenapa bukan nomor yang biasa dia gunakan. Apakah Rendy mengganti nomornya?[Oke, nanti aku ngomong dulu sama Om kamu, soalnya dia cerewetnya melebihi Mama. Pasti dia ngerti, kok. Aku tidak perlu menjelaskan lagi sama kamu, 'kan. Apa yang terjadi setelah kemarin kamu batal menikahi aku.]Terkirim.Sebenarnya aku ingin mencaci-maki dia, seenaknya tidak datang di hari pernikahan kami dan mempermalukan keluarganya juga keluargaku. Tapi jika dipikir lagi, aku harus mendengarkan penjelasan Rendy dulu.[Gak usah ngomong sama suami kamu, nanti bakal berabe urusannya. Kamu bisa 'kan pergi diam-diam sepulang kuliah atau bolos saja pada jam kuliah.]Balas Rendy cepat. Membuat kedua alisku spontan bertaut, sebab tidak biasanya Rendy meminta aku bolos kuliah. Dulu dia selalu berpesan supaya aku kuliah yang benar, tidak boleh banyak ke