"Lalu nasib perut buncit Lo nanti gimana?""Itu urusan gue!""Jadi Lo siap dibully karena perut buncit tanpa ketahuan nikah daripada Lo dibully ketahuan nikah sama Om Do?"Aku diam, susah juga menjelaskan pada mereka pasalnya aku juga belum mau jujur pada kedua sahabatku ini kalau sebenarnya aku tidak hamil."Nanti gue pikirkan lagi. Yang jelas sekarang tidak boleh ada yang tahu kalau gue nikah sama Om Do.""Oke, oke kalau itu mau Lo. Terus benar kan kalau penampilan Lo ini atas perintah laki Lo?" Ghea menyelidik.Aku mengangguk lemah."Dari semenjak kemarin sampai di rumahnya, dia seperti menguasai hidup Gue. Dia banyak ngatur, harus ini harus itu, jangan ini jangan itu.""Namanya suami, ya seperti itu. Bukankah dulu Lo yang pengen cepat nikah sama Rendy?""Gue pengen nikah sama Rendy bukan sama Om-nya. Sama Rendy itu kita saling mencintai jadi enggak bakalan bersikap otoriter kayak gitu.""Belum tentu juga, justru kalau menurut Gue nih, Om-nya itu lebih dewasa. Jadi dia bisa momong,
Selama perkuliahan berlangsung, aku tidak begitu fokus mendengarkan apa yang disampaikan oleh Bu Zaskia. Pasalnya aku masih terus teringat pada isi pesan yang tadi aku terima sebelum masuk kelas.Pesan itu berasal dari Papa tiriku, Om Dimas.[Selain Mamamu, suamimu juga tidak boleh tahu apa yang pernah aku lakukan padamu. Dan aku pastikan kamu akan segera pulang ke rumah Mamamu.]Begitulah isi pesan yang tadi dikirim oleh om Dimas. Apa maksud pria itu mengancamku lagi, yang jelas sepertinya dia juga tidak suka dengan pernikahanku ini.Aku sedang memikirkan cara bagaimana supaya Mama tahu kelakuan bejad suaminya. Tapi untuk memberitahu Mama secara langsung aku juga tidak berani karena masih takut dengan ancaman Om Dimas. Apa aku minta bantuan Om Do saja, ya? Tidak, itu akan membuat Om Do semakin bersikap semana-mena terhadapku kalau tahu aku membutuhkan bantuannya. Dia akan lebih menguasai diriku dan seenaknya memerintah dan melarang apa-apa padaku.***[Apa aku perlu menjemputmu?]Pes
Aku terbelalak mendengar pria itu tahu kapan aku pulang. Aku sempat berpikir apakah Om Do sekarang sedang mengawasiku dari luar atau dia hanya menggertakku saja? Tanpa menjawab ucapannya Aku mengklik tanda merah saking kesalnya."Kenapa? Apa suami Lo mau jemput?" "Enggak.""Terus apa katanya?""Dia bilang gue enggak usah keluyuran dulu sebab dia tahu kalau sekarang gue udah waktunya pulang.""Lo bilang kek, kalau Lo pergi sama Gue. Memangnya Lo gak bilang sama dia kalau Lo punya temen yang manis dan baik hati kayak Gue dan Mitha. Jadi aman kalau pergi-pergi sama Gue. Kita cuma nongkrong aja kok di cafe. Lagian Lo mau ngapain di rumah, mau nyuci, masak, bersih-bersih. Aduh, kalau udah nikah bukan berarti kita kehilangan waktu untuk bersama teman-teman, dong." Ghea berbicara panjang lebar.[Biasakan untuk mengucap salam sebelum menutup telepon, gak sopan kamu sama suami.]Selanjutnya Om Do mengirim pesan seperti itu membuatku rasanya ingin membanting ponsel ini.[Kalau kamu enggak lang
Sontak aku berbelok ke arah yang berlawanan dengan tempat pria itu berdiri. Aku melangkah tergesa-gesa setengah berlari, hingga ketika melihat ada taksi terparkir di pinggir jalan, langsung saja aku mendekatinya dan menarik pintunya. Tanpa pikir panjang lagi aku masuk dan duduk.Nafasku terengah-engah tapi merasa lega juga karena telah terhindar dari pria itu, sebab aku yakin, Om Dimas tengah menungguku.Tanpa kusadari taksi itu sudah berpenghuni. Sampai ketika aku menengok ke sebelah kanan dan melihat seseorang yang duduk di sana tengah tersenyum menatapku. Lantas aku merasa tidak enak karena telah masuk taksi yang telah diduduki oleh orang lain tanpa permisi."Eh, maaf, saya kira taksi ini kosong," ucapku sambil mencari handle pintu. Aku berniat keluar, tak apa aku akan berjalan lagi semoga tidak sampai diketahui oleh Om Dimas."Tidak apa-apa, duduk saja. Mungkin kita searah atau saya bisa cari taksi lain, sepertinya kamu tergesa-gesa.""Bukan, eh iya. Tapi saya tergesa-gesa." Aku b
Melewati area ruko aku hanya mendapati mendapati Ilham dan Danang yang berada di belakang etalase. Tidak ada Om Do, lalu kemana pria itu? Masa pergi dari tadi pagi belum juga kembali, bukankah seharusnya dia berada di toko atau jangan-jangan dia membuntutiku, tapi itu tidak mungkin juga.Sebenarnya aku ingin bertanya pada Ilham ataupun Danang tentang keberadaan pria itu. Tapi aku merasa tidak enak nanti dikiranya aku kangen, ish bisa-bisa Om Do ge-er.Tanpa menyapa mereka, aku langsung menuju lantai dua karena sudah tidak tahan dengan baju yang kukenakan saat ini. Hingga ketika pintu terbuka aku langsung menarik paksa kain yang menutupi kepalaku lalu melemparnya sembarang ke arah sofa. Begitupun dengan baju dan celana, aku langsung menggantinya dengan pakaian yang biasa aku pakai di rumah, celana hotpants dan kaos pendek.Duduk bersandar di sofa menghadap televisi lalu menyalakannya. Tidak lupa juga menyalakan pendingin ruangan. Ah, rasanya segar sekali. Sejenak aku lupa bahwa kini se
Dia terus menatapku meskipun tidak segarang tadi. Merasa tidak enak diperhatikan seperti itu, akhirnya aku berdiri dan merapikan baju-baju yang berantakan itu, lalu menyimpannya ke tempat cucian."Sebaiknya kamu mandi, kamu belum melaksanakan salat zuhur 'kan?" Om Do setengah berteriak.Huft, lagi-lagi!Tidak ingin protes akhirnya aku melakukan apa yang barusan diperintahkan, mandi dan salat sebisanya aku.Selesai salat aku melihat pria itu sedang duduk di depan laptopnya. Berarti dia tidak ikut menjaga tokonya, aku menyimpulkan seperti itu. Kalau begitu pasti dia punya pekerjaan lain atau mungkin kebetulan hari ini dia ada kegiatan di luar dan tidak di toko. Entahlah.Karena di kampus aku belum sempat beli makanan, maka sekarang aku merasakan kalau perut ini perlu diisi. Aku berjalan keluar dari kamar sambil memegangi dan mengusap perutku."Kalau kamu lapar di kulkas ada telur. Aku belum sempat belanja bahan makanan lainnya." Pria itu seperti tahu apakah yang aku rasakan."Terus aku
Om Do datang setengah berlari. Sementara aku yang panik spontan memegang tangannya dan bersembunyi di balik punggung lebar pria itu.Karena takut melihat asap yang mengepul, aku terus mengikuti kemana pun tubuh Om Do bergerak. Tetap berada di belakangnya. Kali ini aku memegang punggungnya karena tangan pria itu bergerak cepat mematikan kompor dan entah apa lagi karena aku bersembunyi di balik punggungnya. Hingga beberapa saat. Aku belum berganti posisi."Kamu benar-benar gak bisa masak atau hanya modus supaya bisa nempel dipunggungku?"Apa?Aku sontak menjauh dari pria itu dengan wajah memanas. Apalagi barusan Om Do menuduhku hanya modus. Ish!"Jadi Om kira barusan aku bercanda? Yang benar saja!" "Lagian kamu nyaman banget nempel di punggungku," kekehnya tanpa merasa bersalah telah menuduhku.Eh, iyakah?Mungkin itu hanya perasaannya saja atau jangan-jangan malah ke-geer-an."Enak saja! Berarti Om yang ge-er!" "Geer? Aku ge-er sama kamu? Enggak bakalan." Pria itu mencebik.Aku pun
"Suka-suka aku dong, mau manggil apa pun. Kalau mau aku pertanyakan, kenapa kamu juga memanggilku Om Do? Namaku Muhammad Refaldo." Pria itu mengangkat pundaknya seakan menantangku."Aku aku cuma mengikuti Rendy yang menyebutmu seperti itu." Aku membela diri dan memang itu alasan yang sebenarnya."Rendy sudah jelas keponakanku jadi dia sudah sepantasnya memanggilku dengan sebutan Om. Lalu apakah pantas seorang istri memanggil suaminya dengan sebutan Om?" Jawabnya penuh penekanan."Dengar ya, Om. Apa perlu aku tegaskan sekali lagi. Om itu suamiku hanya di atas kertas, jadi jangan permasalahkan, aku mau memanggil Om dengan sebutan Paman, Bapak, atau apa pun."Aku kembali menutup pintu dengan keras. Perasaan kesalku sudah di ubun-ubun, mungkin bisa jadi karena efek lapar ditambah sikap Om Do yang keras kepala.***Satu jam aku hanya mondar-mandir di dalam kamar. Mau tidur juga tidak terlelap karena memang tadi sudah tidur sepulang dari kampus. Apalagi sekarang perutku sudah sangat lapar.