[ Jadi kali Unie duluan yang menggugat cerai ke Pengadilan Agama? ] tanya Ameena yang mendengar kabar perceraian Salma dan Haris.[ benar, Umm. Kali ini pengacara memasukkan berkas dan sudah diproses. ][ sudah masa iddah ya? ] tanya Ameena lagi. Seolah ia tak memahami jarak waktu yang terjadi. [ cepat sekali waktu berlalu. ][ benar. Saya memutuskan menerima pinangan kakak sepupu saya. ][ hem, tak masalah, Un. Berarti khuluk. Jadi memang tidak perlu lagi menunggu dirujuk. ] tulis Ameena lagi.Mata Salma melebar karena itu. Bagaimana bisa dia tidak memahami hal sepenting ini? Padahal dia lebih dulu berhijrah.“Apa Mas Haris mengetahui ini, tapi dia diam saja karena ingin memanfaatkan situasi?” gumam perempuan beranak enam itu.“Ada apa?” Ibu Salma datang membawakan makanan dan minuman di atas nampan untuk putrinya. Lalu meletakkan di nakas samping ranjang, agar Salma lebih mudah menjangkaunya.Melihat kedatangan sang Ibu, Salma buru –buru menyimpan ponsel. Ia tak mau membuat wanita t
“Mas, apa Mas tidak ingin melihat anak Mas Haris?” tanya Wawan di sambungan seluler yang terhubung ke pada Haris. “Inggit masih koma.”Ia merasa sangat miris. Sampai sekarang Inggit masih belum sadar, sejak ia melahirkan prematur minggu lalu. Sepertinya sudah tidak ada harapan untuknya hidup. Sementara ibu Inggit terus saja menangis tanpa tahu apa yang harus diperbuat selain menunggu dengan sabar anaknya akan sadar.Hati Wawan teriris melihat kondisi kakak perempuan dan keponakannya, hingga ia berinisiatif untuk menghubungi Haris. Barang kali pria itu terketuk untuk datang dan membantunya memberi support.“Apa uang yang saya kirim kurang, Pak?” tanya Haris yang mulai kesal terus dihubungi. Padahal, dia sudah mengirim uang. Pekerjaannya terus tertunda karena mengurus Inggit dan anak mereka. “Saya sedang berada di luar kota mengurus pekerjaan. Tidak mudah kalau memutuskan pulang dalam waktu dekat. Saya pikir uang yang saya kirimkan sudah lebih dari cukup. Sebelum pergi saya juga sudah m
“Kenapa aku harus terus mengurus sesuatu yang bukan jadi tanggung jawabku? Apa mereka tidak lelah memeras dan memanfaatkanku sejak dulu?” gumam Haris yang belakangan semakin menyadari bahwa segala hal yang dilakukan di masa lalu adalah kesalahan.Pria itu sedang berada di sebuah pondok pesantren. Dan terpaksa mengatakan bisnis agar tidak dipaksa datang oleh Wawan dan Ibu Inggit. Ia merasa sudah cukup dengan mengirimkan uang kepada mereka. Di padepokan ini, Haris sudah menjalani ruqyah rutin atas rekomendasi ustaz Fawwas. Ada hal –hal yang tadinya tak terpikirkan tiba –tiba saja terlintas dalam pikiran mengenai keluarga Inggit.Baru saja menaruh ponsel di nakas dan bersiap untuk bersuci, tiba –tiba sebuah panggilan terdengar. Ia pun mengurungkan sejenak niatnya ke luar kamar dan mengambil ponsel itu untuk melihat siapa yang menelepon.“Mama?” gumamnya sembari mengklik icon berwarna hijau untuk menerima panggilan.“Assalamualaikum. Ya Ma?”“Waalaikum salam. Ris, gimana kabar kamu?”“Alh
“Jadi benar, kalian tidak bisa rujuk lagi?” Suara di seberang terdengar sedih.Sementara Haris, tak ada yang bisa ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa menyimpan kesedihan dan penyesalannya untuk diri sendiri. Sejak awal ia sudah tahu, bahwa segalanya tidak akan bisa diperbaiki seperti dulu lagi.“Ris!” panggil sang ibu karena tak ada jawaban dari putra sulungnya di ujung telepon.“Ah, ya, Ma.” Haris terhenyak dari lamunan. “Bagaimana?”“Hem, kamu pasti sedang memikirkan hal berat sekarang.”“Hem.” Haris tersenyum miris. Jelas saja pikirannya berat. Tapi justru perceraian yang terjadi, membuatnya sebagian beban di kepalanya terangkat. Entah kenapa? Mungkin karena dia harus terus melihat bagaimana keluhan Salma saat bersamanya. Dia mana bisa terus melihat wanita yang dicintainya tidak bahagia.Ternyata begini rasanya, mencintai tanpa bisa memiliki, sesuatu yang dulu tak pernah ia pikirkan karena kehidupannya dengan Salma benar –benar bahagia.“Jadi sudah tidak bisa rujuk lagi kan?” sang Ma
Rus masih fokus melihat petugas. Ia kemudian terhentak begitu mendengar suara notif pesan masuk ke ponselnya. Wanita tua itu kemudian merogoh ponsel dalam tasnya lagi. Lalu menggeser layar ponselnya untuk melihat pesan apa yang dikirim padanya.“Dari Wawan,” gumamnya sembari mengklik isi pesan itu.Matanya nyaris saja terlepas dari tempatnya begitu membaca isi pesan itu.[ Innalillahi waa inna ilahi rojiun, bayi Inggit sudah tidak tertolong Mbak. Sebaiknya Mbak cepat ke mari, kita harus mengurusnya. ]“Ini tidak mungkin! Wawan pasti salah lihat. Dia pasti tidak mendengar dari Dokter secara langsung!” sangkalnya selagi bangkit dari duduk dan merapikan tas untuk kemudian dibawa dengan tergesa, menuju tempat di mana bayi Inggit selama ini dirawat, dan Wawan sudah menunggu di sana.Langkahnya bergerak begitu cepat, karena ia tak ingin kehilangan waktu sedikit pun. Seolah ia bisa datang tak terlambat dan mencegah kematian cucunya itu.“Ya Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana kami bisa mendapatk
[ Mas Haris ini MaasyaAllah, loh ya. Dititipin Allah harta lebih. Sayang kalau enggak digunakan buat nolongin Akhwat-akhwat yang gak kebagian suami] Akun bernama Wawan menulisnya.[ Shohih, pasti akan banyak keluarga terayomi. Tidak akan rugi kalau diniatkan karena Allah. Malah Risqinya akan makin banyak setelah menikah lagi. Yaqin. ] Akun lain menimpali.[ Monggo Mas Haris, kalau sudah fix, nanti saya sodorin akhwatnya. Mau yang gadis atau janda. Saya ada kenalan banyakkk. Mereka semua perlu uluran tangan pria –pria sholeh seperti antum.] Yang lain tak kalah semangat menanggapi.[ Betul, Mas Haris pasti bisa! ][ Setelah nikah langsung muda lagi, ya. Ha ha. Tuh Ustaz Wawan contohnya. Tambah ganteng sekarang. Kita kita jadi ngiri. ]Suami merespon ucapan itu dengan emot senyum.[ He he, belum sampe ilmunya, Guru. ][ Ah, kalau ilmu mah bisa dicari sambil jalan, yang penting umur dan hartanya belum limit. ] sanggah Wawan lagi.Geram sekali aku membacanya. Apa memang obrolan mereka sela
"Mi, mulai sekarang ... Abi akan itikaf sehari semalam dalam seminggu. Saat Abi itikaf, hape Abi matikan. Jangan mencari -cari Abi. Abi cuma minta satu hari dari tujuh hari yang enam harinya buat Umi semua." Mas Haris bicara dengan nada menekan. Agak ketus. Apalagi saat menyebut 6 hari untukku semua. Walau rasanya seperti diancam, aku pun mengiyakan. Toh, suamiku sudah membuktikan bahwa dia sudah banyak berubah. Lagian mau cari -cari ke mana kalau dia saja itikafnya pindah -pindah Masjid. Dia tak mau memberi tahu Masjid mana yang akan didiami. Yah, pasti dia sengaja.Sejak rajin ke kajian, suami pun sikapnya semakin baik. Dia tegas pada segala hal yang berkaitan dengan kewajiban kami sebagai seorang muslim. Dulu yang sholat bolong –bolong, sekarang malah rutin jamaah di Masjid. Permintaannya agar aku merelakan dia untuk tidak pulang, dan tak mencarinya, adalah bentuk kematangannya dalam ber-Islam.Wajar di usianya yang sudah memasuki angka 40 untuk lebih banyak mengingat akhirat. Buk
“Ya Allah, jika memang ada sesuatu yang terjadi. Hamba mohon tampakkanlah. Jika tak ada masalah besar yang harus dipermasalahkan, tolong tenangkan hati hamba. Aamiin.”Untuk menenangkan hati, aku pun menghibur diri dengan memperbanyak sholat sunnah dan membaca Alquran, kala semua kesibukan di rumah telah selesai. Sebagai seorang istri yang sudah mendampinginya lebih dari 15 tahun, dan tahu persis bagaimana luar dalamnya suamiku, tentu saja aku tak ingin terus berburuk sangka padanya dan mempercayainya. Siapa yang mau apa yang sudah susah payah kami bina hancur dalam sekejap hanya karena prasangka kecil yang dibesar –besarkan.Aku tahu persis, prasangka itu dari setan. Mereka meniup –niup perkara agar anak Adam terjerumus dalam dosa dan kehancuran. Dan bukankah, hal yang paling mereka senangi ketika berhasil mengganggu suami istri dan mereka bercerai?Subhanallah ... Tuhan menjawab kegelisahanku beberapa bulan terakhir. Selang beberapa hari, ada token masuk. “Hem?” dahiku mengerut kare