“Maaf, Ramandika. Kami tidak tahu apa-apa,” jawab salah seorang dari kedua pria itu.
Sejatinya, mereka mengetahui siapa pelakunya, karena mereka mendapatkan keterangan dari Sintani—adik Ramandika sebelum dia mengembuskan napas terakhirnya. Namun, mereka tidak berani mengatakan hal yang sebenarnya karena mereka takut terlibat dalam kasus tersebut.
“Jadi, kalian benar-benar tidak mengetahuinya?” tanya Ramandika lagi.
“Tidak Ramandika, kami sungguh tidak mengetahui siapa pelakunya.”
“Lantas, di mana jasad keluargaku dimakamkan?” tanya Ramandika menatap tajam ke arah dua orang yang ada di hadapannya.
“Mereka dimakamkan di kebun milikmu.”
Setelah menjawab pertanyaan Ramandika, dua orang itu kembali melanjutkan langkah mereka berlalu dari hadapan Ramandika.
Beberapa orang penduduk yang kebetulan melintas, tampak tidak peduli melihat Ramandika yang tengah larut dalam kesedihan. Para penduduk itu justru mengabaikannya, mereka tidak mau mendekati Ramandika.
Beberapa saat kemudian ....
Ramandika bangkit, ia melangkah mendekat ke arah rumah yang sudah hancur berantakan. Sejenak , ia memandangi reruntuhan rumahnya. Setelah itu, langsung pergi meninggalkan rumahnya yang sudah habis terbakar.
Ramandika berjalan pelan menyusuri jalan setapak menuju ke arah ladang tempat dimakamkannya jasad keluarganya
Di makam kedua orang tua dan adiknya, Ramandika menangis sambil berdoa.
“Jika saja aku tidak ikut dengan Paman Sonda, mungkin peristiwa ini tidak akan terjadi menimpa keluargaku,” desis Ramandika setelah selesai berdoa.
Tanpa ia sadari, seorang pria paruh baya yang selama ini dekat dengannya, sudah berdiri di belakangnya. Karena rumahnya berada tidak jauh dari lokasi pemakaman tersebut
“Ramandika,” kata pria paruh baya itu lirih.
Mendengar suara tersebut, Ramandika langsung menyeka air matanya. Kemudian berpaling ke arah belakang, ia bangkit dan langsung memeluk erat tubuh pria paruh baya itu sambil terisak.
“Aku sudah kehilangan orang-orang yang aku cintai Paman Ramudya,” kata Ramandika sambil menangis pilu di pelukan Ramudya.
“Ini adalah bagian takdir kehidupan yang harus kau jalani. Maafkan Paman, karena pada saat kejadian, Paman tidak ada di desa ini,” ucap Ramudya mengelus lembut pundak Ramandika.
Ramandika terus menangis, ia sudah tidak dapat berkata apa-apa lagi. Dadanya terasa sesak, pandangannya sudah redup terhalang bulir bening yang terus mengalir dari kelopak matanya.
“Tak ada seorang pun penduduk yang berani buka mulut, Paman sudah bertanya kepada orang-orang yang ada di desa ini, tapi tak ada seorang pun yang memberitahu tentang pelakunya.”
“Ia Paman, aku pun sudah bertanya kepada para penduduk, tapi mereka tidak ada yang mau memberitahuku tentang pelakunya.”
Perlahan, Ramandika melepaskan pelukannya. Ia menarik napas dalam-dalam, dua bola matanya menatap tajam wajah Ramudya.
“Tidak apa-apa, Paman. Aku akan coba mencaritahu sendiri siapa pelakunya,” desis Ramandika lirih. “Maaf, Paman. Aku akan langsung menemui Rawinta, aku ingin bertanya kepada Rawinta tentang peristiwa ini. Semoga saja aja informasi baik darinya,” sambung Ramandika.
“Iya, Ramandika. Tapi ingat, kau harus kembali ke sini,” kata Ramudya lirih.
“Baik, Paman. Aku pasti kembali ke sini setelah selesai menjumpai Rawinta.”
Setelah berkata demikian, Ramandika langsung pamit dan berlalu dari hadapan Ramudya.
Setibanya di kediaman Rawinta, Ramandika langsung mengetuk pintu.
“Rawinta! Apakah kau ada di dalam?” kata Ramandika berdiri di depan pintu kediaman sahabatnya itu.
Kemudian, terdengar suara langkah kaki tergesa-gesa dari dalam rumah tersebut.
“Iya, Ramandika,” sahut Rawinta yang sudah mengenal suara Ramandika.
Ia langsung membuka pintu. Dua bola matanya melebar ketika melihat Ramandika sudah berada di hadapannya.
“Ramandika, kapan kau kembali?” tanya Rawinta setelah membuka pintu.
Ramandika tidak menjawab pertanyaan sahabatnya itu, ia hanya tersenyum tipis dengan dua bola mata yang berkaca-kaca.
Rawinta paham dengan kondisi yang tengah dialami sahabatnya itu. Tanpa banyak bicara lagi, ia langsung mempersilakan Ramandika duduk, “Silakan duduk, Ramandika!”
Ramandika mengangguk dan langsung melangkah menuju sebuah kursi yang ada di teras rumah tersebut.
Setelah duduk, tanpa banyak basa-basi lagi, Ramandika langsung bertanya kepada Rawinta tentang pelaku pembunuhan kedua orang tuanya dan juga Sintani—adik kandungnya.
“Sebenarnya aku tidak berani mengatakan hal ini. Tapi ... ini semua harus aku katakan kepadamu, Ramandika,” kata Rawinta dengan suara rendah. “Kau adalah sahabat baikku, tidak sepantasnya jika aku merahasiakan ini semua,” sambungnya.
“Katakan saja, Rawinta! Siapa pelakunya?”
Rawinta terdiam sejenak, dua bola matanya memandang ke sekitar halaman rumahnya. Seakan-akan dirinya tengah memastikan bahwa tidak ada orang lain di tempat itu, selain dirinya dan Ramandika. Rawinta khawatir jika ada orang lain yang akan menguping pembicaraannya dengan Ramandika.
Setelah merasa aman, barulah ia menjawab, "Pelakunya adalah Ki Bargowi dan beberapa orang anak buahnya. Aku tahu semua dari keterangan Sintani sebelum dia meninggal, bahkan sebagian warga pun mengetahuinya," bisik Rawinta.
Ramandika tampak kaget, dirinya tercengang ketika mendengar keterangan dari sahabatnya itu.
"Ki Bargowi?" tanya Ramandika menatap tajam wajah Rawinta.
"Ya, Ki Bargowi. Dia dan anak buahnya diperintahkan langsung oleh Kuwu Sangkan untuk membinasakan keluargamu," jawab Rawinta.
Ramandika menarik napas dalam-dalam sembari mengepalkan telapak tangannya kuat-kuat, kemudian memukul meja yang ada di hadapannya.
"Bedebah! Aku harus membalas dendam kepada mereka malam ini juga," kata Ramandika penuh kegusaran.
"Jangan, Ramandika!" cegah Rawinta. "Mereka bukan orang-orang biasa, mereka adalah para pendekar yang memiliki ilmu kanuragan tinggi," sambungnya.
Rawinta tampak khawatir jika terjadi sesuatu pada diri Ramandika jika dia nekat melakukan tindakan balas dendam terhadap pihak Kuwu Sangkan.
"Kau jangan khawatir, Rawinta! Aku pasti bisa menghadapi mereka!" tegas Ramandika penuh keyakinan, meskipun pada kenyataannya dia tidak memiliki kemampuan bela diri yang mumpuni.
Rawinta menarik napas dalam-dalam, lalu berkata lagi, "Kalau memang seperti itu, aku ikut."
"Tidak usah, Rawinta! Biarkan aku sendiri saja, aku tidak ingin melibatkanmu dalam persoalan ini," kata Ramandika langsung bangkit. "Aku harus menemui Ki Bargowi saat ini juga," sambungnya.
"Besok saja, Ramandika. Kau harus istirahat, sebentar lagi malam."
"Tidak apa-apa, justru malam hari adalah langkah yang tepat untuk menemui mereka," pungkas Ramandika langsung berlalu dari hadapan Rawinta
Melihat sikap sahabatnya tengah dalam kegusaran, Rawinta tidak banyak bicara lagi, dia paham dengan apa yang sedang dirasakan oleh Ramandika. Tentu akan menimbulkan masalah jika dirinya memaksa untuk ikut.
"Semoga tidak terjadi apa-apa pada Ramandika," desis Rawinta, kemudian menghela napas dalam-dalam.
Dengan penuh kegusaran, Ramandika terus melangkah menyusuri jalan setapak hendak menuju ke sebuah rumah yang menjadi tempat tinggal Bargowi dan beberapa orang anak buahnya.
Setibanya di tempat tujuan, Ramandika langsung menghentikan langkah. Ia berdiri tegak di depan rumah yang merupakan markas orang-orang kepercayaan Kuwu Sangkan. Rumah tersebut berada di pinggir perkebunan tebu milik Kuwu Sangkan.
"Bargowi, keluar kau!" teriak Ramandika.
Salah seorang anak buah Bargowi yang pada saat itu tengah berada di beranda rumah tersebut, tampak kaget melihat kedatangan Ramandika."Siapa pemuda itu?" desis pria tersebut, sama sekali dia tidak mengenal tamu tak diundang itu.Pria itu adalah Wikara yang kebetulan sedang bertugas menjaga perkebunan milik majikannya. Wikara sudah paham bahwa pemuda yang berdiri di hadapannya itu sedang dalam kondisi marah, sehingga dirinya lekas bangkit dan langsung menghampiri Ramandika."Siapa kau, Anak muda? Ada keperluan apa kau datang ke tempat ini ?" tanya Wikara bernada tinggi."Di mana pimpinanmu?" jawab Ramandika balas melontar pertanyaan. Suaranya terdengar keras menyulut amarah Wikara."Untuk apa kau mencari pemimpinku?""Jangan banyak tanya! Katakan saja, di mana Bargowi?" bentak Ramandika.Entah apa yang merasuk dalam jiwa Ramandika? Pada saat itu sikapnya benar-benar berubah, ia tampak garang dan sangat berani sekali tandang ke markas orang-orang kepercayaan Kuwu Sangkan yang terkenal
Bargowi berpaling ke arah Wikara, ia tersenyum lebar lalu menjawab pertanyaan anak buahnya itu, "Ya, aku tahu."Dengan demikian, Bargowi langsung merancang siasat bersama anak buahnya. Dia memberikan tugas kepada Wikara dan kawan-kawannya untuk mendatangi kediaman Sondaka dan juga Ramudya, karena dirinya sangat yakin bahwa mereka mengetahui keberadaan Ramandika."Kita bergerak esok pagi, pastikan bahwa Ramandika tidak lepas dari buruan kita!" ujar Bargowi di sela perbincangannya dengan Wikara dan anak buahnya yang lain."Baik, Ki," jawab Wikara bersikap penuh rasa hormat terhadap pimpinannya itu.Keesokan harinya ....Menjelang matahari terbit, Ramandika sudah berada di beranda rumah bersama Ramudya. Pada saat itu, mereka sedang berbincang santai sembari menikmati minuman rempah-rempah khas desa tersebut."Kau sudah tidak aman lagi jika harus tetap berada di desa ini, sebaiknya esok hari kau harus segera meninggalkan desa ini," saran Ramudya di sela perbincangannya dengan Ramandika.R
Ramudya sudah pasrah dengan keadaan, ia sudah tidak mampu lagi untuk melanjutkan pertarungannya dengan Bargowi.'Ya, Dewata Agung! Jika aku harus mati hari ini. Aku ikhlas, yang penting Ramandika dan Rawinta selamat dari buruan orang-orang ini,' kata Ramudya dalam hati.Ramudya menarik napas dalam-dalam, kemudian meluruskan pandangannya ke wajah Bargowi.Bargowi kemudian melangkah mendekat ke arah Ramudya sambil mengayun-ayunkan goloknya yang tajam. Kemudian berkata, "Aku akan mengurungkan niatku untuk membinasakanmu. Tapi dengan satu syarat, kau harus mengatakan di mana Ramandika berada?""Bunuh saja aku! Jika itu yang kau inginkan, aku tidak akan pernah tunduk kepadamu!" tegas Ramudya bersikeras tidak mau mengatakan tentang keberadaan Ramandika."Kurang ajar kau!" bentak Bargowi.Tanpa banyak bicara lagi, ia langsung mengayunkan goloknya dan langsung menebas leher Ramudya hingga hampir putus. Seketika itu, Ramudya pun langsung tewas dengan luka yang sangat lebar di lehernya.Setelah
"Lancang sekali kau ini, seharusnya kami yang bertanya. Siapa kau ini? Berani sekali menginjakkan kaki di wilayah ini," jawab salah seorang dari kedua pria itu dengan nada tinggi.Dalam situasi seperti itu, Ramandika paham bahwa kedua pria yang menghadangnya itu tidak punya itikad baik. Sehingga dirinya pun langsung bersiap dalam mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi.'Mereka bukan orang baik-baik, mau tidak mau aku harus berani menghadapi mereka,' batin Ramandika."Mohon maaf, Ki Sanak. Bukankah ini jalan umum?" kata Ramandika balas melontar pertanyaan.Sontak, sikapnya itu mengundang emosi dari kedua pria tersebut. Sehingga salah seorang dari mereka langsung membentak keras, "Kurang aja sekali kau ini! Apakah kau sudah bosan hidup?"Meskipun Ramandika tidak memiliki keahlian ilmu bela diri yang mumpuni, dan juga tidak memiliki banyak pengalaman bertarung, namun dirinya sudah siap dalam menghadapi kedua orang itu.'Aku harus melawan mereka. Jika nanti aku kalah, maka aku harus
Seketika itu, Ramandika merasa cemas dengan kehadiran orang-orang tersebut. Ramandika curiga jika orang-orang tersebut bukanlah manusia biasa.Apa yang dia cemaskan memang benar-benar terbukti, hanya dalam sekejap mata saja, orang-orang tersebut sudah hilang dari pandangannya.Seketika itu, Ramandika baru sadar, ternyata ia sudah berada di tengah hutan yang rimbun dengan pepohonan. Tidak terlihat lagi rumah-rumah penduduk seperti yang ia lihat beberapa menit lalu. Bahkan sabana hijau yang sebelumnya ia lihat pun sudah tak ada lagi.Tempat itu hanya sebuah hutan belantara yang ditumbuhi banyak pepohonan besar. Walaupun demikian, sinar rembulan masih mampu menerobos dedaunan, sehingga Ramandika masih mampu melihat keadaan di sekitar hutan itu, meskipun samar-samar."Dugaanku ternyata memang benar, mereka tadi adalah bangsa jin. Semoga mereka tidak menggangguku," gumam Ramandika sambil mengusap wajah dengan telapak tangan kosong.Di hutan yang sepi dan sunyi seperti itu, orang-orang bias
Ki Ageng Penggir tersenyum lebar mendengar pertanyaan Ramandika, sejenak ia terdiam. Sikapnya itu, tentu membuat Ramandika penasaran saja."Kenapa, Aki tidak menjawab pertanyaanku? Apakah aku ini tidak layak menjadi muridmu?" tanya Ramandika menatap wajah pria paruh baya sang pemimpin padepokan tersebut."Siapa pun yang datang ke padepokan ini dengan niat sungguh-sungguh ingin belajar, aku pasti akan menerima dengan baik. Tapi ingat, kau harus bersungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu kanuragan yang akan aku ajarkan kepadamu!"Mendengar jawaban pria paruh baya itu, Ramandika tampak senang dan begitu bahagia. Ternyata perjuangannya yang rumit selama ini telah dibayar lunas dengan sikap baik Ki Ageng Penggir."Terima kasih banyak, Ki," ucap Ramandika sambil menjura hormat. "Mulai hari ini, aku akan memanggilmu guru," sambungnya penuh kebahagiaan."Ya sudah. Mulai besok, kau bisa langsung bergabung dengan murid-murid lainnya untuk berlatih," kata Ki Ageng Penggir tersenyum lebar. "Untuk
Meskipun sudah berteriak keras, tak ada sahutan dari Dendaka. Tempat tersebut tampak sunyi, seakan-akan hanya Ramandika saja yang berada di tempat itu.'Apa maksud Dendaka meninggalkan aku di tempat ini? Apakah mungkin, Dendaka berniat jahat terhadapku?' Ramandika bertanya-tanya dalam hati."Dendaka, di mana kau?" teriak Ramandika semakin penasaran, dua bola matanya terus bergulir mengamati sekitaran tempat tersebut.Namun, tak ada seorang pun yang menyahut teriakan Ramandika. Hingga pada akhirnya, Ramandika pun merasa lelah dan memutuskan untuk kembali ke padepokan."Rupanya Dendaka sengaja menipu dan mempermainkan aku," gumam Ramandika kesal. Kemudian, ia langsung melangkah hendak kembali ke padepokan.Namun, baru beberapa langkah saja Ramandika berjalan. Tiba-tiba datang serangan tak terduga, Ramandika jatuh tersungkur ketika kepalanya dihantam sebuah pukulan keras dari arah belakang.Seiring demikian, terdengar suara Somala dan Dendaka tertawa keras, "Hahaha ...!" Seakan-akan, mer
Sementara itu, Ramandika masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Ia terombang-ambing arus sungai yang lumayan deras. Namun setelah beberapa lamanya terbawa arus, tubuh Ramandika akhirnya tersangkut di sebatang kayu. Kemudian, ia ditemukan oleh seorang pria paruh baya yang kebetulan tengah mencari ikan di sungai tersebut.Pria paruh baya itu adalah Ki Warmala—seorang pendekar yang sudah lama mengasingkan diri bersama putranya di hutan itu. Kemudian, pria paruh baya itu langsung mengangkat tubuh Ramandika dan membawanya ke gubuk tempat tinggalnya yang tidak jauh dari sungai tersebut."Jayamanik!" teriak Ki Warmala setelah tiba di gubuknya."Iya, Rama," sahut Jayamanik bergegas keluar menghampiri ayahnya. "Siapa orang ini, Rama?" tanya Jayamanik setelah berada di hadapan ayahnya."Entahlah, Rama menemukan pemuda ini di sungai. Kemungkinan besar dia kebawa arus dari Pancara," jawab Ki Warmala. "Tolong bersihkan tubuh pemuda ini, dan ganti pakaiannya!" sambungnya memerintahkan putranya."Ba