Share

3. Tawaran

Jessie ingin memastikan sekali lagi bahwa yang barusan didengarnya adalah benar. Ia baru saja memasukkan berkas pendaftaran. Petinggi radio yang bernama Pak Burhan baru saja membaca berkas-berkas pribadinya. Tanpa banyak ditanya, tanpa melalui serangkaian tes, tanpa yang lain-lain, Pak Burhan bilang kalau Jessie diterima bekerja sebagai penyiar di Radio Siul.

Ini sungguhan?

“B –bagaimana, Pak?” Jessie terbata-bata mengajukan pertanyaan. Ia hanya ingin memastikan bahwa apa yang barusan didengarnya adalah benar. “Maaf, saya langsung diterima? Bekerja sebagai penyiar? Penyiar di Radio Siul ini?”

Sorot mata Pak Burhan yang teduh menatap Jessie dengan begitu serius. Kekehan tawanya yang merdu terdengar. “Apakah saya terlihat sedang bercanda?”

Mata Jessie mengerjap. Pak Burhan bertanya apakah sedang bercanda dengan tertawa. “Ti – tidak, Pak. Tapi, kan, maksudnya… masa tidak ada tes atau apa gitu?”

“Saya memang mencari pelamar yang ingin menjadi penyiar. Tidak perlu ada tes-tes yang rumit. Saya percaya mbak Jessie pasti mampu.”

Suara Jessie menciut. “Saya sama sekali tidak ada pengalaman menjadi penyiar, Pak.”

“Tidak apa-apa, Mbak Jessie. Mbak Jessie datang ke mari dengan membawa berkas-berkas yang dibutuhkan saat melamar, sudah menunjukkan tingkat keseriusan Mbak dalam melamar pekerjaan,” jelas Pak Burhan. “Bagaimana, Mbak? Apakah bersedia bekerja di Radio Siul sebagai penyiar?”

Jessie terdiam. Di dalam hatinya ia sungguh bimbang. Pada saat yang sama ia juga merasa aneh. Sebegitu mudah dan cepat ia diterima bekerja. Jangan-jangan ada yang aneh dengan Radio Siul?

Jangan-jangan saat ia siaran akan ditangkap lalu dijadikan tumbal saat pemujaan setan? Jangan-jangan ini bukan radio sungguhan tapi bangunan apa gituu yang digunakan sebagaik kedok kejahatan?

“Mbak Jessie sepertinya masih sulit percaya kalau sudah diterima kerja di sini, ya?” Pak Burhan kembali terkekeh. “Terlalu cepat pengumumannya?”

Jessie mengangguk.

“Baiklah, akan saya ceritakan sedikit tentang sejarah Radio Siul ini.” Pak Burhan meminta persetujuan Jessie. “Apakah Mbak Jessie tertarik untuk mendengarnya?”

Jessie kembali mengangguk.

“Saya ini penyiar radio kawakan, Mbak Jessie. Segala jenis radio, mulai dari yang kecil dan ada di daerah hingga radio metropolitan di kota besar sudah saya jajal semua. Ada keasyikan tersendiri saaat cuap-cuap menyapa penggemar yang ‘tak terlihat’.”

‘Tak terlihat’. Seketika tengkuk Jessie merinding. Apaka yang dimaksud tak terlihat di sini adalah makhluk halus? Sejenis dedemit dan setan yang gemar menakut-nakuti manusiaa??

Hah!? Masa Pak Burhan penyiar radio khusus untuk hantu-hantu gentayangan!?

“’Tak terlihat’ di sini maksudnya bukan hantu lho ya, Mbak Jessie,” tambah Pak Burhan. Seolah bisa mengerti ekspresi mulai ngeri yang muncul di wajah gadis muda di depannya. Maksud tak terlihat di sini adalah berjarak. Saya sebagai penyiar berada di studio, di belakang mikrofon, sementara para pendengar saya ada di luar sana. Di tempat dengan kesibukannya masing-masing.”

“Ohh iya, iya, Pak. Hehe…..” Jessie malu ketahuan kalau punya pikiran terlalu jauh. Gara-gara mimpi buruk semalam ia jadi parnoan. Semua yang berhubungan dengan Radio Siul selalu dikait-kaitkan dengan hantu.

“Saya menjadi petinggi di beberapa radio. Sudah sepuh begini lalu saya pensiun. Tiga tahun mencoba menikmati hidup, ternyata saya tak sungguh-sungguh senang. Hampir setiap hari terbayang tentang radio.” Pak Burhan melanjutkan penjelasannya. “Hingga suatu ketika seorang teman – dulu pemilik radio ini – menawari saya untuk membeli radionya. Sudah hampir bangkrut dan tidak beroperasi lagi. ‘Aku tahu di tanganmu, radio ini pasti bisa bertahan. Tidak perlu jadi besar, hanya bisa bertahan saja aku sudah senang’, begitu katanya pada saya.”

Jessie masih terus mendengarkan.

“Kawan saya ini juga penyiar radio kawakan. Kami berjuang bersama sedari awal. Ia sudah tua dan tak ada lagi tenaga untuk mengurus radio yang juga tua dan sudah banyak ditinggalkan pendengarnya. Saya setuju membeli radio ini, Mbak Jessie. Lalu, mengganti namanya menjadi Radio Siul.”

Jessie mengangguk-angguk.

“Nama Radio Siul saya peroleh dari sebuah lagu lawas tentang lagu. Gombloh, Mbak pernah mendengar nama penyanyi tersebut?”

Jessie menggeleng dengan perasaan malu. Ia tak begitu tahu banyak tentang penyanyi dan lagu-lagunya. Itu mengapa ia menjadi sangat heran bisa langsung diterima bekerja di radio ini.

“Mendiang Gombloh adalah penyanyi kawakan. Salah satu lagunya ada yang bercerita tentang radio. Salah satu liriknya ada yang berbunyi, ‘ku bersiul’. Nah, dari situlah saya mengambil penggalan lirik tersebut menjadi nama radio ini. Radio Siul,” jelas Pak Burhan.

Pak Burhan mencondongkan tubuhnya maju. “Nah, karena saya sudah menerima Mbak Jessie bekerja di sini, saya hendak mengajukan beberapa tawaran.”

“Y—ya. Tawaran apa itu, Pak?”

“Saya menawari Mbak Jessie memegang acara S.T.M. atau Siaran Tengah Malam. Mulai pukul sepuluh malam sampai pukul dua dini hari.”

Lagi-lagi tenggorokan Jessie terasa tercekat.

“Siaran dengan materi lagu-lagu barat yang sedang populer saat ini. Saya mempercayakan acara tersebut pada Mbak Jessie karena pasti lebih tahu daripada saya. Iya, kan?” pasti Pak Burhan masih dengan menyunggingkan senyumnya yang ramah.

Jessie mengembus napas lega. Ia belum tahu akan bagaimana acara itu dijalankan, tapi setidaknya ia tidak ditawari memandu acara setan-setanan. Siaran tengah malam dengan lagu-lagu barat yang sedang hits.

“Lima juta perbulan apakah terlalu sedikit, Mbak Jessie?” tanya Pak Burhan. Sungguh pertanyaan yang membikin Jessie hampir saja tersedak saking kagetnya. “Acara STM berlangsung Senin sampai Jumat saja. Mbak Jessie hanya cukup memandu acara tersebut. Selebihnya ada Sisil yang sudah memegang acara sendiri dan juga Reni yang bertugas mengawal playlist yang sudah diputar otomatis.”

Empat jam kerja, selama lima hari kerja dalam seminggu dengan gaji segitu? Jessie ingin cepat-cepat berteriak, “Ya, saya terima pekerjaan ini, Pak!” tapi ia harus jaim.

Jessie berdeham mengusir serak di tenggorokannya. “Bolehkah saya minta waktu untuk memikirkan tawaran ini, Pak Burhan? Saya sangat tertarik dan segera ingin bekerja. Tapi, saya harus menyelesaikan pekerjaan saya di tempat sebelumnya terlebih dulu.”

“Ah, iya. Ya, ya, ya.’ Pak Burhan mengangguk-angguk. “Saya sangat mengerti, Mbak Jessie. Silakan, dan memang sudah sepatutnya Mbak menyelesaikan pekerjaan lama hingga tuntas sebelum akhirnya pindah ke tempat baru. Biar semuanya sama-sama enak.”

“Betul, Pak.”

“Saya tidak akan menyerahkan tawaran ini pada pelamar yang lain, Mbak Jessie. So, take your time dalam menyelesaikan urusan pekerjaan lama. Semoga saya bisa segera mendengar kabar baik.”

Jantung Jessie berdegup kencang saking merasa begitu antusiasnya.

“Sebelumnya, maaf, Pak, saya ingin bertanya,” kata Jessie. “Saya sama sekali tidak punya pengalaman siaran. Pengetahuan musik saya pun cetek alias sedikit sekali. Apakah Pak Burhan masih yakin menyerahkan tawaran itu untuk saya?”

“Saya dulu pun juga begitu awam dengan dunia siaran, Mbak. Tapi semua bisa diatasi asalkan ada kemauan belajar yang tinggi. Apakah Mbak Jessie punya kemauan dan semangat belajar yang tinggi?”

Semangat belajar dengan gaji yang sedemikian tinggi? Ya, tentu saja, batin Jessie ingin menjerit-jerit tapi ia berusaha menahan diri.

“Ya, Pak,” jawabnya penuh semangat. Ia bisa belajar siaran. Mengenai jam kerja yang begitu malam dan larut, tak menjadi masalah. Selama ini ia kerap lembur, baik untuk urusan pekerjaan atau karena insomnia.

Jessie menjanjikan secepatnya akan memberi kabar. Pak Burhan mengangguk dan mengucapkan terima kasih.

“Gimana, Mbaakk?” sapa Sisil ketika Jessie keluar dari ruangan. “Sudah diterima kerja, kan? Enak lho, Mbak, kerja di sini. Santai banget. Pak Burhan orangnya baik. Kalau kita tidak bisa pasti akan diajari sampai mahir.”

“Saya masih perlu waktu untuk menimbang tawaran pak Burhan, Mbak,” jelas Jessie.

“Ahh, sudah terima aja! Pasti seneng kerja di Radio Siul!” bujuk Sisil.

Tawaran gaji besar dari Pak Burhan masih terus terngiang bahkan ketika Jessie sudah melajukan kendaraannya pulang. Wah. Ia bisa membayar kos dan menyisihkan banyak uang gajinya untuk ditabung dengan besaran bayaran yang segitu besarnya.

Jessie ingin membalikkan motornya dan menerima tawaran kerja itu sekarang juga. Tapi ia sudah diajari untuk menahan diri. Yaah, setidaknya biar tidak dicap gampangan lalu disepelekan dalam bekerja, lah, ya.

Tapi sungguh, ia sudah sangat berminat menerima tawaran bekerja sebagai penyiar di Radio Siul!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Deni Sopiandi
Ini pertama kalinya saya baca, langsung tertarik langsung menjadi supporter garis depan.. Semangat mbak nya, semoga dukungan kami menjadi salah satu penyemangat buat mbak nya untuk terus mengolah rasa di padanan kata dan kalimat nya dan menjadi sebuah karya.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status