"Bu Eni ditemukan, Bu Eni ditemukan!" Gema suara itu berpadu dengan riaknya air sungai. Bu Eni ditemukan tepat ketika lantunan azan Subuh berkumandang. Jasadnya terbaring kaku di tepi sungai, dekat gua. Si pria tua yang melakukan persembahan semalam, sengaja menyimpan korbannya di sana. Semua orang sontak mengucap syukur, tetapi berubah istigfar kala melihat keadaan jasad almarhumah. Salah satu warga menelepon Pak Lurah untuk mendekat ke perbatasan. Tak berapa lama, pria itu datang bersama Dokter Hendi. Tentu reaksi yang ditunjukan adalah sama. Tak peduli bagaimana keriputnya tubuh wanita itu—layaknya nenek-nenek berumur ratusan tahun, sang suami tetap memeluknya, menangisi kepergian Bu Eni dengan begitu menyayat hati. Semua orang yang berkumpul di tempat hanya bisa menunduk, turut merasa sedih dengan kejadian mengenaskan ini. Akhirnya Pak Lurah memanggil ambulance desa untuk ke lokasi. Sebagian sudah membubarkan diri karena akan melaksanakan salat Subuh. Menjelang pagi, ambulance
"Menurut Ibu, apa kematian Bu Eni ada hubungannya dengan kutukan yang dibawa Nilam?" tanya Teh Rita membuka percakapan setelah mereka pulang dari pemakaman. Bu Rahayu terdiam sejenak, mencoba merenungi apa yang terjadi dulu pada Nyai Kusuma dan kejadian yang menimpa Nilam. Sementara itu, Teh Rita menuang air panas pada cangkir berisi teh celup, memberinya sedikit gula. Satu gelas diberikan pada Bu Rahayu, satu gelas untuk dirinya.Bau khas dari teh Ciwalini menguar, memenuhi tempat mereka duduk. Teh Rita selalu punya langganan untuk pembelian teh, dikarenakan Bu Rahayu tidak bisa minun teh lain, selain dari Ciwalini. "Dulu pas Nyai Kusuma menghilang, gak ninggalin jejak apa-apa. Ya hilang, tapi gak seheboh sekarang. Mungkin sekarang mah karena banyak pihak yang coba ikut campur," jawab Bu Rahayu sembari mengambil tehnya, lalu menyeruput dengan perlahan. Sebenarnya, banyak hal yang ingin Teh Rita tanyakan pada Bu Rahayu. Lebih tepatnya, ingin bertanya tentang masa muda ibunya itu. S
Rahayu pulang dengan tergesa-gesa, berharap di rumah sudah ada Jaya yang menunggu karena memang pria itu sudah berjanji akan datang sore ini. Jaya akan berkunjung ke rumah Rahayu sebelum pergi ke surau untuk mengajar anak-anak. Beberapa hari yang lalu, Jaya mengatakan ingin membicarakan perihal persiapan pernikahan. Gadis itu terengah saat harus melompat, melewati genangan lumpur. Langkah kakinya nyaris tersandung, tetapi ia mampu menyeimbangkan badan. Rahayu terus berlari sampai ke pekarangan rumah. Bertambah gelisahlah perasaan Rahayu ketika Jaya belum bertamu."Bu!" panggil Rahayu dengan suara serak menahan tangis. Mendengar panggilan bernada cemas itu, Mak Dasimah yang sedang berada di dapur, segera menyongsong kedatangan putrinya. "Aya naon, Neng[Ada apa, Neng]?" Mak Dasimah turut khawatir melihat riak kegelisahan di wajah Rahayu. Ia bahkan mengira telah terjadi sesuatu pada Abah Yusman selama bekerja. "Bu, tadi Neng denger obrolan antara Juragan sama Kusuma," erangnya nyaris
Tiba hari pernikahan, yang akan dilakukan setelah Magrib—sesuai permintaan keluarga pria—di mana mereka melakukan penghitungan wedal antara kedua calon mempelai. Maka, ditemukannya waktu baik, jatuh pada jam Magrib menjelang Isya. Sedari siang, semua orang sibuk menyiapkan suguhan. Juragan Tardi mengerahkan warga untuk membantu segalanya. Yang paling terlihat syok adalah Abah Yusman, sebab ia seperti diberi kejutan oleh Juragan Tardi. Abah Yusman yang belum punya persiapan, tiba-tiba diberi dana dan bala bantuan dari sang majikan.Hanya saja, ada satu hal yang mengganjal di hati pria itu, ketika Juragan Tardi meminta Bah Yusman mengatur kepergian Rahayu setelah sah nanti. Sejujurnya, Bah Yusman dengan istrinya belum siap melepas kepergian Rahayu secepat ini. Begitu juga dengan Rahayu. Sedari pagi badannya sedang dilulur serta dipijat sebagai persiapan menyambut hari bahagia nanti malam. Selama proses pembersihan itu, Rahayu sibuk melamun. Ada dua rasa yang bersemayam di hatinya saat
Sepulang dari pemakaman Bu Eni, Basir yang sudah membersihkan diri kini menjadi perwakilan warga yang mendatangi Pak Lurah di kantor desa. Ia ingin membicarakan perihal kejadian di desa yang diyakini bahwa Pak Wahyu adalah penyebabnya. Dengan didampingi oleh Karim, keduanya sudah duduk di depan meja Lurah Agus. "Aya naon ieu teh? Mau bikin surat apa?" tanya Lurah Agus membuka jaketnya, lalu duduk di kursi yang bisa berputar 360 derajat.Karim dan Basir saling melirik. Tangan mereka menyikut satu sama lain. Akhirnya terpaksa Basir yang berbicara karena rekan di sebelahnya memberi tanda bahwa ia tidak berani mengatakan apa-apa. Takut salah, pikirnya. "Begini, Pak Lurah. Kayaknya desa kita teh mulai tidak aman. Lihat, kan, Bu Eni saja meninggal dengan tragis. Gimana nasib istri dan anak kita coba? Apa gak coba lapor pihak yang berwajib? Siapa tahu ulah manusia." Nada bicara Basir tampak menggebu. Kalimat demi kalimatnya diangguki oleh Karim.Lurah Agus menyandarkan punggungnya di kursi
Selepas tahlilan di rumah Bu Ajeng, para bapak-bapak mulai membubarkan diri. Kematian tak wajar almarhumah Bu Eni membuat suasana desa kian mencekam. Maka, meski jam masih terbilang sore, semua orang memilih pulang lalu menyepi di rumah masing-masing. Karim yang baru masuk rumah langsung mengganti pakaiannya. Pria itu sudah punya janji dengan Basir dan Pak Lurah untuk pergi ke rumah Pak Wahyu—melihat keadaan Nilam. Sebelum pergi, ia sempatkan memandangi kaca lemari, memperhatikan kain kasa yang menutupi bagian belakang kepala. "Mau ke mana udah rapi, Kang?" tanya Siti, istri Karim yang baru saja melahirkan anak kedua, sekitar empat bulan yang lalu. "Ke rumah Pak Wahyu. Ada urusan sama Pak Lurah," jawabnya sambil mengusap kasanya, membetulkan penutup luka yang kurang rapat. Untung saja kepalanya pelontos, jadi tidak terlalu ribet dengan rambut. "Kan kepala Akang teh masih sakit. Inget gak kata Bu Anggita tadi pas di klinik? Jangan dulu kena angin sama air!" cerca Siti. Kini ia sibu
Semua pertanyaan Ridwan mengingatkan Bagas pada kejadian di mana Hafiz pernah berbuat macam-macam pada Nilam secara mistis. Entah apa tujuannya, yang jelas pria itu selalu berkilah jika ditanya. Berawal dari suatu sore. Semua anak-anak Pak Wahyu berkumpul di rumah untuk makan bersama. Para wanita sibuk bercanda gurau di dapur, memasak serta menyiapkan hidangan penutup—termasuk minuman segar, permintaan dari Pak Wahyu. Keluarga masuk tenang, tentram. Nilam sibuk mengoceh tentang Aris yang melamarnya secara romantis. Memberi cincin, bunga, dan permintaan secara langsung kepada orang tua. Janji akan menikahi dengan pesta di sebuah hotel mewah. Sementara para pria, hanya mengobrol di ruang tamu, menyimak Pak Wahyu yang sibuk menceritakan pertandingan bola tadi malam. Hafiz lebih banyak merespons, sedangkan Bagas hanya sesekali menimpali karena dia tidak terlalu suka dengan acara olahraga. "Kang Hafiz, sini. Pasangin gas!" teriak Indah dari dapur. "Iya! Sebentar, Pak." Pria itu beranj
Cahaya api dari obor tampak meliuk-liuk kala tertiup angin. Penerangan dari batang bambu itu ditancapkan di beberapa sudut. Di sebuah ruangan gua, beberapa meter dari pintu masuk, Nilam dibaringkan pada tikar cokelat yang sudah digelar. Gadis itu hanya memakai samping (kain batik) yang melilit tubuhnya, memperlihatkan kulit yang tidak terlalu putih, tetapi bersih. Ruangan yang dipenuhi memiliki batuan lancip tak beraturan itu dinamakan Tatapan Siraja, di mana para sesepuh zaman dahulu menyucikan hati, diri, di ruangan tersebut. Sedari tadi siang, asisten Bah Padri yang lain sudah mempersiapkan segalanya untuk ritual malam ini. Sebuah gentong berisi mata air tujuh sumur diletakan di samping tubuh Nilam, lengkap beserta sesajen seperti; bunga-bungaan, dupa dalam kendi, ayam cemani, dan beberapa keris. Bah Padri sudah susuk bersila, membacakan mantra seraya menebar kemenyan pada arang yang menyala. Bah Padri memberi jampi pada tempatnya berada, memberi benteng agar tidak ada makhluk l