"Bukannya masuk ke sana harus nyalain obor, ya, supaya tahu ada orang yang sedang melakukan ritual. Tapi dilanggar?" tanya Bagas. Keduanya masih mencoba mengintip aktivitas orang tersebut. Bagas dan Ridwan mengendap masuk ke makam keramat, lantas kembali bersembunyi di balik pohon beringin yang paling besar—saking besarnya bisa menutup tubuh dua pria itu. Mereka masih mengintip aktivitas orang yang mereka untit, di mana ia tengah duduk bersila dengan telapak tangan yang saling menyatu. "Kayaknya emang sengaja, supaya gak ada orang yang tau," jawab Ridwan asal. "Bukannya malah risikonya lebih besar?" Kedua bahu Ridwan terangkat saat merespons ucapan Bagas. Sebenarnya Ridwan sudah gemas, ia menangkap orang tersebut. Namun, Bagas meminta sabar sejenak. Jangan terlalu gegabah, karena justru akan membahayakan diri sendiri. Menurut Bagas, tempat yang mereka datangi itu tempat yang dihormati oleh warga desa, maka celakalah jika sampai semena-mena. Sosok itu masih bersila di salah satu m
"Coba atuh WA lagi ke Pak Wahyu, Eni masih di situ, gak?" tanya Mak Ajeng pada Dokter Hendi, suaminya Bu Eni. Sudah hampir jam 11 malam, tetapi Bu Eni belum juga pulang. Padahal, setelah dinas di desa tadi, ia berpamitan akan ke rumah Pak Wahyu, setelah itu tidak ada tugas lagi. Kalaupun ada, Bu Eni selalu memberi kabar lewat telepon atau pun WA. "Sudah, Bu, Nur bilang dari sore udah pulang. Saya juga sudah telepon semua staf desa, tapi gak ada yang tau ke mana perginya Eni," jawab pria itu dengan wajah cemas. Sedari tadi pria yang berprofesi sebagai dokter itu mondar-mandir tidak jelas, berusaha menelepon nomor Bu Eni yang tidak aktif. Kalau saja Mak Ajeng tidak mengalami kelumpuhan, mungkin akan beliau susuk anak tercintanya, mencari ke semua sudut desa. Sayang, wanita itu hanya bisa duduk di kursi roda sembari mengusap pipinya yang basah oleh air mata. Entah mengapa perasaan Mak Ajeng sangat tidak enak, apalagi saat gelas di meja tiba-tiba saja pecah—tanpa ada angin. Dokter Hen
"Bu Eni ditemukan, Bu Eni ditemukan!" Gema suara itu berpadu dengan riaknya air sungai. Bu Eni ditemukan tepat ketika lantunan azan Subuh berkumandang. Jasadnya terbaring kaku di tepi sungai, dekat gua. Si pria tua yang melakukan persembahan semalam, sengaja menyimpan korbannya di sana. Semua orang sontak mengucap syukur, tetapi berubah istigfar kala melihat keadaan jasad almarhumah. Salah satu warga menelepon Pak Lurah untuk mendekat ke perbatasan. Tak berapa lama, pria itu datang bersama Dokter Hendi. Tentu reaksi yang ditunjukan adalah sama. Tak peduli bagaimana keriputnya tubuh wanita itu—layaknya nenek-nenek berumur ratusan tahun, sang suami tetap memeluknya, menangisi kepergian Bu Eni dengan begitu menyayat hati. Semua orang yang berkumpul di tempat hanya bisa menunduk, turut merasa sedih dengan kejadian mengenaskan ini. Akhirnya Pak Lurah memanggil ambulance desa untuk ke lokasi. Sebagian sudah membubarkan diri karena akan melaksanakan salat Subuh. Menjelang pagi, ambulance
"Menurut Ibu, apa kematian Bu Eni ada hubungannya dengan kutukan yang dibawa Nilam?" tanya Teh Rita membuka percakapan setelah mereka pulang dari pemakaman. Bu Rahayu terdiam sejenak, mencoba merenungi apa yang terjadi dulu pada Nyai Kusuma dan kejadian yang menimpa Nilam. Sementara itu, Teh Rita menuang air panas pada cangkir berisi teh celup, memberinya sedikit gula. Satu gelas diberikan pada Bu Rahayu, satu gelas untuk dirinya.Bau khas dari teh Ciwalini menguar, memenuhi tempat mereka duduk. Teh Rita selalu punya langganan untuk pembelian teh, dikarenakan Bu Rahayu tidak bisa minun teh lain, selain dari Ciwalini. "Dulu pas Nyai Kusuma menghilang, gak ninggalin jejak apa-apa. Ya hilang, tapi gak seheboh sekarang. Mungkin sekarang mah karena banyak pihak yang coba ikut campur," jawab Bu Rahayu sembari mengambil tehnya, lalu menyeruput dengan perlahan. Sebenarnya, banyak hal yang ingin Teh Rita tanyakan pada Bu Rahayu. Lebih tepatnya, ingin bertanya tentang masa muda ibunya itu. S
Rahayu pulang dengan tergesa-gesa, berharap di rumah sudah ada Jaya yang menunggu karena memang pria itu sudah berjanji akan datang sore ini. Jaya akan berkunjung ke rumah Rahayu sebelum pergi ke surau untuk mengajar anak-anak. Beberapa hari yang lalu, Jaya mengatakan ingin membicarakan perihal persiapan pernikahan. Gadis itu terengah saat harus melompat, melewati genangan lumpur. Langkah kakinya nyaris tersandung, tetapi ia mampu menyeimbangkan badan. Rahayu terus berlari sampai ke pekarangan rumah. Bertambah gelisahlah perasaan Rahayu ketika Jaya belum bertamu."Bu!" panggil Rahayu dengan suara serak menahan tangis. Mendengar panggilan bernada cemas itu, Mak Dasimah yang sedang berada di dapur, segera menyongsong kedatangan putrinya. "Aya naon, Neng[Ada apa, Neng]?" Mak Dasimah turut khawatir melihat riak kegelisahan di wajah Rahayu. Ia bahkan mengira telah terjadi sesuatu pada Abah Yusman selama bekerja. "Bu, tadi Neng denger obrolan antara Juragan sama Kusuma," erangnya nyaris
Tiba hari pernikahan, yang akan dilakukan setelah Magrib—sesuai permintaan keluarga pria—di mana mereka melakukan penghitungan wedal antara kedua calon mempelai. Maka, ditemukannya waktu baik, jatuh pada jam Magrib menjelang Isya. Sedari siang, semua orang sibuk menyiapkan suguhan. Juragan Tardi mengerahkan warga untuk membantu segalanya. Yang paling terlihat syok adalah Abah Yusman, sebab ia seperti diberi kejutan oleh Juragan Tardi. Abah Yusman yang belum punya persiapan, tiba-tiba diberi dana dan bala bantuan dari sang majikan.Hanya saja, ada satu hal yang mengganjal di hati pria itu, ketika Juragan Tardi meminta Bah Yusman mengatur kepergian Rahayu setelah sah nanti. Sejujurnya, Bah Yusman dengan istrinya belum siap melepas kepergian Rahayu secepat ini. Begitu juga dengan Rahayu. Sedari pagi badannya sedang dilulur serta dipijat sebagai persiapan menyambut hari bahagia nanti malam. Selama proses pembersihan itu, Rahayu sibuk melamun. Ada dua rasa yang bersemayam di hatinya saat
Sepulang dari pemakaman Bu Eni, Basir yang sudah membersihkan diri kini menjadi perwakilan warga yang mendatangi Pak Lurah di kantor desa. Ia ingin membicarakan perihal kejadian di desa yang diyakini bahwa Pak Wahyu adalah penyebabnya. Dengan didampingi oleh Karim, keduanya sudah duduk di depan meja Lurah Agus. "Aya naon ieu teh? Mau bikin surat apa?" tanya Lurah Agus membuka jaketnya, lalu duduk di kursi yang bisa berputar 360 derajat.Karim dan Basir saling melirik. Tangan mereka menyikut satu sama lain. Akhirnya terpaksa Basir yang berbicara karena rekan di sebelahnya memberi tanda bahwa ia tidak berani mengatakan apa-apa. Takut salah, pikirnya. "Begini, Pak Lurah. Kayaknya desa kita teh mulai tidak aman. Lihat, kan, Bu Eni saja meninggal dengan tragis. Gimana nasib istri dan anak kita coba? Apa gak coba lapor pihak yang berwajib? Siapa tahu ulah manusia." Nada bicara Basir tampak menggebu. Kalimat demi kalimatnya diangguki oleh Karim.Lurah Agus menyandarkan punggungnya di kursi
Selepas tahlilan di rumah Bu Ajeng, para bapak-bapak mulai membubarkan diri. Kematian tak wajar almarhumah Bu Eni membuat suasana desa kian mencekam. Maka, meski jam masih terbilang sore, semua orang memilih pulang lalu menyepi di rumah masing-masing. Karim yang baru masuk rumah langsung mengganti pakaiannya. Pria itu sudah punya janji dengan Basir dan Pak Lurah untuk pergi ke rumah Pak Wahyu—melihat keadaan Nilam. Sebelum pergi, ia sempatkan memandangi kaca lemari, memperhatikan kain kasa yang menutupi bagian belakang kepala. "Mau ke mana udah rapi, Kang?" tanya Siti, istri Karim yang baru saja melahirkan anak kedua, sekitar empat bulan yang lalu. "Ke rumah Pak Wahyu. Ada urusan sama Pak Lurah," jawabnya sambil mengusap kasanya, membetulkan penutup luka yang kurang rapat. Untung saja kepalanya pelontos, jadi tidak terlalu ribet dengan rambut. "Kan kepala Akang teh masih sakit. Inget gak kata Bu Anggita tadi pas di klinik? Jangan dulu kena angin sama air!" cerca Siti. Kini ia sibu