Pagi baru saja mendatangi hari saat aku tercenung sendiri di kamar mandi. Dari kejauhan terdengar merdu suara azan Subuh yang menentramkan hati. Saking syahdunya, air mata satu tetes jatuh di pipi. Apalagi pemandangan alat kecil di atas ubin kamar mandi itu sejenak menimbulkan haru.
Dua garis merah nan terang, positif. Aku sedang mengandung buah hati mas Kava.
Tentu saja napasku tertahan tak percaya. Untung saja terantisipasi dengan hasil dari alat yang satunya. Aku menoleh ke gelas satunya dan mendapati hasil yang sama. Dua bahkan lima alat kecil pipih itu tetap bergaris dua merah terang.
Aku hamil.
Jadi, inilah
Blak! Sebuah pintu kayu dibanting dengan kuat oleh dua buah tangan yang gemetaran. Bibir wanita ayu bermata lentik itu bergetar, berusaha dikatupkan erat, dan digigit kuat-kuat. Dia jua menempelkan punggungnya kuat-kuat pada pintu pembatas antara kamar dan ruang tengah rumah dinas itu. Matanya yang lentik perlahan menelurkan bulir bening tiga kali. Kini ada sebuah aliran air mata yang seperti sungai di pipi tembam itu. Wanita ayu itu sedang menangis. Pagi ini sebuah harapannya dipatahkan oleh sebuah kenyataan pahit. Dia kira anak bayi itu adalah sosok yang menyenangkan bila di dekatnya. Nyatanya, wanita ayu bernama Shanala itu merasa salah besar. Justru dia merasa tertekan saat harus menghadapi bayinya yang menangis keras. Suara tangisnya tetap tembus kendat
Januari 2017 Hujan tak pernah jemu mengguyur tanah Jakarta sejak pagi. Menambah dingin hawa di sekitarku. Sesekali kuelus kening yang lebam karena sebuah tonjokan, terasa sakit dan ngilu. Saat aku melihatnya di kaca, ada bercak kemerahan di sana. Pasti bekas lemparan botol kaca parfum. Namun, lagi-lagi aku diam dan menyerah. Sekarang bahkan hanya bisa menatap bulir air di kaca jendela kamar dengan perasaan kosong. Terasa sudah mati rasa, karena luka ini bukan sekali dua kali mampir. Berkali-kali sudah. Kutundukkan kepala ke atas meja belajar, terasa berat dan letih. Sebab baru menangis hampir setengah jam karena luka batin. Ditambah pukulan yang cukup keras tadi membuatku kesakitan. Sesekali menyesap kenyataan bahwa aku baru saja mengalami kesakitan lagi dari orang yang sama. Darinya, ibu kandungku sendiri. Brak!
“Bu … bukain pintunya … Nala takut petir,” rintihku sambil mengetuki kaca jendela. Aku sedang berada di luar rumah. Memandang ke dalam rumah melalui kaca jendela kamar. Suara tangisku kalah dengan suara air hujan yang menimpa genting. Kemudian petir menggelegar dan berhasil menakutiku lebih dalam. Lagi, kuketuk kaca lagi. Berharap ibu luluh. “Bu … tolong, Bu,” pintaku kelu sambil memandang dress bunga-bunga di badan – baju kesukaan saat aku masih duduk di kelas 1 SD. Berhasil. Ibu mendatangiku dengan langkah kuat. Meski wajahnya masih penuh marah, tapi kuyakin akan dibukakan pintu dan diizinkan masuk. Mana rela mendengar tangisan ketakutanku. Namun, ternyata …. “Diam di situ kamu! Renungi kesalahanmu!” bentak Ibu sambil memelototiku dari balik kaca. Kupandang wajah Ibu yang cantik dengan memelas. “Takut, Bu … bukain! Nala janji nggak nakal lagi. Nala nggak akan minta kuenya Mba
Sebuah ruang gelap terfokus pada nyala lampu gantung yang terang, aku sedang melihat seorang anak perempuan berkuncir pita merah sedang duduk di depan ibunya. Wajah si ibu tidak ramah, cenderung kejam dengan satu alis yang naik dan mulut mengerucut tajam. Padahal wajah si ibu bisa berubah sehangat sup ayam yang dia makan saat menghadapi gadis berambut pendek di sebelahnya. Bahkan si ibu menyuapi gadis berambut pendek itu dengan wajah penuh syukur. Kontras saat matanya kembali berkontak dengan si gadis berkuncir pita merah, langsung mencuram layaknya tebing. Ibu itu tampak benci gadis berkuncir merah, sayang pada gadis berambut pendek. Si ibu selalu membedakan keduanya berdasarkan standar absurd buatan dirinya sendiri. Entah itu apa, yang jelas si ibu tak ada baik-baiknya pada gadis berkuncir pita merah.
Dulu, setiap hari adalah hari yang buruk bagiku. Kenapa, sebab selalu menangis saat hari itu. Awalnya aku tidak mengerti buruk itu apa, sampai pada rasa sakit di badan yang memancing tangisku. Baru kusadari itulah rasa sakit, rasanya buruk sekali hingga membuatku takut. Bahkan, untuk tidur saja aku takut – ibu nanti datang ke mimpiku. Setiap kali bapak pergi bekerja, kejadian buruk itu langsung dimulai. Ibu menjadi sosok yang sangat berbeda bila hanya ada aku dan mbak Vanya. Baru saja aku senang bermain boneka, datang ibu yang marah karena aku terlalu berisik. Baru saja aku senang bermain masak-masakan, datang ibu yang marah dan membuang semua mainanku. Tak lupa beberapa buah cubitan mendarat di kulitku. Berakhir dengan aku yang menangis sambil menutup mulut biar ibu tidak makin terganggu. Ibu sangat suka melihatku menangis, mungkin menurutnya lucu. Namun, semenjak mengambil keputusan besar di
“Seorang anak tetap suci, Shana. Sekalipun ibumu membenci kehadiranmu, Bapak sangat menyayangimu seperti Vanya.” Suara bapak terngiang lagi di benakku. Berulang-ulang hingga sepuluh kali lebih. Kusadari bahwa bapak adalah malaikat yang tak bersayap, lebih layak disebut seperti itu. Sehebat itu hatinya bisa menerima anak hasil zina yakni aku. Bahkan, berapa kali bapak pasang badan untukku, membelaku di depan ibu. Bahkan, bapak pergi setelah membelaku. Wajar tak mau hidup dengan ibu. Bisa memaafkan ibu saja sudah luar biasa. Dan tadi aku telah menyakiti bapak untuk kesekian kalinya. Aku pergi meninggalkannya saat bapak masih ingin memelukku. Sebab aku terlalu hina untuk disentuh bapak. Aku hanyalah penghancur rumah tangganya. Sebab karena aku rumah
Bu Rasmina tertawa pongah sambil menatap wajah kosong Nala. Ibu paruh baya itu bahkan tak menurunkan pandangan sombongnya sambil melipat tangan di depan ruangan crew centre. Entah apa alasannya cepat-cepat datang ke tempat kerja Shanala setelah mendapat info dari mantan suaminya. Mungkin untuk sekedar menengok putri bungsunya, atau hanya ingin menghancurkan kehidupan si bungsu yang tak pernah indah. “Jangan di sini!” larang Nala dingin sambil berjalan keluar. Niatnya mengusir sang ibu dari depan ruang crew centre agar mereka leluasa berdebat atau sekedar melepas emosi. Nala tak mau makin merusak namanya di tempat itu. Meski masih tinggi hati, bu Rasmina mengekori Nala. Mereka sampai di sebuah kafe bandara yang sepi dan sedikit temaram. Sepertinya suasana cocok untuk berdebat panas melepas “rindu pahit”. “Mau apa, Bu?” Sapaan Shanala lebih kepada sebuah sindiran tajam. Apalagi mata sembabnya seolah badai yang siap menerjang siapa saja. Bu Rasmina berde
Lelaki bertubuh tinggi berkulit putih itu terlihat gusar. Berulang-ulang dia mengetukkan sepatu PDL hitam tebalnya ke lantai sambil menggigiti jemari. Kadang dia melongok pada arloji di tangan kirinya dan kembali mondar-mandir dengan bingung di depan sebuah ruang. Hatinya berada di ambang cemas dan gusar karena memikirkan nasib seseorang. Kava tak bisa tenang, sangat teramat cemas dengan sesekali melongok ke arah pintu ruang crew centre Sentani Airport. Sesekali menggigit bibirnya karena pintu itu tak kunjung terbuka. Dia memikirkan nasib Shanala yang tadi ditandu keluar dari lavatory pesawat dalam kondisi pingsan, lalu dibawa ke ruang itu. Kava cemas berbalut rasa sesal. Penyesalannya cuma satu, kenapa dia tadi tak menolong gadis itu. Andai saja dia lebih berani melangkah tadi. Entah bagaimana cerita bisa berubah secepat ini. Awalnya rasa di hati cuma penasaran karena kecantikan Nala dan seny