Share

Bab 2

Semua orang yang ada di ruangan itu menengok ke arah pintu.

Sontak, suasana jadi hening.

Reina melirik Maxime, tatapan pria itu begitu jernih, jelas dia sama sekali tidak mabuk.

Reina sadar dia sudah ditipu Marshanda.

Saat Maxime melihat sosok Reina, bola matanya yang gelap pun menegang.

Sedangkan Jovan dan yang lainnya yang barusan mendukung Maxime untuk menerima perasaan Marshanda, semua tersenyum canggung.

Harusnya Reina tidak datang.

"Nana, jangan salah paham. Jovan cuma bercanda, sekarang Max dan aku hanya teman biasa."

Marshanda-lah yang pertama kali memecah ketenangan.

Sebelum Reina sempat menjawab, Maxime yang kehilangan kesabaran sudah berdiri lebih dulu.

"Nggak perlu menjelaskan apa pun padanya."

Setelah itu, Maxime berjalan ke depan muka Reina dan bertanya, "Mau apa ke sini?"

"Kupikir kamu mabuk, jadi aku datang untuk menjemputmu pulang," jawab Reina jujur.

Maxime mencibir, "Sepertinya kamu nggak ingat sepatah kata pun yang kukatakan, ya."

Maxime mengecilkan suaranya sehingga ucapannya hanya bisa didengar Reina dan Maxime.

"Kamu datang untuk mengingatkan semua orang bahwa tiga tahun lalu aku sudah ditipu olehmu? Kamu pikir mereka sudah lupa kejadian itu?"

Reina terhenyak.

Maxime menatap dengan dingin, "Nggak usah menampakkan diri untuk membuat orang lain sadar akan keberadaanmu, sikapmu ini hanya membuatku semakin membencimu!"

Setelah berkata demikian, Maxime pun balik badan dan pergi meninggalkan Reina.

Reina menatap kosong sosok Maxime dari belakang untuk waktu yang cukup lama.

Para anak orang kaya yang ada di ruang privat itu menatap Reina yang dicampakkan Maxime tanpa simpati sedikit pun.

Jovan yang doyan memprovokasi pun tidak menahan diri dan berkata pada Marshanda yang pura-pura terlihat sedih, "Marsha, kamu ini jadi orang jangan terlalu baik. Apa yang perlu dijelaskan?"

"Kalau bukan karena ditipu Reina, Kak Max pasti akan menikahimu. Kamu jadi nggak perlu pergi jauh ke negara lain dan menjalani kehidupan yang sulit."

Telinga Reina berdengung, tetapi semua perkataan itu terdengar jelas di telinganya.

Reina yang paling mengerti situasi ini.

Terlepas dari Maxime akan menikah dengannya atau tidak, yang jelas dia tidak akan menikahi Marshanda yang tidak berasal dari keluarga mana pun.

Marshanda juga sadar akan fakta ini, itulah sebabnya dia memutuskan untuk putus dengan Maxime dan mengadu nasib di negeri orang.

Namun, kenapa akhirnya semua ini jadi salah Reina?

Sambil membawa payung, Reina berjalan keluar dari Sobernica dan merasa dirinya diselimuti kegelapan.

Tiba-tiba, seorang wanita cantik menghampirinya .... Itu Marshanda!

Malam ini Marshanda sangat cantik, dia mengenakan sepatu hak tinggi dan terlihat sangat bangga.

"Malam ini dingin banget, ya. Bagaimana rasanya datang mencari Max, eh malah diejek olehnya?"

Reina mendengar perkataan Marshanda, tetapi tidak menjawab.

Marshanda juga tidak peduli dan terus bicara.

"Kamu ini kasihan sekali. Sampai sekarang kamu nggak pernah merasa dicintai, 'kan? Apa kamu tahu, dulu waktu Max bersamaku, dia mau memasak untukku bahkan langsung bergegas menemaniku di rumah sakit waktu aku sakit ...."

"Reina, apa Max pernah bilang dia mencintaimu? Haha, padahal waktu denganku dulu, setiap hari dia bilang dia mencintaiku."

Reina mendengarkan dalam diam sembari mengingat kembali waktu tiga tahun yang dia habiskan bersama Maxime.

Maxime tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di dapur.

Waktu Reina sakit, tidak ada sepatah kata perhatian yang terlontar dari mulut Maxime.

Apalagi kata 'cinta', tentu tidak ada kata ini di kamus Maxime.

Malamnya, Reina tidak bisa tidur.

Ternyata pria yang dicintainya selama 12 tahun ini pernah sangat mencintai wanita lain dengan tulus.

Di saat seperti ini, Reina rasanya ingin menyerah saja.

Keesokan harinya ....

Maxime akhirnya pulang dan menatap Reina dengan sangat dingin.

"Ternyata seenggan itu kamu berpisah dengan uang Keluarga Sunandar? Kamu nggak mau sampai kehilangan aku, Maxime si mesin penghasil uang ini, 'kan!"

Reina tertegun dan bertanya-tanya apa yang terjadi pada Maxime hari ini. Reina pun menjelaskan, "Aku nggak pernah minta uang ke kamu."

Yang ada di mata Reina adalah sosok Maxime seorang, bukan hartanya.

Maxime tersenyum menghina.

"Lalu, kenapa pagi-pagi sekali ibumu datang ke kantorku dan memohon padaku supaya kamu bisa hamil?"

Reina bingung.

Dia menatap bola mata hitam Maxime yang begitu dingin, barulah Reina sadar kalau pria ini bukan memperkarakan masalah semalam.

Maxime tidak ingin buang waktu lebih lama dan langsung pergi setelah berkata, "Reina, kalau kamu mau tetap menjadi anggota Keluarga Sunandar dan Keluarga Andara nggak bangkrut, suruh ibumu tenang sedikit."

...

Reina baru saja mau pergi mencari ibunya, ternyata ibunya sudah mendatangi Reina duluan.

Tidak seperti biasanya, Treya yang sedari dulu terlihat dingin kali ini datang dengan cemas. Dia langsung menggenggam tangan Reina dan berujar dengan lembut, "Nana, cepat pergi memohon pada Max supaya dia mau punya anak denganmu. Lewat prosedur bayi tabung juga nggak apa-apa."

Bayi tabung?

Reina menatap ibunya dengan tatapan kosong dan mendengarkan ocehan ibunya.

"Marshanda sudah memberitahuku, ternyata selama ini Max sama sekali nggak pernah menyentuhmu?"

Kalimat ini rasanya langsung menelan habis perasaan yang tersisa di hati Reina.

Reina tidak paham untuk apa Maxime memberi tahu Marshanda tentang hal ini.

Mungkin karena pria itu benar-benar mencintainya ....

Begitu terpikir akan hal ini, tiba-tiba Reina merasa lega.

"Bu, sudahlah."

Treya tertegun dan mengernyit, "Apa?"

"Aku lelah, aku mau bercerai saja ...."

"Plak!"

Sebelum Reina selesai bicara, Treya sudah lebih dulu menampar wajah Reina dengan keras.

Citranya sebagai seorang ibu yang penuh kasih sudah sirna, dia menunjuk Reina dan berkata, "Berani sekali kamu minta cerai? Memangnya kamu siapa? Kamu mau meninggalkan Keluarga Sunandar? Kamu pikir siapa pria bodoh yang akan menikahi wanita cacat dan bekas sepertimu?"

Tubuh Reina terasa mati rasa.

Sejak kecil, Treya memang tidak pernah menyayangi putrinya.

Treya adalah seorang penari terkenal.

Namun, Reina yang terlahir dengan gangguan pendengaran adalah momok dalam hidupnya.

Oleh karena itu, Treya tega membiarkan putrinya tumbuh dalam perawatan seorang pengasuh. Dia baru memanggil Reina pulang ke Keluarga Andara waktu Reina cukup umur untuk masuk sekolah.

Dulu kata orang, seorang ibu tidak mungkin tidak menyayangi anak-anaknya.

Jadi, Reina berjuang keras untuk menjadi yang terbaik sehingga bisa menyenangkan ibunya.

Meski memiliki gangguan pendengaran, di sekolah Reina menduduki peringkat atas dalam pelajaran tari, seni musik, sastra dan bahasa, seni lukis, serta pelajaran lainnya.

Namun, sepintar apa pun Reina di sekolah, ibunya tidak pernah menyayanginya.

Seperti kata Treya tadi, Reina adalah orang cacat.

Yang cacat bukan hanya secara fisik, tetapi juga dalam urusan keluarga dan percintaan ....

Setelah Treya pergi, Reina menutupi bekas telapak tangan merah yang terjiplak di wajahnya dengan bedak, lalu mengemasi barang-barang pribadinya dalam diam.

Selama tiga tahun pernikahan, harta pribadinya hanya barang-barang di koper ini.

Setelah selesai, Reina mengumpulkan keberanian dan mengirim pesan pada Maxime.

"Apa malam ini ada waktu? Ada yang mau kubicarakan."

Maxime tidak membalas pesannya.

Tatapan Reina meredup, dia tahu sekarang Maxime bahkan tidak sudi membalas pesannya.

Akhirnya, Reina hanya bisa menunggu Maxime pulang.

Dia pikir malam ini Maxime tidak akan kembali.

Namun, tepat pukul 12 malam, pria itu pulang.

Reina tidak tidur, dia menghampiri Maxime dan dengan terampil membantu sang suami melepaskan mantel dan membawakan tasnya.

Serangkaian tindakannya ini sangat mirip dengan pasangan pada umumnya.

"Lain kali, jangan sembarangan mengirimiku pesan."

Suara dingin Maxime memecah keheningan.

Tangan Reina gemetar saat dia menggantungkan mantel Maxime, lalu dia bergumam, "Oke, nggak lagi."

Maxime tidak menyadari ada yang salah dalam nada bicara Reina, dia langsung pergi ke ruang kerja.

Selama ini, setiap kali pulang Maxime selalu menghabiskan waktu di ruang kerjanya.

Mungkin dalam persepsi Maxime, dunia orang tuli itu sunyi.

Atau mungkin dia sama sekali tidak peduli pada Reina.

Oleh karena itu, sesampainya di ruang kerja, Maxime lanjut bekerja dan mendiskusikan urusan bisnis termasuk tentang cara mengakuisisi Grup Andara ....

Seperti biasa, Reina membawakannya semangkuk sup. Dia bisa mendengar Maxime yang sangat antusias mendiskusikan cara untuk mengakuisisi perusahaan ayahnya. Perasaanya tidak bisa dijelaskan.

Reina sadar adiknya itu tidak berguna dan suatu hari nanti Grup Andara pasti akan diambil alih seseorang. Hanya saja, dia tidak menyangka orang yang paling cepat bertindak adalah suaminya sendiri.

"Max."

Sebuah suara menginterupsi diskusi Maxime.

Maxime tertegun. Entah karena merasa bersalah atau alasan lain, dia langsung menutup telepon dan laptopnya.

Reina pura-pura tidak memperhatikan gerak-gerik Maxime. Dia masuk dan meletakkan sup itu di hadapan Maxime.

"Max, cepat istirahat setelah minum sup ini. Kesehatan lebih penting."

Entah kenapa, hati Maxime yang awalnya tegang menjadi rileks saat dia mendengarkan suara lembut Reina.

Sepertinya Reina tidak mendengar rencananya tadi.

Mungkin karena merasa bersalah, Maxime menghentikan Reina yang beranjak pergi.

"Tadi katanya ada yang mau kamu bicarakan? Ada apa?"

Reina pun menoleh dan berujar dengan lembut, "Aku mau tanya apa siang nanti ada waktu? Aku mau mengurus surat perceraian."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status