Hai, semuanya. Terima kasih sudah bertahan baca sampai sini, ya. Big love and hug. Maaf, aku slow banget updatenya. Kuharap semuanya selalu sehat, rejekinya lancar, dan senantiasa dilimpahi damai sejahtera, serta sukacita. Sampai ketemu di chapter berikutnya. :)
Netra biru itu melebar sekilas. Ia menatapku tidak percaya. Lebih tepatnya, ia terlihat seperti tidak menyangka kalau aku akan mengaku secepat ini. Tepat ketika Zean mengalihkan pandangan sambil menghela napas panjang, aku sudah mulai menyiapkan hati untuk omelan yang lebih panjang. "HAHAHAHA!" Bukannya omelan, yang terdengar setelah helaan napas yang dramatis itu justru tawa lepas Zean. Otomatis, dahiku langsung mengernyit. Tak kuasa, aku menatap Zean heran separuh bingung. Bukankah tadi dia sedang marah? Kenapa sekarang Zean malah tertawa? Memangnya ada yang lucu? Sayangnya, alih-alih menjawab keheranan yang terpancar di wajahku, si tampan di layar gawaiku itu malah menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ekspresinya menunjukkan seolah ia sedang berusaha keras menahan tawa saat netra birunya menatapku. Yang lebih parah, tawa Zean tidak juga berhenti setelah lima detik penuh, meskipun tawanya sudah agak reda. Wah! Ini benar-benar rekor! Pasalnya, Zean yang aku kenal selama ini
Dear Zean, Kalau kamu sudah baca surat ini, artinya aku sudah pergi jauh atau rencana yang sudah lama kususun gagal total. Sebelumnya, aku mau minta maaf. Aku yang sudah sembilan belas tahun ini masih saja bersikap egois seperti anak kecil. Parahnya, aku masih sering melibatkanmu dalam masalahku. Seperti sekarang. Aku nggak tahu apakah keluargaku sudah memberitahumu alasanku pergi saat kamu membaca surat ini. Namun, yang pasti, tidak ada yang salah darimu, Zean. You're so perfect with who you are. It's just me. Aku pergi dengan alasan klasik yang
R<3 : Posisi? Sarapan di cafe depan kampus. Wanna join? R<3 : Sorry, not today. 5 menit lagi ada kelas. Sarapan sendirian? Setelah ini kamu masih ada kelas? Kelasnya cuma pagi ini aja. Quiznya Pak Fadil pula. Huhuhuhu :''( R<3 :
"Finish your breakfast first."Tuh kan! Spontan, aku berdecih. Mataku menyipit, menatap Zean sebal."Stingy!" olokku lirih sambil kembali menyantap pancake yang baru kumakan sesuap. Dua detik kemudian, gawaiku kembali berdenting. Lagi dan lagi. Sayangnya, Zean masih tampak tidak peduli."Pesannya dari siapa?" tanyaku setelah menelan makanan dalam mulutku. Setidaknya, separuh pancake di atas piringku sudah
"Vouchers."Dahiku berkerut heran. "Vouchers?"Zean mengangguk. "Wishing vouchers. Three is enough."Mataku ⎼yang kata orang sudah sipit⎼ makin menyipit, menatap Zean curiga. Bagaimanapun, biasanya kupon keinginan itu inisiatif pemberi. Bukan request penerimanya."Kamu nggak akan minta yang aneh-aneh, 'kan?"Pemuda itu menggeleng. Kali ini bibirnya membentuk cengiran jahil.
Tuh, kan.Meski pencahayaannya remang-remang, aku masih bisa mengenali mobil mewah di luar jendela sisi kananku sebagai city car kesayangan Zean. Itu artinya, kami sudah sampai tujuan, dan kedua saudaraku itu benar-benar merealisasikan prasangkaku sebelumnya. Bahwa mereka tidak akan membangunkanku saat sudah tiba. Yang tidak kusangka, mereka benar-benar meninggalkanku di dalam mobil yang sudah diparkir di dalam garasi.Pintar sekali. Kalau begini, tidak ada yang akan tahu kalau aku masih terlelap di dalam mobil. Kecuali, jika ada yang mau berjalan jauh ke dalam garasi kediaman Kanatta yang sudah seperti showroom mobil mewah di basement
"Anna." Zean tiba-tiba menahan sikuku saat kami tengah menyusuri ruang tengah kediaman Austin Kanatta yang megah. Saat aku menoleh ke arahnya, Zean menatapku cemas bercampur ragu. Ia tetap diam, tetapi matanya sesekali melirik ke arah kak Naki dan Chris, seolah menunggu keduanya mencapai ruang makan terlebih dahulu. Begitu kedua saudaraku benar-benar dalam radius yang cukup jauh untuk menguping, aku mencoba bertanya, "Ada apa, Zean?" Pemuda yang mengenakan kemeja putih dengan dua kancing teratasnya dibuka dan lengan yang dilipat hingga siku itu menggaruk tengkuknya gugup. Tidak biasanya Zean seperti ini. "Ehm ... ini tentang kado ulang tahunku," jawabnya masih terlihat ragu. "Oh, kontrak itu? Kenapa?"
"Ian memang cemas setengah mati saat Jessica kecelakaan setelah basket summer camp-nya. Tetapi, jauh di lubuk hatinya, aku yakin kalau Ian bahagia karena kecelakaan itu membuat Jessica tidak bisa lagi bermain basket." Aku seketika terdiam. Sejujurnya, aku kesulitan mencari sisi positif dari cerita daddy Austin barusan. Karena sebagai sesama pecinta basket, juga dengan pengalamanku dengan "olahraga dan Papa", aku otomatis tidak menyukai kenyataan itu. Terlepas dari itu memang kenyataan yang ada, atau hanya kesimpulan yang diambil oleh daddy Austin. Karena secinta apapun papa pada mama, tetap saja itu terdengar sangat egois.