Raga sedang dalam perjalanan pulang, dan dia hampir sampai. Setelah mobil berhenti, Raga membiarkan supir membuka pintu mobil untuknya. Dia melangkah turun dan berjalan masuk ke dalam rumah. Sore itu, rumah Raga sepi. Hanya ada beberapa asisten rumah tangga yang menyambut. Ayah dan Ibu Raga pasti masih sibuk di kantor, begitu juga kakeknya. “Raga,” panggilan dari sebuah suara yang berat membuat Raga menoleh. Raga mendapati Heri, sang kakek, berdiri di depannya menyambut. “Kakek? Tumben sudah pulang? Raga kira Kakek masih di kantor.”Heri menggeleng. Dia berjalan mendekat, menepuk lengan Raga lembut. “Mana bisa Kakek duduk tenang di kantor saat cucu kesayangan Kakek dalam bahaya?”Heri sudah mendapatkan kabar dari Gavin. Putranya itu telat memberikan berita tentang penyerangan Raga. “Ayahmu harusnya mengatakan pada Kakek sejak awal. Dia mencoba mengurusnya sendiri, membuat Kakek merasa kesal.”Raga hanya tersenyum tipis, lalu mengajak Heri duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Ra
Sofa di ruang tamu tidak terasa empuk lagi untuk Raga. Tekanan dari Heri membuat Raga tidak nyaman. Pembicaraan tentang perusahaan, juga dirinya yang ditunjuk menjadi penerus, selalu berhasil membuat Raga pusing. “Apa Kakek tidak berniat memilih penerus lain saja? Ayah? Atau Paman?” Siapa saja asal bukan Raga. “Tidak ada yang secemerlang kamu, Cucuku.” Jika ditanya tentang pilihan, tentu saja Heri punya. Tapi jika Raga mampu, kenapa harus memilih yang lain? “Tapi Raga belum memiliki pengalaman apapun, Kek.” Raga tak mau masuk ke dalam wilayah yang dia tidak pahami. Tidak tanpa pengetahuan atau persiapan. “Karena itu Kakek memintamu untuk masuk sebagai pegawai. Kamu bisa langsung belajar dalam perusahaan, Raga!” Raga membawa kata pengalaman agar Heri berpindah haluan. Dia mau Heri memilih calon pewaris lain yang lebih kompeten. Tapi Heri sudah menetapkan pilihannya pada Raga. Tak bisa ditawar lagi. “Untuk sekarang, Raga belum bisa.” Susah payah Raga memberi penolakan. “
Di dalam sebuah kontrakan sempit, Amira berteriak kesal. Amira membanting handphone yang ada di tangannya ke atas kasur lipat kusam yang sedang dia duduki. “Dasar Tuan Muda enggak ada kerjaan!” Gerutu Amira tanpa henti. “Gue ini sibuk! Gue enggak bisa santai kayak sultan macam elo!” Dengan bibir yang terus mengomel, Amira membuka buku catatan keuangannya. Dia meneliti sisa uang yang dia miliki sekarang. “Duitnya enggak cukup,” ucap Amira lelah. Amira sudah menghitung berkali-kali, tapi jumlah isi rekeningnya itu minus. “Padahal gue udah berhemat setengah mati, tapi duitnya tetep aja kurang!” Jari Amira menunjuk deretan angka yang ada dalam tabel yang sudah dia buat. Angka tersebut diberi garis tebal-tebal. “Gue masih harus sekolah lebih dari setahun! Ini gimana jadinya kalau duit makan aja nggak ada!” Amira tidak mempunyai harta lain. Sebelum pindah ke kota, Amira sudah menjual semua barang, termasuk rumah peninggalan orang tua dan neneknya. Sengaja, Amira tidak membiar
Raga menyambut hari baru dengan alis tertaut. Di meja makan, orang tuanya, Gavin dan Andini, serta kakeknya, Heri, duduk berkumpul. Biasanya, mereka sibuk dengan urusan masing-masing, tak pernah ada yang sempat untuk sarapan bersama. Langkah Raga seketika ragu. Dia merasa ada sesuatu yang akan terjadi pada sarapan kali ini. “Duduk, Raga.” Teguran Heri membuat Raga tak jadi melangkah mundur. Dia terpaksa mengangguk, lalu mendaratkan bokongnya di atas kursi, duduk di antara keluarganya. “Selamat pagi, Kakek.” Raga menyapa Heri yang tampil rapi seperti biasa. Dengan setelan jas berwarna abu-abu gelap, Heri terlihat berwibawa. Sosok pemimpin melekat sempurna dalam dirinya. “Selamat pagi, Ayah.” Raga kemudian beralih pada Gavin, ayahnya. Hari ini Gavin memilih setelan jas navy dengan model yang lebih modern. Gavin pandai menyesuaikan pakaian dengan umurnya yang belum terlalu tua. “Selamat pagi, Ibu.” Andini menjadi orang terakhir yang Raga sapa. Ibunya tampak elegan dengan b
Raga berjalan keluar dari ruang makan di kediaman keluarga Wijaya dengan perasaan mendongkol. Setiap langkah yang dia ambil terasa berat, seperti ada beban yang mengganjal di dadanya. Sarapan yang harusnya mengenyangkan perut, malah menyisakan pahit yang tak bisa hilang. Kedua kaki Raga membawanya ke tempat parkir. Supir sudah menunggu di sana, dengan mobil yang akan mengantarnya. Raga membiarkan supir itu membukakan pintu untuknya. “Selamat pagi, Tuan Muda!” Sapaan yang hanya dibalas sekilas oleh Raga. Dia memasang wajah cemberut dengan dahi menekuk. Jari Raga menunjuk, memberikan perintah. “Jalan cepat!” Ujar Raga penuh emosi. Mobil pun melaju di jalan yang lengang. Lalu lintas tampak tidak mau mencari masalah dengan Raga. Tanpa kemacetan atau hambatan apapun, Raga tiba di sekolah. Kedua kaki Raga melangkah gontai, masuk ke dalam gedung Laveire, sekolah baru Raga, yang entah kenapa tidak ingin dia tinggalkan begitu saja. Mungkin karena suasananya, mungkin karena lingkunga
Raga menoleh. Tatapannya menyapu seisi kelas. Pandangan teman-temannya serasa menusuk, seakan-akan dia baru saja melakukan kesalahan besar. Harga diri Raga tercoreng. Amira sungguh keterlaluan! Raga Kendrick Wijaya, seorang pewaris dalam keluarga Wijaya. Sejak lahir, Raga sudah mendapatkan semua yang dia inginkan, barang mewah, uang yang tak terbatas. Segala fasilitas tersedia untuknya, termasuk deodoran! Bisa-bisanya, seorang Raga yang seperti itu disebut bau ketiak oleh Amira! “Heh!” Raga berteriak keras. Wajahnya merah menahan amarah. “Ini kedua kalinya elo ngomong sembarangan tentang gue!” Pertama adalah saat Amira menyebut Raga sebagai cowok genit, dan yang kedua adalah saat ini. Amira berjengit. Tatapan tajam juga suara dingin Raga mampu membuatnya menciut sesaat. Tapi Amira menutupinya dengan sangat baik. “Salah lo!” Amira menunjuk lehernya kesal. Ada bekas merah di sana. “Gue hampir mati tadi!” Raga mengernyit. Dia melihat jejak tangan besarnya di sana. Tanpa Raga sad
Heri menatap dinding di depannya sambil melamun. Jam pulang kantor sudah dimulai sejak tadi, tapi Heri masih betah duduk di ruangannya tanpa melakukan apa-apa.“Hubunganku dengan Raga memburuk,” gumam Heri pelan, bicara pada dirinya sendiri.Tangan Heri perlahan terulur, meraih bingkai foto yang ada di atas meja. Dalam foto itu, ada dirinya, Gavin, Andini, serta Raga kecil yang tampak begitu polos.Heri tersenyum, tapi senyum itu perlahan pudar, digantikan oleh tatapan penuh penyesalan. “Padahal dia cucu kesayanganku,” bisik Heri, dengan tatapan yang mulai berkaca-kaca.Tak pernah terpikirkan oleh Heri tentang waktu dimana Raga akan menentangnya. “Aku rasa, dia benar-benar tidak menyukai ideku.”Suara Heri terhenti, seakan-akan kata itu terlalu sulit untuk untuk dia ucapkan. Helaan napas Heri terdengar berat. Heri tak pernah merasa sekecewa ini. Ketegangan yang terjadi antara dirinya dengan Raga semakin pelik. “Mungkin, ada waktunya aku tidak boleh terlalu memaksa.”Heri sadar jik
Hari ini Raga bangun terlambat. Dia yang biasanya bersemangat untuk berangkat ke sekolah, mulai kehilangan motivasi. Raga teringat pada Amira yang bertengkar hebat dengannya kemarin. Apa hari ini mereka akan perang dingin lagi? “Ck! Terserah saja!” Raga menyimpan bukunya asal ke dalam tas. Dia meraih tas itu, lalu berjalan keluar kamar. “Selamat pagi, Tuan Raga. Saya yang akan mengantar Tuan hari ini. Apa Tuan sudah siap?” Raga melirik ke arah Alex yang menunggu di depan pintu. Lelaki itu tampak gagah seperti kemarin dengan setelan jasnya yang rapi. “Dari kapan di sini?” Alex menunduk sopan sebelum menjawab. “Belum lama, Tuan. Tuan Raga tidak perlu khawatir.” Raga berdecak kesal. “Apaan sih! Gue bukannya khawatir.” Raga melangkah melewati Alex. Dia berjalan menuju ke arah tangga, hendak turun ke lantai bawah. “Gue cuma mau tau. Apa lo disuruh Kakek? Trus Kakek dimana sekarang?” Karena kalau Heri sedang ada di ruang makan, Raga malas ke sana. Dia lebih memilih untuk mel
Amira menghela napas panjang. Apa yang Raga katakan benar. Di saat seperti ini, harusnya Amira tidak ragu sama sekali. “Oke, gue ngerti,” ucap Amira lirih. Amira paham, jika rumah kaca ini hanyalah persembunyian sementara. Mereka memang harus keluar dan menghadapi orang-orang itu. Amira juga tak ingin membiarkan teman-temannya disekap. “Bagus,” ucap Raga saat Amira mengangguk. Sekarang, mereka harus memantau situasi terlebih dahulu. “Ikutin gue,” bisik Raga. “Pelan-pelan ….”Raga mengajak Amira untuk mengintip keluar sesaat. Saat itu, mereka melihat ada dua orang penjahat yang sedang menggiring teman-teman mereka. Kedua orang itu, bersenjata lengkap. “Biar gue urus yang kiri. Lo yang kanan.” Raga sengaja memilih pria yang berbadan lebih besar. Setidaknya, walaupun mereka mendapat serangan, resiko yang Amira dapatkan mungkin lebih ringan. Meski Raga sungguh tidak berharap hal itu terjadi. Raga tak mau, sampai terjadi apa-apa pada Amira. Karena itu, dia harus menyusun rencana in
Dengan hati-hati, Reynald memimpin jalan. Kali ini, mereka hanya berempat. Reynald, Febby, Michelle dan Evan. Keempatnya mengendap-endap perlahan, melewati taman, terus ke rumah kaca, sampai akhirnya tiba di sebuah kebun mini. Taman belakang Laveire memang bukan tempat yang kecil. Mereka harus berjalan cukup jauh untuk bisa sampai ke sisi pagar. “Cepat, Michelle!” Febby terpaksa melepaskan tangannya dari Reynald untuk sesaat. Dia perlu membantu Michelle yang sudah terengah. “Di depan!” Seru Reynald seraya menunjuk. Sudah terlihat sebuah pagar yang berkarat. Pagar itu tampak tak terawat dengan tanaman rambat yang memenuhi setiap sisinya. Tak masalah bagaimana kondisinya, yang terpenting adalah pagar itu bisa terbuka. “Akhirnya ….” Evan menghela lega. Sedikit lagi mereka akan sampai. Tidak sabar, Evan berlari mendahului. Dia menjadi yang pertama sampai di sana. Setelah ini mereka bisa keluar. Mereka akan bebas. Mereka aman. Mereka semua selamat. Dor! Suara letusan menggema
Lorong yang sebelumnya sepi, menjadi penuh dengan decak kesal. Evan memicing, mengajukan protes. Dia yang bicara pertama, meski yang lain juga sama tidak setujunya. “Kenapa jadi misah gini? Emang ada apa?” Evan menatapnya menuduh. “Lo mau selamat sendiri apa gimana?”Amira balas menatap Evan tidak percaya. Tuduhan Evan sungguh membuat Amira sakit hati. Tega sekali Evan menuduhnya sebagai orang yang picik seperti itu. “Jaga mulut lo!” Raga menarik kerah seragam Evan penuh emosi. Amira memang marah, tapi dia tetap diam. Raga yang malah menunjukkan amukannya. Dengan tatapan tajam menusuk, Raga berucap sinis. “Kalau bukan karena Amira, lo udah ketangkep dari tadi, bego!” Reynald terpaksa turun tangan melerai kedua muridnya itu. Dia berbisik dengan suara yang sangat pelan. “Jangan membuat keributan!” Seru Reynald, setengah memohon. “Kita bisa ketahuan!”Amira menarik tangan Raga, meminta cowok itu melepas cengk
“Pegang tangan gue! Jangan dilepas!” Raga membuat tautan tangannya dengan Amira lebih erat. Dia benar-benar tak ingin Amira tertinggal. Mereka berenam berlari melawan arah. Bukannya menuruti perintah untuk kembali ke dalam kelas, Reynald membawa mereka menyusuri lorong sekolah, menuju taman belakang Laveire. “Periksa semua kelas!” Teriakan nyaring membuat Reynald seketika berhenti. Kelima murid di belakangnya, ikut berhenti secara otomatis. Tak jauh dari mereka, Reynald bisa melihat dua orang yang membawa senjata. Mereka memakai pakaian serba hitam, dengan masker yang menutupi separuh wajah. “Sembunyi!” Reynald memekik tanpa suara. Dia menarik Febby ke lorong di belakang.Dengan sebuah isyarat singkat, Reynald meminta keempat muridnya yang lain untuk ikut merapat ke dinding, bersembunyi di sudut. Dia memberikan kode agar mereka menutup mulut dan tidak membuat suara sama sekali. “Sst ….” Reynald meletakkan
Tangan Amira terkepal erat. Ucapan dari Evan membuatnya tersinggung, sekaligus tersadar. Seketika Amira ragu. Haruskah dia memberitahukan apa yang dia lihat kepada semua orang? Apakah mereka akan percaya? Ruang guru sudah di depan mata, Amira tinggal berlari dan dia akan sampai dalam hitungan detik. Namun, kedua kakinya seketika terasa berat. “Evan bener.” Amira menepis rasa kesalnya. Dia memilih untuk menggunakan akal sehat. “Apa yang gue bilang emang enggak masuk akal. Emang apa yang bakal berubah dengan usaha seorang Amira?” Ayolah, Amira bukan orang hebat yang bisa mengubah takdir seluruh dunia dengan kedua tangannya. Dia cuma remaja 18 tahun, anak sekolahan. “Gue.” Raga meraih tangan Amira. “Gue mungkin enggak bisa ada di sini kalau bukan karena lo.” “Enggak usah peduliin orang yang enggak percaya. Itu kerugian mereka, bukan lo.” Ucapan sinis Raga membuat Evan menatapnya tajam. Sekarang kedua cowok itu saling memandang penuh permusuhan. Kring! Bel sekolah yang berbun
Amira melihat Raga dan Evan datang dari dua lorong yang berbeda. Sisi kanan atau kiri, manakah yang akan Amira pilih? Apakah seorang Raga yang jelas sudah membuat Amira galau berat? Atau Evan yang baru mulai mendekat?“Maaf,” gumam Amira pelan. “Gue enggak mau dengar alasan.” Amira sudah memutuskan.Ditinggalkan itu menyakitkan. Amira mengetahui hal itu lebih dari siapapun. Namun, ditinggalkan tanpa alasan itu ternyata lebih berat. Apalagi saat orang itu kembali dengan maaf yang terucap.“Amira!” Raga tersentak saat melihat Amira tidak berjalan ke arahnya. Dia hanya melihat punggung Amira, yang perlahan menjauh darinya. “Please, Amira! Jangan ke sana!”Raga berlari lebih cepat. Dia tidak rela. Kenapa? Kenapa Amira malah berbelok dan tidak berjalan ke arahnya?“Amira, dengerin gue dulu!”Raga berhasil menyusul langkah Amira. Dia berdiri tepat di depan gadis itu. Tangannya terbentang menghalangi.“Gue bakal jelasin semuanya!”Saat ini, Raga sudah tidak peduli lagi dengan tatapan para
Suasana lorong Laveire cukup sepi karena jam pelajaran masih berlangsung. Amira berjalan santai di sana. Barusan Amira melihat guru yang akan mengajar di kelasnya, masih ada di dalam ruang guru. Amira jadi tidak perlu terburu-buru. “Nanti makan apa, ya?” Amira berjalan sambil melamun. Dia menunduk membayangkan waktu istirahat yang menyenangkan seperti kemarin. Setidaknya tanpa Raga, Amira masih memiliki teman. Kaki Amira sampai di tempat duduknya. Dia langsung duduk dan menatap ke depan. Amira melamun lagi, menunggu guru yang belum datang. “Lihat apa?” Pertanyaan yang sering Amira dengar. Suaranya juga tidak asing di telinga Amira. Bukankah itu seperti suara Raga? “Pasti karena ngantuk gue jadi berhalusinasi,” ucap Amira pada dirinya sendiri. “Raga kan udah enggak di sini. Ngapain juga gue pikirin dia terus. Orangnya enggak bakal balik juga.” Amira menguap beberapa kali sebelum memilih untuk menyandarkan kepalanya di atas meja. Dia menggunakan kedua tangan sebagai bantalan.
Kemarin, teman-teman Amira menatapnya khawatir. Setelah Amira menolak ajakan Evan, Michelle dan Febby langsung menginterogasi dirinya. “Lo enggak apa-apa?” Itulah pertanyaan yang diulang terus oleh Michelle dan Febby. Mereka ingin memastikan jika Amira baik-baik saja. Amira pun terpaksa berbohong agar mereka tidak khawatir. Amira mengatakan jika dia sedang tidak enak badan, dan ingin cepat pulang. “Apa ini yang orang-orang sebut dengan galau berat?” Amira memandang dirinya sendiri di cermin. Dia melihat kantong matanya yang menghitam. “Gue sampe enggak bisa tidur semalem!” Amira ingat lagi dengan pesan Sonya. Kalau hari ini Raga masih tidak masuk, berarti dia harus menjenguknya besok. “Apa gue bilang aja kalau Raga udah pindah sekolah? Biasanya juga apa yang gue liat itu bener.” Saat ini, Amira sedang menimbang kemungkinan. Seberapa banyak dia yakin dengan bayangan yang dilihatnya itu. Namun, bukannya mendapatkan jawaban, Amira malah semakin bingung. “Ah!” Amira menggerutu
Amira tertegun menatap pintu kamarnya yang sepi. Dia jadi ingat kalau kemarin-kemarin pintu itu sering digedor oleh Raga. “Kenapa gue mikirin dia terus, sih?” Amira berseru kesal. Bahkan kemarin, saat Amira berpikir jika dirinya menikmati kencan dengan Evan, ternyata dia malah terus mengingat Raga. “Evan baik, tapi Raga itu beda.” Evan bersikap manis dan sopan selama mereka berkencan. Bahkan cowok itu selalu membantu Amira dan menanyakan apa yang Amira inginkan. Jauh berbeda dari Raga yang seringnya memaksa dan menyuruh. “Cuma enggak ada rasanya aja ….” Amira memang senang bersama Evan, tapi tidak ada perasaan lain lagi. Jika bersama Raga, Amira bisa merasa kesal, keki, canggung, emosi, atau bahkan malu dan salah tingkah brutal. “Sama Raga itu kayak makan permen banyak rasa. Enggak pernah ngebosenin.” Sial sekali. Amira mengutuk dirinya sendiri. Dia bukannya rindu, apalagi kehilangan. Pokoknya tidak. “Ck! Mending mandi! Nanti gue telat lagi!” Amira melemparkan bantal kes