Anya menyusul Harshad yang sedang bermain dengan alat gym di lantai bawah. Dia melewati beberapa pelayan dan penjaga yang berdiri berjajar di jalanan menuju ke ruang olahraga. Dua orang pelayan sampai mendongak melihat apa yang menggantung di punggung Anya.
“Astaga,” bisik pelayan itu pada pelayan lainnya. Melihat baju Anya yang memang ada boneka menggantung di belakangnya. Membuatnya seperti menggendong boneka, padahal boneka tersebut menempel di baju Anya.Mereka terkikik pelan, tapi Anya tidak menyadari sama sekali. Ditambah lagi, warna baju itu seperti pelangi, juga Anya yang mengenakan kaos kaki berwarna senada dan rambut yang dikuncir tinggi. Para pelayan tersenyum gemas, mereka langsung bubar setelah Anya masuk ke ruang gym, Bi Isah yang baru datang melihat ke tempat Anya masuk, lalu mengikuti pelayan untuk menata sarapan.“Harshad,” panggil Anya langsung melingkarkan tangan di pinggang Harshad. Harshad menoleh dan mengamati baju Anya, tersenyum lalu menyentBryan hanya diam di depan layar laptopnya, masih seperti biasa, dia berusaha menemukan kejanggalan atau petunjuk dari video pendek yang telah Danu kirimkan ke dirinya. Dia tidak keluar dari kamar sejak sarapan tadi, Bryan merasa kalau dia bisa menemukan petunjuk untuk kasus pembunuhan tuan besarnya. Juga hasil yang mungkin bisa membuat Harshad melupakan trauma yang sempat dia alami. Drrrt.. Drrrt.. Ponselnya bergetar dengan nada dering khusus milik Harshad. Ternyata pewaris tunggal itu mengirim pesan sekaligus meminta izinnya. Harshad Gue ke kantor, kalo ada apa-apa kabarin aja. “Serah lu, gue mah mending di rumah, bodo amat sama elu,” jawab Bryan menggunakan voice note, dan pastinya itu dusta. Dia langsung menghubungi Sekretaris Frans, orang yang bisa memantau apa saja yang terjadi di kantor dengan aman. “Iya, Tuan Bryan,” jawab Frans setelah menerima panggilan dari Bryan. “Harshad mau ke kantor, Tuan.” “Iya, Tuan. Saya yang mengatur hal
Air mancur di rumah Arnold terlihat lebih menyenangkan dari pada harus keluar rumah untuk bersenang-senang, itu bagi Arnold sendiri. Dia sedang memberi makan ikan-ikan yang dia pelihara di sana, anjing kecil kesayangan Arnold juga menemani di sekitar kakinya. Tak jauh dari air mancur, terlihat Gala sedang menikmati kopinya dengan camilan yang disediakan pelayan untuknya. Selama beberapa hari ini senyumnya tak hilang dari bibirnya. Arnold menoleh saat menyadari ada anak buahnya datang ke taman itu. Setidaknya ada empat orang yang menghampiri Arnold, dia berdiri setelah meletakkan kotak makanan ikan di pinggiran kolam ikan. Laki-laki yang mengenakan pakaian santai itu memastikan ayahnya tidak bisa mendengar percakapan mereka, tapi akhirnya dia tetap menyingkir dari taman. Dia beranjak pergi bersama dua anak buahnya, mencari tempat yang tidak bisa didengar ayahnya, sedangkan dua yang lain menemani Gala di kursi taman itu. “Ada apa?” tanya Arnold. Satu tangannya
Arose duduk sendiri di ruang meeting, menyandarkan punggungnya ke kursi kebesarannya yang ada di ruang meeting. Dia sedang tidak ingin di ruangannya. Ada banyak hal yang bisa membuatnya menyesal di ruang itu, dan juga nanti ada meeting, sekalian dia menyiapkan diri untuk meeting. Sekretaris Frans sedang mengurus berkas di ruangannya, sejatinya, pergi ke perusahaan hanyalah sebuah alasannya agar tidak terlalu memikirkan masalah yang terjadi beberapa hari lalu. “Huftttttt, udah Arose, fokus. Kamu harus fokus, tidak hanya Harshad yang terluka di sini, tapi juga Helen dan Anya,” gumam Arose mengingatkan dirinya sendiri saat mulai merasa down. Karena ketika ingat tiga orang tadi, semangatnya kembali muncul, ide tentang permintaan maaf juga seolah sudah antri di benaknya. “Mom’s,” panggil Harshad yang masih di luar pintu kaca, melihat ibunya menoleh dia langsung masuk ke ruang meeting. “Makan siang yuk, Mom’s,” tambah Harshad. Tidak ada yang bisa dijelaskan dari pe
Beberapa mobil berhenti bersamaan di depan rumah almarhum Tuan Enrique. Banyak laki-laki mengenakan pakaian hitam dengan pistol kecil di saku atau di balik baju mereka. Rumah bernuansa bangunan kuno tersebut langsung ramai dan membuat orang-orang yang ada di rumah itu kalang kabut. Mereka juga berteriak dan mengancam. Tiga orang masuk paksa ke rumah itu, walaupun sudah dikunci oleh pemiliknya. Arnold baru saja turun dari mobilnya karena anak buahnya sudah ada yang berhasil masuk ke rumah tersebut. “Bagaimana?” tanya Arnold. Orang kepercayaannya hanya menggeleng. Lalu Arnold berjalan ke beberapa orang yang sudah didudukkan sambil berlutut. “Ke mana Nyonya Pemilik Rumah?”“Tidak tahu, Tuan. Dia tidak memberi tahu kami. Dia hanya pamit mau keluar dan dia juga minta ke kami agar menjaga rumah ini selama dia pergi.” Jawab seorang laki-laki yang terlihat paling tua di antara semuanya. Arnold berusaha berpikir, apakah ada yang salah? Atau memang ini sudah direncanaka
Di apartemennya yang terletak di wilayah Park Avenue New York, Harshad membopong sendiri tubuh gadis yang tadi menabraknya, membawanya naik ke apartemen pribadinya. Dua orang yang berjaga di depan kamar menatap bingung kedatangan Harshad, mereka segera mendekat dan bergerak seolah ingin menggantikan posisi Harshad menggendong perempuan tersebut. "Bukakan pintu!” ucap Harshad, dia tak mengindahkan gerak anak buahnya tadi. "Baik, tuan,” jawab salah satu dari mereka. Bryan, sekretaris pribadi Harshad yang sedang berbicara dengan seseorang di telpon langsung berbalik setelah menyadari ada suara derap sepatu yang beradu dengan lantai berjalan mendekat padanya. "What’s wrong with you?” tanya Bryan setelah mematikan panggilannya. Harshad hanya menoleh sebentar dan memberikan tatapan singa miliknya. “Lo sehat kan?” tambah Bryan. "Diem lu! Lo beresin semua rumor yang tersebar gara-gara nih cewek, cepetan!” balas Harshad sembari duduk di samping perempu
Harshad mengetukkan pelan jarinya pada paha, memikirkan pertanyaan Bryan yang dari kemarin mengganggu pikirannya. Bryan terfokus menatap jalanan di depannya, sesekali Harshad memandang Bryan dengan tatapan bingung. Bagaimana Bryan bisa tau?“Bryan?” panggil Harshad. Alisnya masih bertaut menunggu jawaban dari Bryan.“Iya, tuan,” jawab Bryan. Dia tak menoleh pada tuan mudanya, jalanan di depannya lebih penting dari pada panggilan Harshad, begitu mungkin pikirnya.“Lu tau siapa perempuan itu?” itu pertanyaan yang sejak tadi malam mengganggu otak bersihnya."Iya, tuan. Tadi malam dia sedang dalam pencarian anak buah tuan Arnold,” kata Bryan sembari memutar setir ke kanan."Arnold?” tanya Harshad. Ada jeda sampai mereka berdua bisa berpikir dan menemukan sesuatu. “Berarti dia bukan gadis sembarangan, pantesan dia bisa bahasa Indonesia,” lanjut Harshad menyandarkan punggungnya.“Sa
“Mampus gue, lari Anya! Lari cepetan!” gumam Anya merasa ada yang tidak beres dengan dua orang laki-laki yang memanggilnya. Sudah cukup orang-orang sekelilingnya menatap heran baju handuknya, jangan tambah lagi adegan kejar-kejaran ini.Anya berlari meninggalkan mesin kopi yang dia jadikan tempat berpikir tadi. Melewati beberapa orang yang berjalan tak beraturan membuat lari Anya sedikit terganggu. Dia menabrak seseorang hingga hampir terjatuh.“Oh, i’m sorry, i’m sorry,” ucap Anya sembari mengatupkan kedua tangannya. Orang yang dia tabrak tak mengatakan banyak hal, hanya sedikit sinis menatapnya.Tak membuang waktu, Anya kembali berlari. Bodoamat lah urusan perempuan yang dia tabrak tadi, toh dia juga sudah meminta maaf. Yang harus dia lakukan sekarang adalah menyelamatkan diri dari dua orang yang sedang gencar-gencarnya mengejar dia.Dia tidak tau ada urusan apa sebenarnya laki-laki yang dipanggil tuan itu dengan diri
Sedari mereka keluar dari area taman, alis Harshad terus menyatu. Dia diam sembari fokus pada kemudinya. Anya tidak merasa bersalah, karena dia tidak melakukan apapun, normalnya seseorang yang tinggal di rumah orang yang tidak dia kenal, ya harus pergi setelah sadar."Mau ngapain kesini?” tanya Anya, Harshad diam saja dan masih fokus mencari tempat parkir untuk mobil kesayangannya ini. “Heh, gue tanya mau ngapain kita kesini?”“Ya coba lo pikir sendiri, masa iya gue kesini mau main badminton,” jawab Harshad sedikit ketus. Dia keluar dari mobil mengabaikan Anya yang juga ikut bersungut-sungut.“Astaga, gue mimpi apaan ya?” dengus Anya. Anya melingkarkan tangannya di depan dada. Ingin tau apa yang dilakukan Harshad kalau dia tidak turun.Laki-laki bermarga Akandra tersebut menoleh karena tak ada suara langkah ataupun suara bising ocehan Anya. Bibir Harshad terangkat sebelah, dia geram tapi ingin tertawa.&ldq