"Kenalkan saya dokter Daniel yang bertugas dalam operasi bapak." Jelas sang dokter dengan gayanya yang tegas dan berwibawa.
"Oh iya, dok. Tadi Suster Isti juga udah kesini." Jelas sang Ayah yang tanpa sadar sudah bersemangat menjawab.
"Oh, ya? Terus kata suster, gimana?" Tanya dokter sambil tetap memeriksa kondisi pasiennya itu. Wajahnya tampak tidak bersahabat tapi matanya segera menangkap kedipan mata Pak Saputra seolah memberi isyarat untuk tidak di ungkapkan sekarang.
"Baiklah. Kalau begitu sampai ketemu di ruang operasi ya, Pak." Ucap Daniel setelah selesai memeriksa keadaan pasiennya.
Baru akan berbalik, Pak Saputra menahan lengan sang dokter. "Kenalin, ini anakku namanya Arisa."
Arisa segera terbelalak karena ucapan Ayahnya yang diluar dugaan. Memangnya apa urusan dia sampai harus dikenalkan dengan dokter itu. Meskipun sejujurnya dokter itu memang tampan.
"Oh, kenalin saya dokter Daniel." Ujar Daniel yang juga sempat bingung tapi segera mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan gadis yang masih duduk tidak bergeming di tempatnya.
"Eh iya, saya Arisa anaknya Pak Saputra." Katanya lalu menyambut uluran tangan Daniel.
Ada perasaan aneh saat ia menggenggam tangan pria yang berbadan bidang tersebut. Perasaan yang membuatnya hanya bisa terdiam beberapa saat memahami makna rasa tersebut.
"Yaudah Pak, saya pamit dulu kalau begitu. Arisa, saya permisi dulu ya." Kata Daniel sopan lalu meninggalkan keduanya didalam ruangan tersebut.
"Ayah apa-apaan sih?" Keluh Arisa masih yang masih bingung.
"Lah, apanya yang apa-apaan?"
"Itu. Tadi ngapain suruh dokternya kenalan sama aku." Gerutu Arisa tidak berhenti.
Ayahnya membuang nafas malas. "Elah. Kirain apaan. Cuma kenalan doang kamu udah kepanasan gini. Gimana kalau pacaran." Ledek Ayahnya yang senang melihat anaknya pusing sendiri.
"Ayaaah!"
"Cuma kenalan, Ris. Gak papa kan kalau Ayah kenalin kamu sama dokter yang nanganin Ayah. Siapa tau nanti kalau kamu butuh sesuatu soal Ayah kamu bisa langsung tanyain ke dia. Iya, kan?" Jelas Ayahnya dengan senyum tipis yang menghiasi wajahnya.
"Arisa berdoa semoga ini yang terakhir Ayah ke rumah sakit. Supaya kita gak usah ketemu lagi sama dokter ataupun suster di rumah sakit ini." Gadis itu mengangkat kedua tangannya di depan dada seolah berdoa membuat Ayahnya menghela nafas berat melihat pemandangan di hadapannya. Seolah ada rahasia besar yang ia sembunyikan dari sang anak.
Sudah dua jam sejak operasi dimulai dan belum ada tanda-tanda suster ataupun dokter di ruang operasi yang memperlihatkan batang hidungnya.
Dan Arisa masih setia menunggu di depan ruang operasi tanpa berniat meninggalkan tempat duduknya. Padahal jadwal operasi di perkirakan akan memakan waktu cukup lama.
Beberapa suster juga sudah menyarankan Arisa agar beristirahat di kamar pasien, tapi gadis itu menolak dengan sopan. Ia ingin jadi orang pertama yang menyambut kesembuhan sang Ayah.
Saat sedang tertidur dengan posisi duduk, ia di kejutkan dengan suara ponselnya yang membuatnya langsung membuka mata lebar.
Tatapannya segera mengarah ke pintu ruang operasi dan rautnya berubah kecewa karena tidak mendapati benda tersebut akan terbuka segera.
Dering ponselnya kembali menyadarkannya dan dengan malas ia meraih benda tersebut yang ia simpan di kantong jaketnya.
"Halo." Sapa Arisa setelah menekan tombol hijau di layar tanpa melihat nama sang penelpon.
"Arisa ya?" Tanya diseberang membuat Arisa mengubah duduknya menjadi tegak. Berharap salah satu lamarannya ada yang di terima.
"Iya." Jawabnya mengubah nada bicaranya menjadi sesopan mungkin.
"Saya temannya Ben, yang kamu kabarin soal lamaran tadi siang." Jelas di seberang.
"Oh iya, Pak. Bapak udah baca CV saya, belum?" Nada bicara Arisa lagi-lagi berubah bersemangat.
"Belum." Jawab diseberang singkat membuat Arisa seketika membungkukkan badannya dan menyandarkan dirinya dengan malas.
"Oh, maaf pak, saya jadi sedikit bersemangat. Saya pikir bapak sudah liat lamaran saya." Balasnya berusaha tidak terdengar lesu.
"Kamu bisa masuk minggu depan?"
"Apa pak?" Arisa tanpa sadar kembali bersemangat, tapi dengan cepat ia kembali menyadarkan dirinya untuk tidak terlalu berharap banyak.
"Iya. Saya sudah baca CV kamu. Kamu bisa mulai masuk kerja minggu depan. Apa kamu bersedia"
"Oh tentu tidak saya sangat bersedia pak. Terima kasih banyak pak." Kali ini Arisa tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Ia bahkan tanpa sadar sudah berdiri di depan kursinya karena sangat senang.
"Jangan terlalu cepat berterima kasih. Saya harus liat kinerja kamu dulu selama 3 bulan. Setelah itu baru saya pastikan kamu bisa lanjut atau tidak." Jelas penelpon di seberang membuat Arisa tanpa sadar mengangguk semangat.
Dan setelah telpon tersebut berakhir. Arisa tidak berhenti tersenyum. Ia sudah tidak sabar untuk ngabarin Ayahnya soal berita dirinya yang akhirnya di terima kerja.
Sekitar 30 menit kemudian, derit pintu terdengar dan memunculkan seseorang dokter. Tapi bukan Daniel, melainkan dokter wanita yang Arisa yakin belum pernah bertemu dengannya.
Arisa dengan semangat bangkit dari duduknya dan segera menghampiri dokter tersebut. Namun, segera ekspresinya berubah saat mendapati raut tak bersemangat dari wajah sang dokter.
Tak mau berprasangka buruk, Arisa mencoba tenang meskipun dalam dadanya terasa sesak yang aneh. "Gimana dok? Ayah saya?"
"Kami sudah melakukan pekerjaan kami dengan sangat maksimal. Maafkan kami karena tidak bisa menyelamatkan pasien." Ucapan sang dokter tidak begitu jelas di telinga Arisa. Membuat ia bertanya ulang ucapan dokter tersebut.
Dan dokter tersebut hanya bisa memberikan kalimat penyemangat sebelum kembali masuk ke dalam ruang operasi.
Sementara Arisa masih berdiri di tempatnya dengan tatapan kosong dan pikiran yang melayang kemana-mana.
Ia masih belum bisa mencerna ucapan dokter barusan. Atau sebenarnya ia enggan menerima yang ia dengar.
Dan tanpa sadar air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan dan akhirnya di susul dengan raungan yang tak tertahan.
Selain Ayahnya, ia tidak memiliki siapapun di dunia ini. Ibunya meninggalkan ia dan Ayahnya saat ia berusia 5 tahun dan sampai sekarang ia tidak pernah tau kabar wanita itu.
Dan sekarang Ayahnya bahkan pergi meninggalkannya lebih jauh lagi. Membuatnya kemudian merasa dirinya tidak berguna untuk hidup.
Padahal ia baru saja ingin menyampaikan kabar bahagianya tapi pria itu bahkan tidak sempat melihat ekspresi bahagia anaknya.
Proses pemakaman tidak berlangsung lama karena besok sorenya, Ayahnya sudah di kuburkan di TPA dekat dari rumah Arisa.
Dan saat semua pelayat sudah pulang, menyisakan dirinya dan beberapa saudara dekatnya, Arisa memilih untuk duduk menyendiri di tengah tempat Ayahnya berbaring sebelum di kuburkan.
Matanya menatap lurus kedepan namun tanpa ada cahaya di dalamnya. Dan orang-orang di sekitarnya tidak ada yang berniat menganggu gadis itu. Membiarkannya tenggelam dengan pikirannya yang masih berantakan.
Namun, ada satu orang yang tidak peduli dengan kondisi Arisa, berjalan mendekati gadis itu dan duduk di sampingnya.
"Saya minta maaf." Hanya itu yang di ucapkan sang pria yang tidak lain adalah dokter Daniel. Pria itu bahkan tidak memandang Arisa dan hanya mengikuti arah pandang gadis itu sebelum beralih memandang sang dokter. Menatapnya penuh kebingungan dan berakhir dengan air mata yang kembali mengalir di pipinya membuat Daniel mau tak mau memeluk gadis itu mencoba menenangkannya.
Tidak peduli dengan tatapan keluarga Arisa yang masih berada di rumah duka.
"saya minta maaf karena sudah memeluk anda dengan lancang." Saat ini Arisa dan dokter Daniel memilih teras sebagai tempat mereka untuk berbincang.Arisa tersenyum tipis. "Gapapa dok. Saya justru yang terima kasih karena dokter mau meluk saya." Ucapnya yang sedetik kemudian menyadari kesalahannya. "Eh, maksud saya bukan gitu dok. Anu...""Ahhaha, gak papa. Saya ngerti kok.""Oh, iya dokter gak tugas?" Tanya Arisa setelah sadar dengan kehadiran pria itu di tengah jadwal dinasnya."Saya cuti setengah hari. Kebetulan juga hari ini tidak ada jadwal operasi." Dan kalimatnya barusan membuat keduanya kembali terdiam. Daniel masih merasa bersalah dengan kejadian yang menimpa Arisa."Maaf." Lagi-lagi Daniel meminta maaf."Gak papa dok. Udah takdirnya memang begitu. Walaupun gak bohong kalau saya masih gak bisa menerima." Ucap Arisa dengan tatapan kosong kedepan.Daniel menatap Arisa dalam seolah gadis itu memiliki daya tarik yang membuatnya engg
"kenapa?" Tanya Nicky masih bingung. Padahal biasanya karyawan lain selalu ingin cepat-cepat pulang kerja, tapi gadis ini malah ingin menambah jam kerjanya."Saya juga gatau mau ngapain kalau di rumah." Jelas Arisa sambil menggaruk kepalanya.Nicky tampak berfikir. Ini bukan masalah dirinya memaksa Arisa untuk pulang. Tapi jangan sampai ada berita soal apapun yang ia tidak pernah ingin dengar. Apalagi di kantornya."Mmm, begini. Saya bukannya tidak ingin di temani. Tapi, bagaimana pun kamu dan saya berbeda gender. Dan saya tidak mau mendengar berita miring soal saya. Belum lagi kamu adalah temannya Ben. Jadi, kurasa kamu bisa mengerti maksud saya." Jelas Nicky yang sudah meninggalkan kursinya dan berdiri di samping meja kerjanya.Arisa meneguk liurnya. Ia lupa fakta kalau dirinya dan Nicky berbeda gender. Belum lagi status mereka yang hanya bos dan sekertaris. Dan di malam seperti ini tidak mungkin orang tidak curiga kalau melihat mereka masih berduaan di kan
Nicky berjalan memasuki ruangannya dan mendapati Arisa sudah sibuk di mejanya dengan 'to do list' yang ia tempelkan di sekitar meja dan layar komputernya."Eh, selamat pagi Pak." Sapa Arisa setelah menyadari kehadiran atasannya itu."Pagi." Sapa Nicky sambil tersenyum dan segera memasuki ruangannya sendiri dan menutup pintu ruangannya.Belum sempat duduk, suara ketukan pintu ruangannya membuat Nicky berbalik dan menyuruh yang di luar ruangan membuka pintu tersebut."Iya, ada apa?" Tanya Nicky yang kembali berjalan ke kursinya dan meletakkan tas kerjanya di atas meja."Hari ini mbak Maya tidak masuk kerja Pak.""Oh, kenapa?""Anaknya katanya lagi sakit, dan hari ini dia mau nganter ke rumah sakit." Jelas Arisa detail membuat Nicky mengangguk mengerti."Baik. Berarti kamu yang menggantikan dia, kan?" Tanya Nicky lebih ke memutuskan.Arisa mengangguk mantap. "Iya, Pak.""Kalau begitu kamu harus siap-siap karena dua
"Gue udah merhatiin dia sejak lama." Kalimat barusan membuat Arisa terbelalak kaget. Gadis itu menatap Ben dengan tatapan bingung. Selama dia memperhatikan pria itu, tidak pernah terlihat kalau pria itu menaruh perhatian sama dirinya. Dan apa? Barusan pria itu bilang kalau selama ini dia selalu memperhatikan dirinya? Nicky lalu membaca situasi saat itu. Memperhatikan Arisa yang tidak mengalihkan pandangannya dari Ben padahal Ben sudah mengalihkan perhatiannya ke minuman di hadapannya dan tanpa di suruh langsung menyeruputnya. "Manis. Kayak yang bikin." Ucap Ben sambil mengerling ke arah Arisa. Membuat wajah Arisa memerah karena malu. "Najis!" Sarkas Nicky dan beralih menuju meja kerjanya. Dan Ben hanya mengangkat bahu mengabaikan ucapan temannya itu. "Terus giman kerjaan lu? Nicky gak macam-macam kan?" Tanya Ben lagi membuat Nicky menatap sinis ke arahnya. "Lu kali yang suka macam-macam." Sahut Nicky membalas ucapan Ben. La
Hari ini Arisa kembali menemani Nicky meeting di luar kantor. Dan saat ini keduanya tengah makan malam di sebuah restoran tidak jauh dari tempat mereka meeting. Awaknya Arisa ingin menolak karena merasa tidak enak, tapi karena perutnya yang tidak bisa diajak kompromi dan menimbulkan suara yang membuat Nicky tersenyum menang, akhirnya keduanya berakhir di tempat ini. Arisa dengan tenang menyantap makanannya tanpa mempedulikan Nicky yang sudah memperhatikannya sejak tadi. Bahkan pria itu hanya menyuapi dirinya beberapa sendok saja. Sementara Arisa sudah makan setengah piring dari pesanannya. "Lu emang sedekat itu dengan ya sama Ben?" Tanya Nicky yang sepertinya tidak tahan untuk tidak menanyakannya. Mendengar pertanyaan tersebut membuat Arisa tersedak dengan makanan yang ia kunyah. Membuat Nicky terkejut dan buru-buru memberinya segelas minum. "Minum dulu, gih. Gitu aja kaget." Ledek Nicky setelah Arisa meneguk minumannya. "Maaf Pak, saya tidak
Malam ini adalah malam yang sudah sangat dinantikan oleh Arisa setelah hampir sebulan dirinya tidak memiliki waktu libur yang baik dan tenang. Dan akhirnya kali ini ia bisa berisitirahat dengan tenang karena sang atasan alias Nicky tidak memiliki jadwal lain di luar kantor, atau urusan rumah sakit yang masih harus dia selesaikan. Dengan posisi yang nyaman, dia berbaring di kasurnya sambil membaca novel karangan penulis kebanggannya setelah hampir setahun dibelinya namun belum pernah terbaca selembarpun. Namun pada lembaran kedua bacaannya, dering pada ponselnya segera menginterupsi kegiatannya dan dengan terpaksa sambil menghela nafas ia segera meraih benda tersebut dan langsung mengangkatnya tanpa melihat nama sang penelpon. "Halo!" Jawabnya dengan nada ketus yang tanpa sadar ia keluarkan. "Ris, sibuk gak?" Tanya dari seberang dengan suara yang sudah dihafal oleh Arisa. Arisa menghela nafas pelan sambil memejamkan matanya. K
Hari ini, Arisa terpaksa ijin tidak mausk kerja karena entah kenapa sejak semalam dirinya sudah merasa kurang sehat. Padahal paginya ia masih keluar untuk jogging. Dan saat ini ia hanya terus berbaring di tempat tidur karena kepalanya yang terasa sakit kalau dirinya memaksa untuk bangun. Bahkan untuk minum pun dirinya tidak sanggup. Jadi, iapun memutuskan untuk beristirahat seharian dan mengabaikan ponselnya yang ia letakkan di atas meja belajar yg jauh dari tempat tidurnya. Ketika ia bangun karena bunyi bel rumahnya, matanya tertuju pada jam dinding yang menunjukkan pukul 4 sore. Dengan sisa kekuatan yang dimiliki, ia memaksakan diri untuk bangkit dan berjalan menuju pintu masuknya untuk memeriksa siapa tamu yang datang tanpa dia undang tersebut. "Dokter?" Tanya Arisa suara parau dan raut wajah menahan sakit kepalanya sambil menatap heran kearah Daniel yang sudah menatapnya heran. "Loh, Ris? Kamu sakit?" Tanya Daniel dan segera
Daniel meletakkan berkas-berkasnya dengan asal di atas meja kerjanya. Sejak ia bangun hingga saat ini, kejadian di rumah Ariaa terus saja mengusiknya. Dirinya tampak menyesali hal yang ia lakukan pada gadis tersebut. Tapi dirinya juga tidak bisa diam saja setelah gadis itu menjawab seolah memberinya tantangan. Daniel terus saja merutuki dirinya karena tidak bisa menahan diri di depan gadis itu. Padahal selama ini, ia sudah menahan diri untuk tidak terjerumus ke dalam hal tersebut. Tapi kenapa dengan gadis itu diriny justru lemah. Kejadian kemarin kembali terlintas di kepalanya. Padahal hanya sentuhan singkat, ia tidak menyangka kalau bekasnya akan terasa sampai sekarang. Gila. Daniel akhirnya mengaggap dirinya gila. Ia kembali berfikir, apa yang akan terjadi selanjutnya kalau dirinya benar-benar tidak bisa menahan diri? Lalu ia kembali teringat Arisa. Setelah kejadian tersebut, Arisa justru tidak mengatakan apa-apa. Bahkan ekspresiny