Share

Part 2

"Kenalkan saya dokter Daniel yang bertugas dalam operasi bapak." Jelas sang dokter dengan gayanya yang tegas dan berwibawa. 

"Oh iya, dok. Tadi Suster Isti juga udah kesini." Jelas sang Ayah yang tanpa sadar sudah bersemangat menjawab.

"Oh, ya? Terus kata suster, gimana?" Tanya dokter sambil tetap memeriksa kondisi pasiennya itu. Wajahnya tampak tidak bersahabat tapi matanya segera menangkap kedipan mata Pak Saputra seolah memberi isyarat untuk tidak di ungkapkan sekarang.

"Baiklah. Kalau begitu sampai ketemu di ruang operasi ya, Pak." Ucap Daniel setelah selesai memeriksa keadaan pasiennya. 

Baru akan berbalik, Pak Saputra menahan lengan sang dokter. "Kenalin, ini anakku namanya Arisa."

Arisa segera terbelalak karena ucapan Ayahnya yang diluar dugaan. Memangnya apa urusan dia sampai harus dikenalkan dengan dokter itu. Meskipun sejujurnya dokter itu memang tampan. 

"Oh, kenalin saya dokter Daniel." Ujar Daniel yang juga sempat bingung tapi segera mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan gadis yang masih duduk tidak bergeming di tempatnya.

"Eh iya, saya Arisa anaknya Pak Saputra." Katanya lalu menyambut uluran tangan Daniel. 

Ada perasaan aneh saat ia menggenggam tangan pria yang berbadan bidang tersebut. Perasaan yang membuatnya hanya bisa terdiam beberapa saat memahami makna rasa tersebut.

"Yaudah Pak, saya pamit dulu kalau begitu. Arisa, saya permisi dulu ya." Kata Daniel sopan lalu meninggalkan keduanya didalam ruangan tersebut.

"Ayah apa-apaan sih?" Keluh Arisa masih yang masih bingung.

"Lah, apanya yang apa-apaan?"

"Itu. Tadi ngapain suruh dokternya kenalan sama aku." Gerutu Arisa tidak berhenti.

Ayahnya membuang nafas malas. "Elah. Kirain apaan. Cuma kenalan doang kamu udah kepanasan gini. Gimana kalau pacaran." Ledek Ayahnya yang senang melihat anaknya pusing sendiri.

"Ayaaah!" 

"Cuma kenalan, Ris. Gak papa kan kalau Ayah kenalin kamu sama dokter yang nanganin Ayah. Siapa tau nanti kalau kamu butuh sesuatu soal Ayah kamu bisa langsung tanyain ke dia. Iya, kan?" Jelas Ayahnya dengan senyum tipis yang menghiasi wajahnya.

"Arisa berdoa semoga ini yang terakhir Ayah ke rumah sakit. Supaya kita gak usah ketemu lagi sama dokter ataupun suster di rumah sakit ini." Gadis itu mengangkat kedua tangannya di depan dada seolah berdoa membuat Ayahnya menghela nafas berat melihat pemandangan di hadapannya. Seolah ada rahasia besar yang ia sembunyikan dari sang anak.

Sudah dua jam sejak operasi dimulai dan belum ada tanda-tanda suster ataupun dokter di ruang operasi yang memperlihatkan batang hidungnya. 

Dan Arisa masih setia menunggu di depan ruang operasi tanpa berniat meninggalkan tempat duduknya. Padahal jadwal operasi di perkirakan akan memakan waktu cukup lama.

Beberapa suster juga sudah menyarankan Arisa agar beristirahat di kamar pasien, tapi gadis itu menolak dengan sopan. Ia ingin jadi orang pertama yang menyambut kesembuhan sang Ayah. 

Saat sedang tertidur dengan posisi duduk, ia di kejutkan dengan suara ponselnya yang membuatnya langsung membuka mata lebar. 

Tatapannya segera mengarah ke pintu ruang operasi dan rautnya berubah kecewa karena tidak mendapati benda tersebut akan terbuka segera.

Dering ponselnya kembali menyadarkannya dan dengan malas ia meraih benda tersebut yang ia simpan di kantong jaketnya.

"Halo." Sapa Arisa setelah menekan tombol hijau di layar tanpa melihat nama sang penelpon.

"Arisa ya?" Tanya diseberang membuat Arisa mengubah duduknya menjadi tegak. Berharap salah satu lamarannya ada yang di terima.

"Iya." Jawabnya mengubah nada bicaranya menjadi sesopan mungkin.

"Saya temannya Ben, yang kamu kabarin soal lamaran tadi siang." Jelas di seberang.

"Oh iya, Pak. Bapak udah baca CV saya, belum?" Nada bicara Arisa lagi-lagi berubah bersemangat.

"Belum." Jawab diseberang singkat membuat Arisa seketika membungkukkan badannya dan menyandarkan dirinya dengan malas.

"Oh, maaf pak, saya jadi sedikit bersemangat. Saya pikir bapak sudah liat lamaran saya." Balasnya berusaha tidak terdengar lesu.

"Kamu bisa masuk minggu depan?" 

"Apa pak?" Arisa tanpa sadar kembali bersemangat, tapi dengan cepat ia kembali menyadarkan dirinya untuk tidak terlalu berharap banyak.

"Iya. Saya sudah baca CV kamu. Kamu bisa mulai masuk kerja minggu depan. Apa kamu bersedia"

"Oh tentu tidak saya sangat bersedia pak. Terima kasih banyak pak." Kali ini Arisa tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Ia bahkan tanpa sadar sudah berdiri di depan kursinya karena sangat senang.

"Jangan terlalu cepat berterima kasih. Saya harus liat kinerja kamu dulu selama 3 bulan. Setelah itu baru saya pastikan kamu bisa lanjut atau tidak." Jelas penelpon di seberang membuat Arisa tanpa sadar mengangguk semangat.

Dan setelah telpon tersebut berakhir. Arisa tidak berhenti tersenyum. Ia sudah tidak sabar untuk ngabarin Ayahnya soal berita dirinya yang akhirnya di terima kerja. 

Sekitar 30 menit kemudian, derit pintu terdengar dan memunculkan seseorang dokter. Tapi bukan Daniel, melainkan dokter wanita yang Arisa yakin belum pernah bertemu dengannya. 

Arisa dengan semangat bangkit dari duduknya dan segera menghampiri dokter tersebut. Namun, segera ekspresinya berubah saat mendapati raut tak bersemangat dari wajah sang dokter. 

Tak mau berprasangka buruk, Arisa mencoba tenang meskipun dalam dadanya terasa sesak yang aneh. "Gimana dok? Ayah saya?" 

"Kami sudah melakukan pekerjaan kami dengan sangat maksimal. Maafkan kami karena tidak bisa menyelamatkan pasien." Ucapan sang dokter tidak begitu jelas di telinga Arisa. Membuat ia bertanya ulang ucapan dokter tersebut.

Dan dokter tersebut hanya bisa memberikan kalimat penyemangat sebelum kembali masuk ke dalam ruang operasi. 

Sementara Arisa masih berdiri di tempatnya dengan tatapan kosong dan pikiran yang melayang kemana-mana.

Ia masih belum bisa mencerna ucapan dokter barusan. Atau sebenarnya ia enggan menerima yang ia dengar.  

Dan tanpa sadar air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan dan akhirnya di susul dengan raungan yang tak tertahan. 

Selain Ayahnya, ia tidak memiliki siapapun di dunia ini. Ibunya meninggalkan ia dan Ayahnya saat ia berusia 5 tahun dan sampai sekarang ia tidak pernah tau kabar wanita itu. 

Dan sekarang Ayahnya bahkan pergi meninggalkannya lebih jauh lagi. Membuatnya kemudian merasa dirinya tidak berguna untuk hidup.

Padahal ia baru saja ingin menyampaikan kabar bahagianya tapi pria itu bahkan tidak sempat melihat ekspresi bahagia anaknya. 

Proses pemakaman tidak berlangsung lama karena besok sorenya, Ayahnya sudah di kuburkan di TPA dekat dari rumah Arisa. 

Dan saat semua pelayat sudah pulang, menyisakan dirinya dan beberapa saudara dekatnya, Arisa memilih untuk duduk menyendiri di tengah tempat Ayahnya berbaring sebelum di kuburkan.

Matanya menatap lurus kedepan namun tanpa ada cahaya di dalamnya. Dan orang-orang di sekitarnya tidak ada yang berniat menganggu gadis itu. Membiarkannya tenggelam dengan pikirannya yang masih berantakan.

Namun, ada satu orang yang tidak peduli dengan kondisi Arisa, berjalan mendekati gadis itu dan duduk di sampingnya. 

"Saya minta maaf." Hanya itu yang di ucapkan sang pria yang tidak lain adalah dokter Daniel. Pria itu bahkan tidak memandang Arisa dan hanya mengikuti arah pandang gadis itu sebelum beralih memandang sang dokter. Menatapnya penuh kebingungan dan berakhir dengan air mata yang kembali mengalir di pipinya membuat Daniel mau tak mau memeluk gadis itu mencoba menenangkannya. 

Tidak peduli dengan tatapan keluarga Arisa yang masih berada di rumah duka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status