Share

Chapter 3 : Bagaimana Bisa?

"Bagaimana bisa pekerjaan kalian seburuk ini, hah? Aku membayar kalian untuk menghapus semua artikel tentangku! Bukan membuatnya semakin berkembang biak!" seru kesal Bia.

Mempekerjakan beberapa orang untuk menghapus artikel dan mencari tahu dalang dari semua ini sepertinya sia-sia saja.

Bukannya menghilang, justru foto-fotonya semakin terpajang di semua situs media! Jika seperti ini, bisa ia pastikan kalau Karina sudah tahu hal ini.

Bia menghela berat. Ini sudah larut malam dan Karina masih diam. Tidak ada panggilan atau orang berbaju hitam yang datang untuk menyeretnya pulang.

"Besok pagi, kalian harus sudah mendapatkan semua informasi tentang orang itu!" perintah Bia dengan tegas, kemudian mengakhiri panggilannya.

"Ulah siapa ini?" batin Bia seraya meremas sebal ponselnya. "Siapapun itu, dia sungguh menggenal aku dan Sindari dengan baik," lanjutnya berbisik.

Menyugar rambut panjangnya ke belakang. Bia menunduk dan menghembuskan napas frustasi. Memandang lantai keramik putih dengan pikiran yang terus menerka, apakah Karina sedang merencanakan sesuatu? Diamnya Karina justru membuat Bia semakin cemas. Bia sampai menginap di rumah Aretha malam ini.

Bia tidak berani untuk pulang, ia takut jika pulang nanti. Sang ibu akan langsung menikahkannya atau bisa lebih buruk dari itu.

Ugh! Membayangkannya saja Bia tidak mau!

"Bi?" panggil Aretha yang baru keluar dari kamar mandi. Rambut basahnya sedang dikeringkan dengan handuk kecil. "Belum dimakan juga?" lanjutnya bertanya saat melihat piring yang terisi pasta masih utuh.

"Kamu benar tidak ada kenalan yang bisa mengatasi ini?" tanya Bia, mengabaikan pertanyaan Aretha. Berjalan ke arah ranjang dan melemparkan tubuhnya ke atas ranjang.

"Dengar ... kalau aku punya kenalan sehebat itu, tanpa diminta olehmu pun aku sudah menyuruh mereka membantumu."

"Tuhan, hancur sudah masa depanku," gerutu Bia, mengasihani masa depannya. Rintangan untuk melawan tradisi keluarga Sindari benar-benar sulit. Ada saja yang membuatnya merasa seperti ini, rasa ingin menyerah dan tunduk pada Karina.

Aretha terkekeh, lalu melempar asal handuk kecilnya ke sofa yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Wanita bersurai pendek itu pun ikut merebahkan diri di samping Bia. "Menikah saja, lalu racuni suamimu."

"Good idea!" balas Bia cepat. Matanya berbinar senang seolah sudah mendapatkan sebuah ilham.

"Meski nanti polisi tahu kamu membunuh suamimu, ibumu tentu tidak akan membiarkanmu menjadi tersangka, benar 'kan?" balas Aretha, wajahnya dipenuhi dengan senyuman licik.

"Benar, mau tidak mau orang tua itu akan tetap memilih untuk melindungi martabatnya."

Karina benar-benar terobsesi dengan takhtanya. Apapun akan Karina lakukan demi menjaga nama baik Sindari. Bahkan rela menjual anak perempuannya demi memperkuat nama Sindari. Menjual dengan topeng berlabel pernikahan.

"Tapi, Bi ...." Aretha menggantung kalimatnya. Mempertimbangkan, apakah pikiran gilanya pantas untuk diutarakan?

"Apa? Kenapa tidak dilanjutkan?" ujar Bia, keningnya mengerut tak sabar. Menatap dengan binar penuh rasa penasaran.

Bia memang seperti itu, tipe wanita yang mudah penasaran. Pun hanya memiliki rasa sabar setipis tisu.

"Ah tidak penting juga, tetapi menurutku ... ini kesempatan bagus," lanjut Aretha.

Bia terdiam. Berpikir, mengapa foto-foto yang tersebar dianggap Aretha sebagai sebuah kesempatan bagus? Ah .... "Tidak, itu ide gila. Aku tidak setuju dengan idemu," tolak Bia. Ia paham apa yang Aretha inginkan dan baginya, itu ide yang cukup gila.

"Bi--"

"Wanita itu sangat membenci dunia permodelan. Jadi, buang saja jauh-jauh idemu itu," sela Bia. Tangannya terlipat di depan dada, memandang langit-langit kamar yang hanya diterangi lampu tidur.

Dengan dirinya menjadi model eksklusif Aretha saja, sudah membuatnya cukup was was. Bia memang selalu menentang aturan sang ibu.

Namun, Bia cukup tahu batasan. Jika ia sungguh menyinggung luka sang ibu, ent

ah balasan apa yang akan ia dapatkan dari Karina.

Mungkin, diasingkan di pulau terkecil dan dicoret dari daftar warisan.

Bia tidak terlalu peduli jika tidak lagi menyandang marga Sindari. Akan tetapi, jika diasingkan ... dirinya terlalu cantik untuk hidup di pulau tak berpenghuni!

Aretha mendebas keras napasnya dan ikut memandangi langit-langit kamar. Situasi yang cukup sulit bagi mereka. Melawan seseorang yang entah siapa, ditambah dana di saku mereka pun terbatas.

Yah ... Bia hanya perlu menyiapkan mental untuk menerima perjodohan dari Karina.

Oh, tentu dengan rencana pelengkap mereka ... yaitu, meracuni suami Bia nanti.

Aretha menoleh, memandang iba pada Bia. Bagaimana bisa, anak dengan masa depan cerah. Anak dengan latar belakang yang bisa membuat siapapun iri, saat ini masih betah bersusah payah bahkan betah untuk terus berada di sampingnya.

Aretha, si anak miskin yang tidak memiliki ayah.

Setiap hari, menonton dan menyaksikan betapa pusing dan beratnya hidup menjadi seorang Bia. Meski mungkin, kesulitan itu tercipta karena keputusan Bia sendiri.

"Ayahmu--" Dering nyaring ponsel Bia menghentikan niat Aretha yang baru saja ingin membahas hal tabu.

Dua pasang mata langsung menatap horor layar ponsel Bia. Dion Mahesa menelepon Bia--yang artinya--Karina sudah mengetahui soal ini.

Sial!

Bia segera menegakkan tubuhnya. Duduk, lalu berdeham beberapa kali agar suara hati yang gelisah tidak bisa didengar Dion, si pria cerdas.

"Bi, jangan diangkat!" cegah Aretha yang sudah ikut duduk, bahkan debar jantungnya mungkin juga tidak kalah cepat dengan Bia.

"Beda cerita kalau wanita tua itu yang meneleponku," balas Bia. Ibu jarinya sudah bersiaga untuk menekan ikon hijau di layar ponselnya.

Aretha kembali mencegah. "Dia dan ibumu adalah sekutu!"

"Ah!" Bia memekik bukan karena ucapan Aretha, tetapi karena nama Dion redup dari ponselnya.

Sungguh ajaib, suasana tenang bisa langsung berubah ramai hanya karena satu panggilan saja. Entah akan segaduh apa jika Karina yang langsung menghubungi Bia.

"Haah ... syukurlah," lega Aretha. Perlahan degub jantungnya berangsur normal. "Cepat matikan ponselmu," lanjutnya memerintah. Sungguh, semakin lama berteman dengan Bia, mungkin umurnya akan semakin berkurang.

"Syukurlah?" gumam Bia, lalu dengan cepat menekan angka nomor dua.

"Kamu gila, Bia!" pekik Aretha, melihat panggilan Bia sudah tersambung.

"Dion bisa menjadi sekutuku," bisik Bia pada teman yang sudah pucat di sana. Mengingat sikap Dion waktu itu, Bia pikir Dion mungkin akan mau membantu dirinya. Yah, walau tidak begitu yakin. Namun, Bia ingin tetap mencobanya.

"Ada--"

"Nona, Nyonya Karina meminta anda untuk segera datang ke rumah utama."

Bia mengerutkan dahi. Rahangnya mengeras menahan emosi. "Apa wanita tua itu ada di sampingmu?" tebaknya. Dion selalu berbicara formal dengannya hanya ketika ada Karina.

Mendengar ucapan Bia, Aretha semakin mengguncang tubuh Bia. Aretha ingin Bia segera mengakhiri panggilan itu.

"Tidak."

Singkat sekali jawaban Dion. Terlalu singkat dan dingin sampai mengundang tarikan sinis bibir Bia.

"Benar. Wanita itu pasti ada di sampingmu," balas Bia tidak percaya. "Kalau begitu, tolong sampaikan pada wanita terhormat di sana. Dengan berat hati, aku tidak bisa mengikuti perintah nyonya Karina."

"Nona, anda harus segera datang ke rumah utama dan saya, sudah berada di depan rumah sewa nona Aretha."

Hah? Bia membelalakkan matanya, kemudian segera beranjak dari ranjang dan membuka tirai tipis yang menutupi jendela kamar.

Tidak luput, Aretha juga mengikuti tingkah impulsif temannya itu.

Dua wajah terkejut tidak bisa disembunyikan. Melihat Dion dengan santainya menatap mereka, serta lima orang berbaju hitam yang sejak siang tadi sudah Bia bayangkan kedatangannya.

Sial! Bagaimana bisa Dion tahu keberadaan rumah ini. Padahal Bia dan Aretha menyewa tempat itu atas nama orang lain.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status