Share

Chapter 9 : Tidak Percaya

"Hei, apa terjadi masalah di sana?"

"Huh?" Bia mengedipkan mata. Lamunannya tersadar kembali setelah mendengar teguran Aretha. "Ah, tidak ada. Bukankah sudah kubilang, orang-orang di sana terus saja memujiku," lanjutnya. Masih belum jelas. Jadi, Aretha tidak perlu tahu tentang pria yang menandang benci padanya di lobi tadi.

Aretha yang sedang mengemudi pun melirik curiga. "Aku bersyukur kalau memang seperti itu. Ingat Bi, jangan membuat masalah seperti saat kamu bekerja di restoran dulu."

"Hei! Dulu itu bukan kesalahanku! Ya, Tuhan ...." Bia mengelak tidak terima. Kenapa juga Aretha masih mengingat kejadian itu? Itu pengalaman yang cukup menyebalkan! Baru bekerja satu hari, ia sudah dipecat.

"Iya, itu bukan salahmu. Pokoknya, selama mereka tidak melecehkanmu. Ingat untuk selalu menahan emosimu," saran Aretha seraya memutar kemudi untuk mencari tempat parkir. Mereka sudah sampai di sebuah restoran.

"Ya Tuhan ...." Bia menghela napas sembari memutar bola mata. "Apa di matamu aku terlihat seperti anak kecil?" keluhnya.

"Bukan begitu. Aku hanya cemas kamu melakukan hal bodoh hanya karena emosi sesaat."

Haah ... Bia menghela napas panjang dan menyenderkan punggungnya ke kursi. Melipat kedua tangan di depan dada. "Itu diriku yang dulu, Tha. Sekarang aku sudah menjadi wanita penyabar. Yah, selama orang-orang yang aku temui tidak bertingkah di luar batas kesabaranku, aku akan diam."

Aretha mengulum senyum sambil melepas seatbelt. Sedikit merasa lucu, sebenarnya mereka ini teman atau seorang ibu yang mencemaskan masa depan anaknya?

Sejak kenal dengan Bia, baik Aretha atau Dion selalu dihantui rasa cemas tentang apa yang akan Bia lakukan. Bia itu suka sekali mengambil tindakan impulsif.

Namun, sekarang yang tersisa di samping Bia hanyalah Aretha. Jadi, sudah menjadi kebiasaan Aretha selalu menanyakan bagaimana keseharian Bia.

Bia dan Aretha pun turun dari mobil Aylax yang dulu pernah Bia hadiahkan untuk Aretha. Kado terakhir yang Bia beli dengan semua uang tabungannya.

Dayfood. Sebuah restoran sederhana yang berada dipinggir jalan. Tempat parkir pun terbatas. Dayfood adalah restoran pertama yang akan Bia dan Aretha kunjungi ketika perut mereka kelaparan.

Masuk ke dalam restoran. Suasana juga dekorasi ruangan masih saja nampak sama sejak pertama kali mereka menjejakkan kaki ke sana sewaktu kuliah.

Benar-benar sederhana ruangan ber-Ac di sana. Cat berwarna putih, lampu hias yang tertanam di langit-langit. Serta hiasan tanaman yang mengisi beberapa sudut ruangan. Pun hiasan air mengalir di jendela kaca.

Memberi kesan elegan dan tenang.

"Selamat datang mbak Retha," sapa seorang pria berkemeja Biru. Lebih tepatnya anak dari pemilik restoran. "Selamat datang juga mbak Bia," lanjutnya sambil menjajakan senyum ramah. "Mau pesan menu spesial malam ini?"

Aretha pun menimpali dengan tarikan dua sudut bibirnya, kemudian menepuk pelan bahu Aditya. "Nah, untuk malam ini kita pesan menu seperti biasa saja," balasnya, kemudian menarik kursi yang ingin diduduki.

Aditya yang mengerti pun langsung menganggukan kepala.

"Ah, berikan aku tortilla spinach saja, Dit," sambar Bia yang sudah duduk di kursi.

Aditya terdiam sejenak. "Em, mbak Bia sedang diet?"

Diet? Tawa ringan seketika menyambar, menjawab pertanyaan si anak Dayfood. Tawa yang juga mengundang kerutan di dahi Bia. Apa pesanannya begitu lucu? Pikir Bia heran.

"Mulai sekarang, tolong berikan dia menu diet setiap kali kami ke sini," saran Aretha disela kekehannya.

Bia yang memiliki napsu makan besar, sekarang memilih hidangan yang tidak pernah wanita itu pilih. Setiap kali disindir akan gemuk, Bia selalu berkata ... tubuhnya itu diberkati peri. Tidak akan mengembang meski sehari makan enam kali.

"Ah, benar juga. Saya sudah melihat artikelnya. Cukup kaget saat orang yang saya kenal menjadi sorotan kota dalam waktu singkat. Jadi wajar saja, kalau mbak Bia harus menjaga--"

"Salah. Tolong ya, kalian jangan salah paham," sela Bia. Dua tangannya dilipat di atas meja. "Aku hanya sedang sedikit kehilangan selera makan. Bukan--"

"Kenapa bisa sampai tidak selera makan? Kamu sakit?"

Sontak ketiga pasang mata di sana menuju ke arah yang sama. Pria berkaos biru gelap dengan hoodie abu-abu berjalan mendekati meja mereka.

Bia juga Aretha membulatkan mata. Terkejut dengan keberadaan Dion di sana. Sedangkan, Aditya memilih untuk menjauh sejenak.

Sial. Mereka lupa, kalau restoran ini juga menjadi tempat makan favorit Dion. Sudah lama sekali pria itu tidak muncul di tempat ini. Lebih tepatnya, sejak Dion lebih memilih untuk berada di sisi Karina. Jadi, kenapa bisa Dion ada di sini sekarang?

Bia segera beranjak dari kursinya. "Tha, kita pulang saja."

"Bia, kamu sungguh sedang sakit?" sambar Dion, menghalangi Bia yang baru ingin pergi. Raut kecemasan yang sama seperti pagi itu, Bia lihat kembali hari ini.

"Minggir," balas Bia tegas, raut wajahnya sungguh terlihat tidak bersahabat. Ia sedang berusaha melupakan, kenapa pria ini selalu muncul tanpa aba? Ini sungguh menyebalkan!

"Aku bertanya padamu Bia, apa kamu sakit?" sabar Dion menimpali Bia yang bisa dipastikan sangat marah dengannya.

"Keadaan Bia, bukan urusanmu," celetuk Aretha, kemudian menarik lengan Bia. Berniat untuk mengajak Bia pergi dari sana.

Hanya beberapa detik, wanita dengan potongan bob itu pun refleks menoleh seraya mengerutkan kening. Sepertinya Bia berkata jujur tentang tidak selera pada makanan, karena saat ini Aretha bisa merasakan suhu tubuh Bia sedikit panas.

"Itu urusanku." Dion menyambar lengan kiri Bia. Menghentikan dua wanita yang baru selangkah melewati dirinya. "Apapun yang berhubungan dengan Bia, sudah pasti akan menjadi urusanku. Kamu ... yang sebaiknya menyingkir," sarkas Dion, meminta dengan jelas agar Aretha tidak turut ikut campur urusan antara dirinya dengan Bia.

"Apa maksudmu?" tandas Aretha tidak suka mendengarnya. Namun ada yang lebih penting daripada sindiran Dion. Yaitu, Aretha harus segera memnawa Bia keluar dari sini. Sebab, sudah banyak pasang mata yang memperhatikan mereka.

"Kamu tidak berhak berbicara seperti itu!" timpal Bia, ikut angkat bicara. "Sebaiknya kamu kembali dan katakan pada orang tua itu. Sampai kapan pun--"

"Aku keluar."

Baik Bia dan Aretha terdiam mendengar kata ambigu itu. Dion mengulum senyum tipis, jemarinya menyibak anak rambut Bia. Tidak peduli pada orang-orang di sana yang sedang menonton pertengkaran mereka. Tidak bisa Dion pungkiri, hatinya sudah sangat merindukan wanita yang ada dihadapannya itu.

"Aku berhenti dan memutuskan untuk mengikutimu."

Hah! Bia mendengus tidak percaya. Tindakan Dion dan Karina kini sudah keterlaluan. Sampai akhir orang tua itu masih ingin mengikat hidupnya dengan memakai Dion.

Bia menepis tangan Dion. "Aku tidak peduli," serunya, kemudian melanjutkan langkah pergi dari sana.

"Jangan lemah!" tegas Aretha yang diseret Bia. Genggaman tangannya semakin dieratkan.

"Tidak akan."

Benar. Tidak akan lagi ada Bia yang lemah dengan perasaan mengikat untuk pria bernama Dion Mahesa. Bia sungguh tidak percaya kalau pria itu memutuskan untuk mengikutinya.

Bia tahu, tidak akan semudah itu untuk bisa lepas dari jeratan Karina.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status