"Eh, jangan asal, ya?" Kama mulai tersebut amarah. "Aku nggak kenal siapa kamu. Jangankan gula-gula, tebu atau apa pun itu yang kamu bilang tadi. Dengar baik-baik, ya? Selain istriku, aku nggak pernah menyentuh yang namanya perempuan." tandas Kama emosional. "Minggir kamu, buang-buang waktu saja!" "Ya ampun, Kama … Beneran kamu nggak inget sama aku?" Adiva, tentu saja tak sudi melepaskan Kama. Hanya dia satu-satunya jalan untuk tetap bersama Derya. "Ternyata benar ya, kata teman-temanku, selain sampah kamu juga laki-laki gila!"Braaak! Dengan sangat kasar, Kama menutup pintu mobil kembali. Bisa-bisanya wanita yang tak dikenalnya ini bersikap lancang, merendahkan? "Hei, apa-apaan kamu? Apa yang kamu bilang tadi? Woi, sadar, woi! Bukan aku yang sampah, gila atau apa pun itu yang kamu tuduhkan tapi kamu. Buktinya? Kamu datang dengan cara misterius dan membuat masalah denganku. Sampah sekali kan, itu? Gila!""Eh, santai dong, Kama? Kok, malah jadi semeledak ini, sih? Ya ampun, malu don
Bencana!Mamak video call. Kama pun tertindih buah fiktif bernama simalakama seketika. Diangkat, tidak tahu harus berkata apa? Tidak diangkat, Mamak pasti curiga. "Ha, jangan-jangan Mamak telepon El tadi?" tanya hatinya begitu kuat. "Gawat!"Kama baru saja berpikir untuk mematikan ponsel ketika tiba-tiba ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Sempat ragu tetapi akhirnya diangkat juga, dengan harapan itu adalah seseorang yang telah menculik Seika. Bahkan, Kama tidak memikirkan segala resiko yang mungkin terjadi. Terpenting Seika dapat ditemukan dalam keadaan sehat dan selamat tak kurang satu apa pun. "Ha---Halo!" sapa Kama gugup sambil mengurangi kecepatan laju mobil, menepi. Sekarang mereka sudah sampai di Jalan Parangtritis KM 5. Menurut alamat yang tertera di denah, sebentar lagi akan sampai di tempat persembunyian Derya. "Ini dengan siapa?""Ini Mamak, Kama! Pakai nomor abangmu yang baru. Kalian lagi di mana ini, Mamak telepon dari tadi kok, nggak diangkat?"Dug! Sekeras it
"Oh, Leon, terima kasih!" Seika tak mampu menutupi perasaan haru yang menyergap. "Aku nggak tahu gimana ceritanya kalau nggak ada kamu!" Sungguh, Seika merasa baru saja diselamatkan dari bencana alam yang begitu besar. Lebih besar dari tenggelamnya kapal Titanic, baginya. Bayangkanlah!Saat Leon berhasil menyusup masuk ke dalam rumah, Derya sedang bersiap-siap untuk menikahinya. Sudah duduk berhadapan dengan penghulu, dikelilingi oleh para saksi.Seumur hidup, baru kali itu Seika terlibat dalam sandiwara paling gila. Drama paling menguras emosi, tenaga jiwa dan raga. Bukan hanya melibatkan orang dewasa, Derya juga melibatkan Firdaus, seolah-olah penculikan itu adalah sebuah permainan anak-anak. "Serius, aku bahkan sudah berpikir untuk membawa Firdaus juga. Biar kami sama-sama nggak selamat, karena kasihan sekali kalau sampai dia jatuh ke tangan Derya untuk selamanya. Oh, dia tuh terlalu kejam untuk ukuran manusia. Terlalu jahat."Leon tersenyum simpul, menarik napas lega. "Sama-sam
"Jadi kan, Kak Seika, Mbak Welas ngasih kabar ke kami kalau Kakak hilang. Nah, terus Kakak minta tolong Leon untuk pergi ke rumah kalian. Siapa tahu kalian butuh bantuan. Eh, ternyata kosong rumahnya." Sekar mengawali ceritanya, sementara Leon masih merangkul dari samping kanan, menguatkan. "Akhirnya kami ke Real Publishing. Eh, Bang Kama juga nggak ada di sana. Nah, terus Leon tanya ke bagian resepsionis. Iya kan, Leon?"Leon mengangguk, tersenyum sedih. "Iya, benar. Aku tanya, Kama berangkat ke kantor apa nggak? Katanya berangkat, setengah hari. Kembali sebentar menitipkan Firdaus ke Vivi, pegawai di bagian administrasi. Terus pergi lagi. Nah, nggak berapa lama dari itu, si Vivi itu tadi pergi juga, membawa Firdaus.""Dari itulah kami mulai curiga, ada yang nggak beres pasti!"Leon membenarkan kesimpulan yang dibuat Sekar. "Aku memberanikan diri masuk ke ruang kerja Bang Kama. Mana tahu ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk." lanjut Sekar sambil melepaskan diri dari rangkulan Le
"Saya minta, kamu segera mengatasi masalah ini, Derya!" tandas Menir Hank pada Derya yang duduk gelisah di depannya, "Saya tidak mau Seika sampai terjatuh ke tangan Kama yang tidak berkelas itu. Kalau perlu singkirkan dia dari muka bumi ini!" Sampai di sini Menir Hank memandang Derya dengan mata terpicing penuh kemarahan. Dahinya berkerut-kerut seperti kulit cakar ayam. Derya semakin gelisah. Benar, dia mendambakan cinta Seika tapi kalau sampai harus menghilangkan nyawa seseorang, sama sekali tak memiliki nyali. Kalaupun ada, sangat kecil persentasenya. Tak lebih dari lima persen. "Ta tapi, Menir?" tanya Derya di puncak tertinggi kegelisahannya, "Sa saya …?" "Tapi apa, Derya?" tanpa ampun Menir Hank menyudutkan Derya. Dia tak mau tahu. Karena Derya yang membawa informasi super penting ini maka dialah yang harus membantu menyelesaikan. Lagi pula, Menir Hank juga perlu tahu, apakah informasi ini valid atau tidak. Masalahnya selama ini dia tak pernah menangkap sesuatu yang aneh da
Dug! Betapa terkejutnya hati Seika begitu membaca pesan Welas di chat room. Bagaimana bisa dia melupakan sesuatu yang sangat penting dan mungkin saja berarti dalam hidup Kama, kekasihnya? Dia merasa seluruh otaknya sudah mengalami konsleting dalam sekejap mata sehingga macet total untuk beberapa saat lamanya. "Seika, kamu nggak apa-apa?" Kama bertanya dengan kekhawatiran menjalar cepat menuju hati, "Kamu baik-baik saja, kan?" Diperhatikan setulus itu oleh urat nadinya, kulit wajah cantik alami Seika berubah menjadi merah jambu. Senyum manis tergambar lamat-lamat membuat Kama menarik sebuah kesimpulan sederhana. Mungkin belahan jiwanya teringat sesuatu yang jauh lebih penting dari pada makan siang bersamanya. Dia juga berpikir, mungkin Seika meninggalkan sedikit pekerjaan di ruangannya. "Oh, Kama … Aku, aku minta maaf ya?" "Lho, kok minta maaf? Untuk apa, Seika?" "Aku benar-benar melupakan sesuatu dan sepertinya sekarang harus kembali ke ruang kerja. Oh Kama, maafkan aku karena
Di puncak kegelisahannya, Menir Hank menanti kepulangan malaikat kecilnya, Seika Eline di balkon. Dari sanalah dia terus memandang ke arah pintu gerbang utama, tak lekang meski oleh hembusan angin sore yang mulai mengantarkan dingin. Baginya, Seika adalah segala-galanya dalam hidup ini. Harta yang paling berharga, tiada tara. Bagaimana bisa, dia abai seperti ini? Sampai-sampai tidak tahu kalau di belakangnya Seika sudah berjaya dengan perusahaan penerbitannya sendiri. "Aku tahu itu perusahaan Seika tapi tak pernah menduga kalau dia akan senekat itu!" gumam Menir Hank sambil menyapu wajah tampan sendunya dengan telapak tangan kanan, "Bisa-bisanya dia bekerja sama dengan Kama Nismara? Tidak tahukah Seika kalau dia itu tak sekelas dengannya? Tidak berkelas sama sekali!" Kini, Menir Hank bangkit dari tempat duduknya. Perlahan-lahan namun pasti, berjalan mendekati pagar. Berdiri di sana, memandang jauh ke bawah secara merata. Mulai dari pintu gerbang, jalan kecil beraspal yang ramai ol
"Hai, Papa!" Seika berseru riang menyapa Menir Hank yang sudah menunggu kepulangannya di beranda depan. Perlahan-lahan namun pasti Seika berjalan dari halaman rumah, seusai memastikan mobilnya terkunci dengan aman. Tak ada juga yang tertinggal di dalamnya, kecuali kado untuk Kama. Kalau itu memang satu hal yang berbeda. Dia sengaja meninggalkannya di sana. Jangan sampai Menir Hank mencium aromanya, bahaya besar. "Hai, Lieverd!" Menir Hank balik menyapa sambil melambaikan tangan, "Wah, wah, wah … Kemana saja malaikat kecil Papa, jam segini baru pulang? Detak jantung Papa sampai meningkat pesat lho, Lieverd. Dag dig dug, dag dig dug, mencemaskanmu." ungkap Menir Hank begitu Seika menapakkan kaki jenjangnya di pelataran beranda. Detik berikutnya, Menir Hank sudah merengkuh Seika ke dalam pelukan hangatnya. "Semua baik, Lieverd?" Seika menghadiahkan senyum tulus untuk Menir Hank. Senyum simpul yang terlihat manis, terutama setelah kedua lesung pipitnya ikut tampil. Wah, hati Menir Han