Deg! Jantungku serupa berhenti saat melihat wajah siapa yang muncul di dalam sana.
Orang yang tidak ingin kutemui malah pertama terlihat.
Aku mundur beberapa langkah. Hal yang manis dan pahit berkelebat lagi bersama raut wajah itu. Ingin rasanya berlari, tapi akal sehat masih menaungi.
Tenang Alina. Dia hanya masa lalu. Lupakan, lupakan.
"Allah gusti... Alina... itu kamu, Nak?" Ibu berdiri di belakang Bang Wisnu. Beliau langsung mendekatiku dan menyentuh kedua tangan. "Ini benar anak ibu? Alina?" Ibu menyentuh pipiku.
"Iya, Bu. Ini Alina."
"Allahu Rabbi... Kamu pulang.... " Ibu menangis tersedu. Beliau memelukku dan semakin tergugu.
Aku tersenyum, memeluk ibu dan mengusap punggungnya. "Iya, Bu. Alina pulang." Air mataku menggantung.
Ibu terisak-isak sampai kesulitan bernapas. Beliau melonggarkan pelukan lalu meraba lagi wajahku.
"Ibu, kangen sekali. Ini betulan ibu tidak mimpi?" Ibu menengok ke belakang, seolah meminta jawaban pada Bang Wisnu. Yang diajak bicara hanya diam mematung.
"Tidak, Bu. Ibu tidak mimpi. Ini Alina. Betul ini Alina." Aku menempelkan tangan ibu di pipiku, lalu mencium telapak tangan kasarnya berkali-kali.
"Ya, Allah... Benar ibu tidak mimpi. Kenapa kamu tidak bilang kalau mau pulang?"
"Kejutan, Bu."
"Wisnu, cepat panggilkan bapak."
Bang Wisnu langsung melangkah ke sini. Dia melirikku sebentar lantas berjalan menuruni teras. Pria tinggi kekar itu memakai sandal jepit dan melanjutkan langkah, pergi melewati pagar bambu.
"Pantas mata ibu kedutan terus, ternyata kamu pulang. Jangan pergi lagi ya... jangan... laki-laki bukan hanya Wisnu. Masih banyak yang lebih baik dari dia." Ibu tidak melepaskan pelukannya.
Aku tersenyum. "Alina sudah melupakannya, Bu," kataku bohong.
"Ya, memang harus dilupakan. Kamu layak bahagia." Ibu membelai kepalaku.
Tiga tahun tidak bertemu, perbedaan wajah ibu tampak kentara. Kerutannya semakin banyak. Uban sudah memenuhi mahkotanya. Ibu juga lebih hitam dan kurus sekarang.
"Kalau kamu sakit hati. Ibu lebih sakit. Jangan menyiksa diri lagi. Itu sama artinya kamu menyiksa ibu. Lupakan Wisnu. Lupakan Shena. Kamu harus bahagia." Mata ibu memandangku lekat.
"Iya, Bu. Ibu jangan sebut masalah itu lagi, nanti Lina malah tidak bisa lupa."
"Ah, iya. Malah ibu yang sulit lupa." Ibu mengusap air matanya dan tersenyum.
"Lina... Itu Alina." Pria tua berjalan tergopoh tanpa sandal. Beliau memakai kemeja longgar hitam dan celana panjang hitam yang kotor. Bapakku usia 60 tahun. Rambutnya sudah setengah beruban. Beliau pun terlihat lebih kurus dan hitam.
"Bapak."
"Allahu Akbar... Alina..."
"Iya, ini Lina, Pak."
Bapak menghampiri dan memeluk kepalaku. "Apa yang kubilang, anakku pasti pulang." Bapak melepas pelukannya lalu mengamati tubuhku.
"Kamu sehat, Lina... Sehat?"
"Aku sehat, Pak."
"Ini benar anak bapak?"
"Iya ini Alina anak bapak."
"Gusti... semakin cantik kamu. Lihat, Bu!" Bapak melirik pada ibu.
"Ibu juga pangling, Pak, cantik sekali anak kita sekarang ... Ayo, ayo masuk. Jangan di luar." Ibu menarikku masuk ke dalam rumah. Bapak menggerek koper. Baru kusadari ada beberapa tetangga yang berdiri di pinggir jalan menonton kami yang bercengkrama.
Aku duduk di sofa usang. Tubuh yang lelah setelah perjalanan panjang baru terasa. Kulonggarkan kerudung karena gerah.
"Tiga tahun belum ada yang berubah, ya, Bu?" Aku mengamati isi rumah. Lemari kayu, TV tabung, radio yang lengkap dengan sound system di kanan dan kiri. Semua masih sama, hanya warnanya saja sudah usang. Di sini tempat kami hidup rukun dulu. Aku dan Shena sering merujak mangga berdua di tengah rumah.
.
"Punya dua anak gadis sukanya sambal." Ibu mengomel dari dapur. "Kira-kira kalau makan sambal, nanti kalian sakit perut."
"Alah, tancap aja, Mbak. Kurang itu cabenya." Shena menambah lagi cabe yang sedang kuulek.
"Serius banyak begini, De?"
"Serius?"
"Kuat kamu?"
"Kuat. Cepetan, Mbak, sudah ngiler aku." Shena mengiris mangga kecil-kecil.
.
"Di sini begini-begini aja. Apa yang berubah, mau renop tidak ada uang." Suara ibu menyadarkanku dari lamunan. Beliau membawa segelas air teh.
"Lina mau kirim uang, kenapa selalu menolak?"
"Uangmu untuk masa depanmu saja. Kami masih cukup," timpal bapak.
Lalu kami mengobrol panjang. Siapa yang sudah tiada tiga tahun ini? Bagaimana keadaan kampung? Apa kabar saudara-saudara yang lain? Menjadi topik obrolan, setengah jam berlalu tidak terasa.
"Mbak, kenapa pulang?" Suara seseorang berdiri di pintu. Shena. Dia memakai daster dengan rambut terikat asal. Penampilannya jauh sekali dari dulu. Tubuhnya sekarang berisi alias gemuk.
Aku melirik. Lalu memilih berpaling kembali tanpa menjawab pertanyaannya.
"Malah tanya kenapa pulang. Bukannya salam hormat sama mbakmu." Bapak berdiri, nadanya mulai tegang.
"Haih. Ya aneh aja, kenapa mendadak pulang. Udah bosan jadi b a b u?"
"Shena! Jaga bicaramu." Ibu juga berdiri. "Jangan cari gara-gara lagi. Ibu dan bapak sudah renta, sudah tidak kuat lagi menerima ulahmu."
"Haih. Lebay. Memangnya apa yang salah. Benar kan. Mbak Lina jadi b a b u di Malaysia."
"Shena!" Bapak membentak.
"Sudah Pak, jangan ladeni Shena. Biarkan saja dia. Lina lapar dan ingin istirahat." Aku menengahi.
"Oh, ibu hampir lupa. Ayo, ayo, kita makan. Setelah ini istirahat." Aku, bapak dan ibu ke dapur meninggalkan Shena.
*
"Mbak, to the point aja lah. Mbak pulang ke sini mau apa?" Shena menemuiku di kamar. Dia tampak gusar atas kedatanganku hari ini.
"Loh, ini kan kampung halaman mbak. Ini juga rumah orang tua mbak. Kenapa kamu jadi gusar begitu?"
"Kenapa pake pulang? Kenapa tidak pergi selamanya? Kehadiran Mbak di sini telah mengganggu kenyamanan rumah tangga kami."
Aku tersenyum. Berusaha cuek sambil memasukkan pakaian ke dalam lemari.
"Jadi kamu takut Bang Wisnu kembali pada mbak? Lucu." Aku menggeleng tak percaya.
"Aku tidak akan membiarkan itu terjadi!"
"Tenang. Suamimu itu hanya s a m p a h. Mbak tidak berniat memungutnya lagi."
"Sombong sekali kau bicara, Mbak. Awas saja kalau sampai dekat-dekat dengan ayahnya Chacha." Shena pergi sambil mendelik.
Aku menghela napas panjang. Meredam gejolak emosi yang naik. Aku tidak ingin melihat mereka berdua. Tapi malah mereka yang nongol terus di sini.
Lagi pula, di mana kesadaran Shena. Dia yang dulu menikamku dari belakang, kenapa sekarang seolah aku yang bersalah. Bukankah seharusnya aku yang bersikap jahat padanya?
*
Malam hari di ruang tamu.
"Bu, Pak. Alina pulang ke sini untuk satu dua urusan." Aku mengawali bicara.
"Urusan apa?" Bapak mengernyit penasaran.
"Emmm. Sebenarnya ada yang ...."
Kalimatku terputus karena ada suara seng terjatuh di luar rumah dan cukup berisik. Aku, bapak, dan ibu sampai tersentak kaget.
"Sedang apa kau di sini, Bajingan!" Suara Shena kemudian terdengar.
Aku, ibu dan bapak buru-buru keluar rumah. Di sana ada Shena yang memukuli Bang Wisnu. Sementara kaleng yang merupakan pot bunga tergeletak di tanah.
"Apa ini?" tanya ibu heran.
"Ampun, aduh. Ampun, Shena." Bang Wisnu menghindari pukulan lidi yang dilayangkan Shena.
"Mengintip kau di sini, HA!"
"Ti-tidak. Aku mau bertemu bapak," sanggah Bang Wisnu.
Dari perbincangan mereka, aku mengerti kalau Bang Wisnu habis menguping.
Bersambung ....
Pov WisnuIbu mertua langsung memeluk anak sulungnya. Mereka berpelukan di luar. Sementara aku hanya diam berdiri.Lama aku tidak bertemu dengan Alina. Tapi sekarang aku masih merasa jika dia istriku, dia milikku, dan aku telah melukainya.Seandainya aku bisa kuputar lagi waktu. Tidak akan pernah kulakukan dosa itu. Sungguh hanya kenikmatan yang sesaat, kemudian membawa penyesalan yang tidak berkesudahan.Menikah bukan hanya tentang memenuhi hawa nafsu, lebih dari itu yang membahagiakan adalah: saling menghormati, menjaga, mencintai, dan saling peduli.Aku mendapatkan itu dari Alina. Senyuman manis yang menyambut dikala pulang mengajar. Wajah ceria dan penuh syukur saat kuberi uang yang tak seberapa. Raut wajah khawatir saat aku terluka sedikit saja.Sering kali aku pulang dalam keadaan badan yang pegal karena terlalu banyak olahraga. Lalu Alina memijat tubuhku. Setelahnya kami bercanda manis sekali.Dulu anugerah itu terasa biasa. Sekarang, setelah aku tidak mendapatkan itu dari Shen
Pov Alina.Aku menutup mulut saat melihat Shena memukuli Bang Wisnu. Ya Allah ... aku dulu bahkan tidak berani bicara dengan nada tinggi. Ini pemandangan apa? Apa seperti ini cara mereka berumah tangga?Aku meringis ketika lidi itu mendarat di pantat Bang Wisnu lagi dan lagi. Bang Wisnu dan Shena pergi sambil terus bertengkar."Kenapa mereka, Bu?" Aku mengernyit heran.Ibu menghela napas dan menggeleng pasrah. "Mereka sering bertengkar seperti itu."“Astaghfilullah.” Aku mengelus dada. "Seperti itu? Apa tak malu dilihat tetangga?""Ibu saja sekarang sudah kebal. Kebal dari rasa malu. Sudah pasrah, terserah mereka mau bagaimana."Aku mengelus dada lagi. Bang Wisnu pria yang sensitif kalau harga dirinya direndahkan. Bersama Shena dia bukan direndahkan lagi, malah dipukul depan umum. Apa mungkin itu buah dari perbuatannya? Bang Wisnu memang tidak punya harga diri, kan?"Ayo kita masuk lagi." Bapak mengajak kembali ke dalam rumah. Aku dan ibu mengikuti.Pria yang memakai sarung itu langsu
"Sadar diri saja!" Perkataan Alina menancap di kepala. Dari nadanya aku dapat mengerti kalau dia amat benci.Aku menghela napas panjang. Dari kejauhan adzan Asar berkumandang. Aku berlama-lama merenungi diri di pos ronda.Jauh di lubuk hati, sebenarnya aku ingin kami kembali. Berumah tangga dengan Alina seperti dulu kala. Namun kini rasanya tak mungkin.Aku menggeleng kecil sambil memikirkannya.Otakku ini seperti kodok yang meloncat-loncat dari satu adegan ke adegan lain. Alina yang berdiri di depanku dengan pandangan mata yang menyala. "Di rumah ini ada yang bukan muhrimmu. Jadi TOLONG. Gunakan etika!" Teriak dia yang sudah berganti pakaian.Menit sebelumnya kumelihat dia dengan pakaian pendek lalu dengan sekejap berganti jadi serba tertutup. Dia menutupi auratnya padahal aku sudah mengetahui luar dan dalam.Aurat?Muhrim?Tunggu Wisnu, bukankah ada yang salah di sana? Sisi hatiku berbicara. Kemudian aku menyusuri setiap ingatan dalam kepala. Benar sepertinya ada yang salah.Dulu ke
Pov Alina Aku dan ibu masak besar. Daging, sayur, lalapan... semua ada. Bahkan kupersiapkan makanan kesukaannya: roti canai. Dapur kecil yang kurang resik ini dipenuhi banyak aneka bahan makanan, berserakan di meja dan lantai. "Apa kita tidak harus masak masakan Malaysia?" Suara spatula bertemu wajan besi menjadi musik pengiring kalimat ibu. Beliau sedang memasak daging. Harum lengkuas dan bumbu rempah lainnya menguar di sini. Aku mencuci daun bawang dan mengirisnya. "Untuk apa jauh-jauh datang ke Indonesia kalau mau makan makanan Malaysia. Justru karena ini Indonesia kita harus menyediakan yang berbeda." "Kalau dia tak suka bagaimana?" "Ya, terserah. Itu kan yang ingin kita lihat. Bagaimana cara dia menyikapi perbedaan yang ada." Ibu menghentikan gerak tangannya. Suara spatula bertemu wajan berhenti, berganti jadi nada letupan air kuah daging. Beberapa detik ibu bengong melamun. "Kalau laki-laki itu pria yang pantas, kamu akan pergi jauh dari ibu lagi." "Alina lebih baik pergi
Matahari telah terbenam meninggalkan warna biru langit yang cerah. Adzan Magrib berkumandang dari segara arah. Hilir angin sejuk menyapa wajah.Kami bukan keluarga dengan tingkat keimanan tinggi. Bapak jarang pergi ke masjid, dan kami pun tidak berjamaah di rumah. Shalat hanya sendiri-sendiri. Bapakku hanya petani yang menghabiskan waktu dari pagi sampai sore. Sering meninggalkan kewajiban lima waktu. Aku pun tidak berani menegur karena segan. Ah, lagi pula imanku pas-pasan hanya saat lagi banyak ujian saja aku berlama-lama menghadap Tuhan, bagai mana bisa meluruskan orang tua.Bang Rasya sudah mandi di WC kami yang jelek, pintunya lapuk dan temboknya tergerus waktu. Maklum, bangunan ini memang sudah lama."Masjid kat mane, Dik." Bang Rasya berdiri depan kamar yang kami sediakan. Dia memakai koko dan sarung, lengkap dengan kopiah. Wajahnya bercahaya, segar, juga harum. Mana ada yang mengira dia sopir."Agak jauh, Bang. Abang bisa pilih yang kanan jalan atau yang kiri jalan. Jaraknya h
Pov WisnuSore hari di teras rumah.Aku duduk dengan kedua tangan menarik lutut. Mata tertuju pada jeep merah yang terparkir cantik.Pemilik mobil itu mengaku sebagai calon suaminya Alina. Pasti dia bukan orang yang biasa. Dari penampilan dan kendaraannya jelas sekali orang kaya. Aku senang jika Alina sudah tidak terpuruk seperti dulu. Tetapi sisi lain dalam diri masih tak ikhlas. Jauh di dalam hati, nama Alina masih terukir dengan tinta emas.Sudahlah, Wisnu. Bukankah sudah terlalu banyak kau menyakiti Alina? Sekarang biarkan dia bahagia.Benar. Alina harus bahagia. Tapi masalahnya, apa aku bisa melihat dia bersanding dengan orang lain? Memikirkannya saja sudah membuat kepalaku pusing. Brengsek memang, dia kukhianati tapi tak boleh dengan orang lain.“Kukira orang kaya, ternyata cuma supir.” Seperti biasa, Shena pulang dengan mengomel. Wanita yang semakin berisi itu melirik jeep merah lalu melanjutkan kalimatnya. “Haih, mobilnya ternyata cuma sewa.” Shena melenggang lagi melanjutkan
Aku hilir mudik menunggu Bang Rasya. Ke mana dia pergi? Kampung ini kan bukan tempat tinggalnya. Mana pergi tak bilang-bilang pula. "Cari siapa, Lina?" tanya bapak yang melihat kekhawatiranku. "Bang Rasya. Ke mana, ya, kok lama perginya." "Bapak lihat ngobrol sama Wisnu tadi. Mungkin masih di sana." "Di mana, Pak?" Aku mengernyit tegang. "Di rumah Shena." Ya Allah. Aku duduk dan memegangi dada. Jangan sampai hal yang dulu kejadian lagi Ya Allah. Jangan. Sungguh aku tidak akan bisa hidup jika itu sampai terjadi dua kali. Jantungku berdetak tak beraturan, telapak tangan mulai dingin. "Lin, kamu kenapa pucat sekali?" Bapak langsung duduk menyentuh lenganku. "Alina takut kejadian yang dulu terjadi lagi, Pak. Bang Rasya kenapa pergi ke rumah Shena?" Bapak mengusap-usap punggungku. "Tenang, tenang, istighfar, Rasya ngobrol sama Wisnu di depan rumah sambil ngopi ... Tenang, istighfar, tidak akan terjadi apa-apa. Atau bapak suruh Rasya pulang?" Bapak memiringkan wajah demi melihat r
Malam hari di ruang tengah."Pak, Bu. Saya tak bisa lama-lama kat sini. Sebetulnya kedatangan saya kat sini nak lamar Alina." Pria berkopiah itu bicara. Raut wajahnya menenangkan."Nak Rasya serius? Sudah benar yakin pada anak bapak?""Tentu saja, Pak. Tak kan saya datang jauh-jauh ke Indonesia bila tak serius. Saya sungguh ingin menikahi Alina. Ibu saya pun dah setuju."Bapak diam. Menunduk berpikir. "Begini Nak Rasya. Anak bapak pernah dikecewakan. Bapak tidak ikhlas dunia akhirat jika anak bapa terluka lagi. Bapak tidak akan memberikan Alina jika Nak Rasya tidak bersumpah demi Allah akan membahagiakan anak bapak dan tidak akan pernah menyakitinya."Jujur. Aku tidak suka cara bapak dan ibu bersikap baik pada Bang Wisnu juga Shena. Harusnya bapak menghapus mereka dari silsilah keluarga. Tapi sekarang aku mengerti, betapa bapak menyayangiku. Pria lanjut usia ini hanya mau merangkul semuanya."Maaf Pak, saya tak bisa mempertaruhkan nama Allah Yang Maha Besar. Saya tak mau mempertaruhka