Share

Bab 3

Seperti pagi dari ratusan pagi semenjak aku sukses dan paling banyak terlibat dalam perkembangan bisnis perusahaan tempat aku bekerja sekarang, kesibukan seperti tak memberiku celah untuk bernapas lega. Terlebih berleha santai. Meski hanya untuk menikmati secangkir kopi di teras rumah menjelang kerja. Itu jauh sekali untuk direalisasikan kecuali memang kupaksakan.

Begitu tiba di gedung perusahaan segera aku menuju ke kantor yang berlokasikan di lantai paling atas. Hampir sejam aku terlambat. Semoga sekretarisku bisa menjelaskan ke yang lain alasan keterlambatanku. Usai kejadian tadi aku bergegas ke kantor dengan lebih hati-hati di jalan. Ancaman pengendara resek tadi tak begitu kuhiraukan.

“Terserah jika belum kelar. Kutunggu kapan kau siap, brother. Catat di kepalamu nomor mobilku sekalian jika kau menganggap ini belum kelar. Kapanpun aku siap untuk meneruskan ini jika itu maumu.”

Itu kalimat oleh-olehku padanya. Orang-orang di sekitar yang melerai kejadian itu segera menetralkan kondisi jalanan yang macet setelah memintaku buru-buru pergi dari tempat itu. Dan syukurlah, sekarang aku sudah tiba di kantor.

“Selamat pagi, Pak.”

“Selamat pagi Pak David.”

“Selamat pagi boss.”

Sapaan ramah dari para karyawan yang kujumpai di sepanjang rute ruang kantor, aku respons sekadarnya. Aku tak memiliki banyak waktu untuk sekadar merespons melebihi senyum dan anggukan kepala.  Kupercepat gerakku agar lekas tiba di dalam ruangan. Tak menunggu waktu yang lama akhirnya tiba. Sedetik kemudian raga dan segenap jiwaku segera ditelan oleh kesibukan yang sering kali tak mengizinkanku menikmati momen santai seperti yang kebanyakan orang bisa lakukan. Hari ini entah kenapa rasanya sangat sibuk sekali. Lebih tepatnya hari ini seperti hari tersibuk yang seolah tak ada hari yang telah kulalui melebihi sibuknya hari ini.

Kadang satu kesibukan bisa mengabaikan banyak hal bahkan juga keluarga.

“Selamat pagi, Pak David.” Sapaan dari sekretarisku dan 2 karyawan lain yang sudah menunggu di depan pintu ruangan kerjaku.

“Pagi Sheilly. Pagi semua. Maaf menunggu lama. Izin ke dalam dulu ya.”

Mereka mengangguk mempersilakan. Tak lama kemudian kupersilakan mereka masuk. Di belakangnya sudah mengantri dua karyawan bagian pemasaran yang sudah dua hari yang lalu ingin berkonsultasi terkait pemasaran dan strategi yang katanya baru dan jitu. Melihat semua yang sedang dan akan kuhadapi itu amat penting, maka aku harus pandai memprioritaskan yang lebih penting tanpa mengabaikan yang tak lebih penting.

 “Ini berkas-berkas yang harus Bapak tandatangani,” Sekretaris yang sabar dan selalu menurut itu ingin meminta persetujuan tertulis atas tawaran proyek yang kemarin kusepakati.

Ia meminta izin untuk menaruh beberapa lembar kertas penting yang harus kutandatangani. Sementara dua karyawan yang satu duduk dan sisanya berdiri karena kehabisan tempat.

Aku mempersilakan dan sekretarisku mengangguk dengan senyum manisnya.

“Berapa prediksi nilai besaran yang akan masuk ke perusahaan kita dari proyek ini, Sheil?”

Tanpa basa basi aku segera ke inti persoalan. Mendengar intonasi dan nada suaraku yang serius muka leganya berubah tegang. Grogi lebih tepatnya.

Seperti sudah disiapkan jawabannya semalam, sekretarisku bersiap menjelaskan tapi tiba-tiba handphone yang masih berada di genggamanku memekik. Ada rasa kesal yang membuncah dan mendadak ingin segera kumuntahkan. Sebelum itu terjadi kulihat siapa yang mengganggu momen penting itu. Ternyata panggilan dari Ayah. Tak ada waktu untuk berbasa basi. Aku reject panggilan masuk itu meskipun entah sepenting apapun. Kuminta sekretarisku melanjutkan.  

“Ratusan miliar Pak, dan dipastikan akan terus merambah ke angka triliun jika pemasarannya berjalan sesuai prosedur dengan segala inovasi dan kreativitas yang kita miliki.”

Superb! Ini yang selama ini kutunggu-tunggu.

Lalu, kutoleh dua yang lainnya sebagai isyarat mereka harus bersiap-siap karena sekarang gilarannya berbicara.

“Sebelum kalian berkonsultasi, saya ingin mendengar terobosan baru apa yang kalian tawarkan?”

Aku mendengarkan dengan seksama penjelasan yang singkat dan padat sesuai permintaanku. Baru seperempat jawaban dipaparkan handphone itu kembali memekik. Sialan! Rasanya kegembiraan sesaat yang kurasakan nyalanya tadi sekejap redup. Sejak di mobil yang berujung ricuh itu panggilan ayah lagi-lagi memecah fokus dan memunculkan rasa sebal. Sekali lagi tak kuhiraukan panggilan yang telah menggeser mood-ku itu.

Klik!

Kupencet tombol reject. Hatiku mulai sebal namun masih tertahan. Aku meminta karyawan yang tak lain adalah manager marketing memberikan penjelasan yang tadi sempat terpotong. Ia menjelaskan dengan sangat baik. Tak salah aku merekrut mereka dan kini menjadi bawahannku.

“Tinggal beberapa langkah lagi dan menunggu deal-deal selanjutnya dari internal perusahaan maka angka fantastis itu segera bermigrasi ke rekening perusahaan, Pak. Beberapa bagian sudah menyetujuinya dan tinggal sisanya. Kami pikir akan mudah mendapat persetujuan dari semua divisi yang bersinggungan dengan bagian kita, mengingat ini hajat bersama untuk perusahaan. Namun, kami merasa kesulitan mendapatkan deal dari Pak Lucas selaku pemegang kendali atas divisi mereka yang beralasan ini itu,” imbuh Sheily.

Kesebalanku mereda. Bibirku menyungging senyum bahagia atas laporan mereka. Namun, kenapa dengan Lucas?

“Kenapa dengan Pak Lucas? Bukankah selama ini di depanku dia selalu setuju dan iya iya saja?"

“Entahlah Pak. Kami juga tidak tahu.”

“Baik, nanti saya tanyakan langsung saja. Lalu kapan sebaiknya kita adakan rapat internal perusahaan untuk mengeksekusi ide segar ini?” Tanyaku spontan. Sekretarisku segera tanggap.

“Melihat jadwal Bapak kira-kira hari…..” belum sempat ia menggenapi, handphone sialan itu lagi-lagi merusak tak hanya suasana hatiku melainkan juga suasana di kantor pagi ini. Perasaan yang terkumpul sedari tadi tak sabar ingin kuledakkan. Kuputuskan untuk mengangkatnya sembari memuntahkan kalimat dan ucapan yang sudah sedari tadi di mobil menumpuk dan tertahan ingin kulepaskan tanpa basa basi apapun, tanpa ba bi bu awal pembicaraan tanpa peduli sedang apa di seberang telepon sana.

AYAH!!! AKU LAGI SIBUK SEKARANG!! TELEPON SAJA NANTI. MENGERTI TIDAK!!!! HA!! JANGAN GANGGU AKU! AKU LAGI KERJA!!!!!”

Klik. Kupencet tombol power off yang dalam hitungan kejap menghilanglah seluruh gambar di layar tanpa memberi kesempatan suara di seberang sana merespons kalimat pedasku. Suasana mendadak hening. Sheilly dan 2 bawahanku yang tadi sempat berapi-api menjelaskan terobosannya menunduk ketakutan. Dan pemilik suara di seberang telepon yang tak lain adalah ayah, entah bagaimana perasaannya. Aku tak punya waktu meladeninya.

Di tengah suasana hening yang menegangkan mereka itu tiba-tiba hp kembali berdering. Kuraih hp-ku untuk sekali lagi kumuntahkan kalimat yang lebih pedas tapi tertahan begitu kedua mataku menatap layar hp.

Tidak ada panggilan masuk atau pesan. Hp-ku masih dalam keadaan mati. Dering telepeon itu bukan datang dari hp-ku.

**        **

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status