Vina menyesal meninggalkan Rachel walau hanya beberapa jam. Entah apa sebabnya Rangga datang menemui anaknya lagi, Vina tak mau tahu. Yang jelas, Vina tak suka melihat Rangga dekat-dekat dengan Rachel."Aku ada urusan di sini." Rangga melewati Vina dan masuk ke dalam mobil tanpa mendengar lagi apa yang ingin disampaikan Vina.'Urusan apa yang dimiliki seorang Rangga Cakrawala di playgroup? Apa dia sudah mulai curiga? Menyebalkan sekali!'Pertanyaan Vina terjawab di hari berikutnya. Lima truk makanan berbagai jenis berjejer rapi di taman bermain. Beberapa orang berkostum binatang dan badut menyambut para anak kecil yang baru saja memasuki pintu pagar."Bunda! Bunda! Aku mau main sama Tuan Kelinci!" Rachel menunjuk orang yang mengenakan baju kelinci besar di tengah taman."Iya. Jangan lari-lari, Rachel."Vina berbaur dengan ibu-ibu lain yang menunggu anak-anak mereka di bangku pinggiran taman. Dari mereka pula Vina tahu jika semua kejutan itu diberikan oleh Cakrawala Group. "Dalam rangk
"Kalau tidak mau pindah, berarti Rachel harus di rumah saja. Apa yang akan Rachel pilih, hemm?"Setelah mendengar cerita Rachel jika acara di playgroup pagi tadi adalah kado dari Rangga untuknya, Vina pun segera paham. Ikatan batin antara orang tua dan anak memang nyata adanya.Namun, Vina tak akan membiarkan keduanya menjadi lebih dekat dari sekarang. Sudah cukup Rangga mengenal Rachel. Hanya itu saja batasnya, tak lebih.Vina tak merasa jadi orang jahat karena ingin memisahkan mereka. Vina melakukannya semata-mata demi kebaikan putrinya. Dia tak mau Rachel terluka dan berharap pada ayah yang tak akan mungkin mengakuinya.Meskipun mendapat pertentangan dari Martha, juga rengekan anaknya, Vina tetap memindahkan playgroup Rachel. "Aku mau cekolah, Bun." Mata Rachel berkaca-kaca, tetapi tidak menangis.Vina memeluk putri kesayangannya itu. Kehilangan teman-teman yang sudah mulai akrab pastilah membuat putrinya sedih. Vina hanya dapat meminta maaf dalam hati. Setelah membacakan dongeng
Rangga tak henti-hentinya mengulas senyum tatkala memandangi layar depan ponselnya. Balita tiga tahun bermata hitam seperti miliknya itu tengah tersenyum dalam pangkuannya.Perubahan perasaan dan tingkah laku yang cukup asing bagi mata orang-orang sekitar yang memandang, semata-mata berkat anak kecil yang baru-baru ini mencuri hati Rangga.Senyuman Rachel begitu menawan. Setiap kata-kata cadelnya mampu membuat seorang Rangga yang perangainya mirip batu itu tanpa dan dengan sadar ikut tersenyum.Suasana hati Rangga juga menjadi lebih baik meski seharian berkutat dengan pekerjaan yang membuat tubuh dan pikirannya lelah. Ekspresi dinginnya lama-kelamaan berubah melunak dan kadang berseri-seri.Akan tetapi, apa yang dilihat Rangga dari foto yang baru saja dikirim Dion membuat wajahnya kosong. Rangga kembali teringat kata-kata Vina kemarin tentang ayah Rachel.Hal itu diperjelas oleh informasi yang dituturkan Dion keesokan paginya."Pak, saya kemarin melihat Vina, suami, dan anaknya. Anakny
'Julian? Kenapa dia bisa bersama Rachel? Apa Julian….? Apa maksudnya ini?'Pria yang baru saja mendudukan Rachel ke kursi penumpang itu memutar badan ketika berlari kecil mengitari mobil ke arah pintu kemudi. Rangga dapat melihat jelas wajah pria itu. Seketika rahangnya mengeras.Julian Cakrawala belum lama ini kembali dari perjalanan bisnis di luar negeri selama hampir dua tahun. Julian adalah satu-satunya sepupu Rangga yang selalu menunjukkan sikap persaingan padanya.Rangga sendiri tak pernah menganggap Julian sebagai rival. Biarpun Julian selalu melakukan beberapa trik kecil untuk menghambat usahanya atau berusaha menjatuhkan dirinya di depan Mahendra. Tetapi, melihat Julian bersama Rachel, Rangga menjadi penasaran dengan rencana licik apa lagi yang ingin Julian lakukan padanya.Rangga mencengkeram kemudi dengan sangat erat sampai buku-buku jarinya memutih. Sampai saat ini, Rangga belum mengetahui siapa dalang di balik orang yang menjebaknya. Yang Rangga tahu, seseorang sengaja me
"Bunda!" Rachel berteriak kegirangan memamerkan permen kapas merah muda seukuran kepalanya. "Aku dibelikan Om Ganteng, Bunda.""Bilang apa sama Om Ganteng, Sayang?""Telima kacih, Om Ganteng."Julian mengusap lembut kepala Rachel. "Cama-cama, Cayang," ucapnya menirukan pelafalan Rachel.Sudah dua hari ini Julian menjemput Rachel dari playgroup. Sedangkan Vina dan dua temannya disibukkan dengan urusan katering di kantin perusahaan Julian setiap jam makan siang.Memang benar kata para karyawan di perusahaan itu, Julian sungguh baik hati dan disukai banyak orang. Buktinya, seorang pemilik perusahaan dengan senang hati menjemput bocah kecil yang bukan siapa-siapanya. Tanpa meminta imbalan apa pun.Rachel yang tampak akrab dengan Julian pun jadi primadona di sana. Tak sedikit karyawan Julian yang mencuri cubitan kecil di pipi Rachel.Tiap kali mendapat perlakuan itu, Rachel selalu melipat tangan di depan dada sambil mengerucutkan bibirnya. Semakin gemas pula mereka."Maaf merepotkan terus,
"Kami masuk dulu, ya. Sampai jumpa." Belinda melambaikan tangan dan menarik Rangga pergi.Vina dan Julian mengikuti setelahnya. Julian masih menggandeng tangan Vina sampai memasuki area studio premium.Di dalam ruangan itu terdapat tiga baris bangku penonton. Setiap sisi memiliki empat pasang kursi yang setiap pasangnya terpisah oleh meja kecil."Julian ... aku baru sekali ini nonton di kelas premium. Terima kasih, ya.""Ini juga pertama untukku.""Bohong!""Serius ... aku nonton film di rumah biasanya. Tiket tadi cuma pemberian rekan bisnisku yang mengelola tempat ini. Sayang kalau dibuang.""Iya, iya, percaya ...." Suara Vina naik turun menggoda. "Di mana tempat duduk kita?"Julian menuntun Vina ke deretan paling depan. Dua orang itu mematung sejenak tatkala mendapati pasangan sempurna yang baru saja berpisah dengan mereka."Kenapa kita tidak masuk bersama tadi?" pertanyaan Julian spontan membuat pasangan itu menoleh padanya."Kalian juga di sini?" Belinda menaikkan alisnya."Kebetul
"Terima kasih, Pak."Rangga tak menjawab, bahkan tak menatap Vina. Setelah Vina menutup pintu, mobil Rangga dengan cepat meninggalkan tempat itu. Vina menghela napas lega ketika mobil Rangga tak lagi terlihat. Untuk sesaat, Vina merasa aneh karena ditinggal sendirian di pinggir jalan yang agak sepi.Rangga juga tak terlihat ragu ketika menyuruhnya keluar. Tak tahu mengapa, Vina menjadi sedikit kecewa.Setiap kali berurusan dengan Rangga, perasaan Vina menjadi tak tentu arah. Karenanya, Vina berharap tak akan berurusan lagi dengan Rangga. Walaupun kebetulan-kebetulan kecil yang menghubungkan keduanya terus saja terjadi. Seperti keesokan harinya, Vina diberi tahu Ida jika keteringnya dihubungi oleh karyawan Cakrawala Group. "Mereka pesan seribu box, Bu Bos!" seru Ida dengan mata berbinar-binar. "Kita ambil 'kan?""Seribu kotak makan terlalu banyak. Kita juga masih harus membuatkan makanan untuk perusahaan Pak Julian," tutur Vina.Vina sebenarnya senang mendapat pesanan sebanyak itu. D
"Aku tidak tahu kalau itu kateringmu."Vina tak begitu mendengar ucapan Rangga karena suara pintu yang dibuka agak kencang lebih menarik perhatian. Bibir Vina sedikit terbuka ketika melihat Julian memasuki ruangan itu.Julian pun sama terkejutnya dengan Vina. Dia hanya berdiri mematung di depan pintu, tak jadi masuk ke dalam."Maaf kalau mengganggu. Saya akan kembali lagi nanti," ucap Julian, lalu berbalik."Tidak. Saya sudah selesai." Vina berpaling pada Rangga sekilas. "Terima kasih, Pak. Dan ... sekali lagi saya minta maaf oleh kesalahan yang sudah saya lakukan. Permisi."Rangga hendak membuka mulutnya, namun Vina sudah menghilang menyusul Julian. Meninggalkan amplop berisi uang pembayaran kateringnya."Ceroboh sekali," gumam Rangga.Rangga menelepon Dion dan memintanya untuk mengantarkan amplop itu sebelum Vina pergi jauh. Tetapi, Dion tidak mengangkat panggilannya. Sementara sekretaris Rangga masih mengurusi berkas yang ada di ruang rapat.Dengan enggan, Rangga beranjak dari kursi