Buat yang menunggu kisah Dion, nggak akan dilanjutkan di sini, ya, karena Dion nggak sesuai dengan alur.
“Astaga … kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?”Belinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. “Terima kasih, Om.”Dewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.“Di sini kamu rupanya.” Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. “Apa yang kamu katakan pada menantumu?”Dewi menoleh pada Dewa singkat. “Apa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.”Dewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.“Belinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.“Terserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.”“Itu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,” sanggah Dewi.“Bukan itu intinya, Ma!”Julian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
“Bukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,” balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.“Benar … sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,” ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.“Selamat atas pernikahan Anda, Nona,” ujar pelayan itu.“Terima kasih.” Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
"Pak, tolong berhenti!"Vina mencoba melepaskan diri. Mendorong dada bidang Rangga dengan tangan mungilnya, meskipun usahanya berakhir sia-sia. Pria itu terlalu kuat baginya. Rangga semakin erat merapatkan tubuhnya.Rangga pun mulai menyapu leher Vina dengan kecupan-kecupan ganas. Sang CEO yang biasanya bersikap kaku, berubah drastis karena gairah yang membara."S-saya bisa membantu Anda, tapi ... tidak sampai seperti ini," lirih Vina sambil meronta-ronta.Rangga tak menggubris ucapannya dan mulai menanggalkan kemeja. Kesempatan Vina untuk pergi menjauh.Vina berlari ke arah pintu setelah berhasil menyambar ponselnya yang terjatuh. Tapi, Vina kalah cepat. Rangga dapat dengan mudah menangkap Vina lagi. Kali ini, Rangga menyeret tangan Vina dengan kasar. Kemudian, melemparkan Vina ke ranjang."Pak! Sadarlah!" pekik Vina.Rangga membungkam Vina dengan bibirnya. Vina spontan menampar wajah Rangga. Tak terima oleh tindakan atasannya itu. "Cukup, Pak! Bapak sudah sangat keterlaluan!"Perbu
'Bapak mabuk dan tidak melepaskan saya, jadi saya tidak bisa pergi. Hanya pagi tadi Bapak baru melepaskan saya.' Rangga yang tengah terduduk di kursi kebesarannya siang itu mengingat kembali penjelasan Vina.Rangga mengusap-usap wajahnya dengan kasar. Sudah berkali-kali Rangga mencoba mengingat kejadian semalam, tapi otaknya tak dapat diajak kerja sama.'Apa aku dan Vina benar-benar melakukannya?'Namun, Vina sama sekali tidak menuntut apa pun darinya. Rangga juga tak yakin, dengan siapa dia menghabiskan malam panasnya?Vina? Atau wanita asing yang terakhir bersemayam dalam ingatannya?Rangga bahkan tak tahu, Vina sendiri berusaha mati-matian mengeraskan hati sejak meninggalkan kamar hotel. Untuk apa Vina menuntut jika atasannya itu tidak mengingat perbuatannya?Vina pun sebenarnya enggan datang ke kantor karena belum siap bertemu dengan Rangga lagi. Dia tak pernah menyangka jika Rangga bisa berbuat sejauh itu padanya.Rangga memang mabuk. Tapi, Vina yakin Rangga seharusnya bisa mengen
"Vina tidak memberi tahu Anda? Semalam saya ada urusan mendadak, jadi saya meminta Vina untuk menggantikan saya.""Hanya itu?" Rangga mengangkat salah satu alisnya, meneliti wajah Dion lekat-lekat. Tidak ada kejanggalan yang dia temukan."Apa lagi memangnya, Pak?" Dion menggaruk tengkuknya, tak mengerti arah pembicaraan ini."Lupakan ..." Rangga menjeda ucapannya sesaat. "Carikan rekaman semalam. Dari saat di bar, hotel, dan semuanya.""Untuk apa, Pak?"Rangga menatap Dion penuh penekanan. Dion tahu jika Rangga tak suka ditanya-tanya, apalagi dibantah. Tak mau dimarahi, asisten pribadinya itu bergegas pamit, lalu melaksanakan perintahnya.Hanya butuh waktu kurang dari satu jam, Dion telah kembali membawa seluruh rekaman CCTV. Setelah mengusir Dion, Rangga mulai meneliti satu persatu semuanya.Rangga mengusap wajah dengan kasar. Kemudian, mengambil tangkapan layar wanita misterius yang membawa dirinya dari bar sampai hotel dan mengirimkan kepada Dion untuk mencari tahu identitasnya.Wan
"Tempat menunggunya bukan di sini, Bu. Mari saya antar," ucap seorang perawat seraya membantu Vina berjalan.Rangga pun yang sempat terhenti sejenak kembali melanjutkan perjalanan dengan tidak terlalu memikirkan urusan karyawannya yang ia lihat barusan, begitu pikir Rangga.Vina sendiri dibawa ke tempat pengambilan obat oleh perawat itu. Dia cukup terbantu meski terlihat menyedihkan, berjalan sendiri saja belum sanggup.Setelah mengambil vitamin, Vina duduk di taman rumah sakit sekian lama seraya merenungkan nasibnya. Hingga perasaannya mulai tenang, Vina memutuskan untuk kembali ke rumah. Vina disambut oleh omelan Martha karena Vina baru pulang saat petang, telepon pun tak diangkat. Martha terlihat sangat mengkhawatirkan Vina, bercampur sedikit marah."Ibu hampir saja menghubungi polisi! Ibu pikir kamu pingsan di jalan atau kenapa-napa! Lain kali, jangan menghilang seharian tanpa kabar begini saat kamu masih sakit!"Bukannya menjawab, Vina justru menangis. Dipeluknya sang ibu dengan