"Gak nyangka, ya. Di luar keliatan lugu ternyata pelakor. Tega merebut calon suami kakaknya sendiri."
"Iya. Kayak yang gak laku sama cowok lain saja. Percuma punya muka cantik tapi hatinya busuk!""Kasihan Mbak Yuna. Padahal dia kurang apa, coba? Cantik iya, terkenal juga. Bodoh banget tuh cowok!"Kasak kusuk yang Anggia dengar membuat telinganya panas. Entah dari mana teman-teman satu kampusnya tahu kalau ia dan Raga akan mengadakan acara pertunangan Minggu depan.Apakah Ayuna yang menyebarkan berita itu? Atau ada orang lain yang diam-diam menyelidiki hubungannya dengan Raga?Anggia paham. Profesi kakaknya yang seorang selebgram pasti tidak akan luput dari perhatian banyak orang, termasuk soal kisah cinta kakaknya tersebut.Hampir semua orang tahu tahu bahwa Raga adalah calon suami Ayuna, dan pastinya publik dibuat tercengang dengan kabar terbaru yang memberitakan tentang batalnya rencana pernikahan Ayuna dengan sang Dokter.Anggia pikir, mereka tidak tahu bahwa penyebab kandasnya hubungan sang kakak adalah dirinya. Namun ternyata, kedekatannya dengan Raga sudah tersebar ke khalayak ramai, bahkan menuai hujatan."Aku gak nyangka kamu tega banget sama kakak kamu sendiri."Anggia menoleh. Gea -- sahabat dekatnya tengah menatapnya dengan sinis."Ge, aku bisa jelasin--""Gak perlu. Aku gak butuh penjelasan apa pun dari kamu, Nggi.""Tapi ini gak seperti apa yang kamu bayangkan. Aku dan Mas Raga--""Akan bertunangan, bukan begitu?"Anggia bungkam."Selama ini aku kagum sama kamu yang selalu bilang bahwa kamu sangat menyayangi Mbak Yuna, meski dia tidak pernah bersikap baik padamu. Kamu sering merasa malu saat orang-orang mengatai mamamu seorang pelakor. Tapi kenapa sekarang justru kamu mengikuti jejak mamamu? Yang kamu rebut itu calon suami kakakmu sendiri, Anggia. Orang yang katanya sangat kamu sayangi," cecar Gea. Gadis itu teramat kecewa akan sikap sahabatnya yang tega menyakiti saudaranya sendiri."Kamu gak pernah ada di posisiku, Ge. Makanya kamu gak bakal ngerti." Anggia membela diri. "Aku nyaris menyerah saat Dokter memvonisku mengidap gagal ginjal akut. Aku gak punya semangat hidup. Tapi saat aku mulai dekat dengan Mas Raga, semangat hidupku kembali. Dia yang selalu memberiku semangat dan perhatian. Dia juga yang membuatku merasakan apa itu cinta. Salahkah jika kami mulai merasakan perasaan lain karena sering bersama?" paparnya."Salah! Jelas salah karena cinta kalian itu menyakiti Mbak Yuna. Bayangkan kalau kamu jadi dia. Calon suaminya berselingkuh dengan adiknya sendiri!" sergah Gea."Hidup Mbak Yuna itu sudah sempurna, Ge. Dia sehat, punya karir bagus, banyak yang sayang sama dia, termasuk Opa dan Oma. Aku yakin dia masih bisa menemukan pria lain yang lebih dari Mas Raga. Sedangkan aku? Hanya Mas Raga yang bisa menerimaku apa adanya. Aku juga ingin bahagia, Ge. Dan bahagiaku dengan pria itu."Gea mendecih sinis. Tidak pernah menduga seorang Anggia yang ia kenal polos, ternyata tega menikung kakaknya sendiri. Begitu picik pemikiran Anggia yang beranggapan bahwa ia bisa hidup bahagia dengan cara yang salah."Tidak akan pernah ada kebahagiaan bagi orang yang tega menghancurkan kebahagiaan orang lain. Aku benar-benar kecewa sama kamu, Nggi."Gea meninggalkan Anggia yang tergugu sendirian. Tidak ada lagi sahabat yang selama ini selalu memberinya dukungan. Anggia merasa hidup ini tidak adil untuknya. Tidak ada yang berempati padanya, padahal dia yang lebih membutuhkan semangat dan dukungan.Suara klakson mobil menghentikan tangis Anggia. Gadis berperawakan mungil itu langsung tersenyum saat melihat sang kekasih sudah menjemputnya.Masih ada Raga.Ya, Anggia masih mempunyai Raga sebagai tempatnya berkeluh kesah.Berlari kecil, Anggia menghampiri mobil Raga yang terparkir di depan kampus."Mas ...."Senyum di wajah Raga memudar melihat mata Anggia yang sembab. Tangannya membingkai wajah sang gadis yang sudah duduk di sebelahnya dan menatapnya lekat."Kamu habis nangis?" tanyanya khawatir."E-enggak. Aku--""Jangan bohong. Mas tahu kamu habis nangis. Coba cerita. Apa yang bikin kamu nangis seperti ini?"Tangis Anggia kembali pecah. Ia peluk tubuh tegap sang kekasih dan menumpahkan tangisnya di sana."Apa cinta kita ini salah, Mas? Mereka mengataiku pelakor. Mereka menghujatku karena mengira aku merebut Mas Raga dari Mbak Yuna."Helaan napas kasar keluar dari mulut Raga. Pria itu sudah bisa menebak hal seperti ini akan terjadi. Berita batalnya rencana pernikahan dengan Ayuna sudah tersebar. Sudah pasti Anggia akan menjadi sasaran empuk bagi mereka yang mendukung Ayuna, sebab kini ia menjalin hubungan dengan adik dari mantan kekasihnya."Jangan dengarkan apa kata mereka. Bukan salah kamu kalau Mas sampai berpaling padamu." Raga berbisik di depan wajah kekasihnya. "Biarkan saja mereka mau berkata apa, yang terpenting kita tetap bersama."Anggia mengangguk."Aku mencintai Mas Raga."Raga tersenyum dan mengangguk."Mas juga mencintaimu." Keduanya bertatapan mesra. Satu kecupan mendarat di kening Anggia."Kita pulang sekarang atau mau makan siang dulu?"Anggia berpikir sejenak."Pulang saja. Tapi ... ke Apartemen Mas Raga." Karena Anggia masih ingin menghabiskan waktu dengan sang kekasih."Siap, Tuan Putri."Mobil milik Raga melaju perlahan meninggalkan kampus. Dua sejoli di dalamnya saling bertukar cerita dan sesekali diselingi tawa renyah. Anggia sudah tidak canggung lagi bergelayut manja di bahu Raga. Usapan lembut di rambut ia dapatkan dari pria yang digilainya.Mobil berhenti tepat ketika lampu lalu lintas berubah merah. Raga mengedarkan pandangan ke sekeliling hingga matanya menangkap sosok seseorang yang sedang berdiri kebingungan di pinggir jalan.Tatapan Raga terpaku. Di dekat wanita itu, motor Vespa kesayangan sang wanita terparkir.'Pasti mogok lagi.' Raga membatin.Tak sadar, tangannya mencengkram stir kemudi menyaksikan sang wanita yang berdiri kepanasan. Ingin sekali ia turun dan menyeret wanita itu ke dalam mobil miliknya. Jika dulu ia akan mengomel dan meminta motor itu dibuang saja, tetapi kini ia hanya mampu melihat dari kejauhan."Mas! Lampunya sudah berubah hijau."Raga terperanjat. "Oh, ya. Maaf, Mas melamun."Anggia tersenyum getir. Ia tahu apa yang membuat kekasihnya tidak fokus seperti itu.Ayuna.Anggia menyadari bahwa kekasihnya sedang mengkhawatirkan sang kakak.Akan tetapi, Anggia tidak akan membiarkan Raga kembali berpaling pada Ayuna.Raga sudah menjadi miliknya dan sampai kapanpun akan tetap menjadi miliknya.**Bersambung."Papa kecewa sama kamu, Bram. Kamu tidak bisa berbuat adil pada kedua putrimu. Teganya kalian mengadakan acara pertunangan Anggia sedangkan Ayuna sedang patah hati karenanya." Brata menatap kecewa sang putra. Hari ini ia sengaja meminta Bram datang ke kediamannya. Tak lupa, kedua menantunya pun diminta untuk datang. "Maaf, Pa. Tapi Papa tahu kan kondisi Anggia yang sedang sakit. Aku hanya ingin membahagiakan dia.""Dengan merenggut kebahagiaan putrimu yang lain?"Bram tertunduk. Tidak mampu menjawab ucapan sang Papa karena memang kenyataannya seperti itu. "Dalam hal ini bukan sepenuhnya salah kami. Raga memang sudah merasa tidak cocok dengan Ayuna dan lebih nyaman bersama Anggia. Jika kenyataannya mereka saling mencintai, kita sebagai orang tua bisa apa? Tinggal Ayuna yang harus ikhlas melepas pria yang sudah tidak mencintainya." Prita angkat bicara. Mengabaikan tatapan tajam dari Bram yang sudah memperingatkan sang istri kedua agar tidak membuka suara di rumah orang tuanya. "Kamu
"Ma ....""Hei, Sayang." Prita menoleh. Wanita yang selalu berpenampilan glamour tersebut tersenyum lebar pada sang putri yang menghampirinya. "Mama sedang apa?" "Mama baru saja menghubungi butik langganan Mama. Nanyain gaun yang akan kamu pakai nanti sudah selesai apa belum," jawab Prita. Setelah menelisik wajah sang putri, senyum di bibir Prita memudar. "Mata kamu kok sembab begitu? Kamu habis nangis?" tanyanya khawatir.Anggia menunduk dan meremas ujung dress yang ia kenakan. "Gak, Ma," elaknya. "Bohong. Mama yakin kamu habis nangis." Prita memegang kedua bahu sang putri. "Bilang sama Mama. Apa yang bikin kamu nangis, hmm? Ada yang jahatin kamu?" tanyanya lembut. Anggia yang awalnya tidak ingin menceritakan kejadian di kampus waktu itu, akhirnya tak kuasa menyembunyikan dari sang Mama. Tangis gadis berusia dua puluh tahun tersebut pecah saat ia mengingat kembali perkataan sahabatnya. "Teman-teman di kampus menghujatku, Ma. Mereka mengataiku pelakor."Prita terperangah. Wajah
"Maaf kalau kamu tidak nyaman. Mas hanya tidak mau kamu sampai sakit."Raga sadar betul apa yang dikatakan Ayuna benar adanya. Sikap gadis di depannya itu memang berubah semenjak ia memutuskan pertunangan mereka.Ayuna menjadi lebih tertutup. Beberapa hari ini sosial media milik gadis itu tidak pernah menunjukkan aktivitas apa pun, dan apa yang Raga lihat saat ini bukanlah kebiasaan Ayuna. Keluar di malam hari dan secangkir kopi, adalah dua hal yang dulu sangat Raga larang demi kesehatan sang gadis. Raga ingin hubungan mereka tetap baik, meski mereka bukan lagi sepasang kekasih. Tidak bisakah Ayuna menganggapnya teman? Setidaknya, gadis itu tidak menghindarinya saat bertemu atau berpapasan dengan dirinya."Aku bisa menjaga diriku sendiri. Jangan pernah lagi menunjukkan perhatian seperti tadi karena aku tidak ingin calon istri Mas Raga salah paham," ujar Ayuna. Gadis itu kembali menghindari tatapan Raga. "Sudah setengah jam kita di sini, tapi orang yang menjemputmu belum juga datang.
"Mama mengundang orang sebanyak ini?" Bram menatap Prita tak percaya seraya meremas daftar undangan yang ditulis istrinya. Sang istri kedua berencana untuk mengadakan pesta pertunangan secara besar-besaran tanpa meminta persetujuan darinya terlebih dahulu. "Segitu itu gak terlalu banyak, Mas. Cuma teman-teman arisan sama beberapa kolega bisnismu."Bram menghela napas gusar. Prita selalu saja bersikap semaunya. Sudah beberapa kali Bram mengatakan bahwa acara pertunangan Anggia dan Raga diadakan secara sederhana saja, tetapi sang istri justru tidak mengindahkan ucapannya. "Ma. Bukannya Papa sudah bilang jangan mengadakan pesta besar-besaran? Papa ingin menjaga perasaan Ayuna. Dia itu putri Papa juga. Mendapat kenyataan calon suaminya akan bertunangan dengan adiknya sudah membuatnya terpukul, apalagi kalau sampai dia tahu pertunangan ini diadakan secara mewah," protes Bram. Pria itu khawatir Ayuna akan makin terpuruk. "Mas ini gimana, sih? Anggia itu putri Mas juga. Tidak ada salahny
"Wah, kebetulan sekali kita bertemu di sini, ya, Mbak."Salma dan Ayuna yang baru turun dari mobil menoleh ke asal suara. Ayuna mendengkus tak suka kala melihat Prita berjalan ke arahnya dengan menggandeng lengan sang Papa. "Kalian mau makan siang di sini?" Bram menyapa istri pertama dan sang putri. Pria berusia empat puluh delapan tahun itu menepis halus tangan Prita yang bergelayut di lengannya. Tidak nyaman saat matanya berserobok dengan mata Salma. "Iya." Salma menjawab singkat. Tidak ada raut cemburu di wajah wanita berusia empat puluh lima tahun tersebut saat menyaksikan betapa mesranya sang Madu menggandeng lengan suaminya ... lebih tepatnya suami mereka. "Oh ya. Mumpung kita bertemu, aku ingin memastikan. Mbak sama Ayuna pasti datang ke acara pertunangan Anggia, kan? Acaranya jam delapan malam. Tidak hanya keluarga inti saja yang datang, aku juga mengundang kolega bisnis Mas Bram," terang Prita yang sebenarnya tidak penting untuk Salma dengar. "Kamu tidak perlu khawatir. K
"Bara ngajak kamu datang bareng ke acara itu?" Olivia terkejut mendengar cerita sahabatnya. Pasalnya, Olivia tahu bahwa Bara dan Raga adalah sahabat lama yang bekerja di rumah sakit yang sama. "Ya, tadi dia ngomongnya begitu.""Terus kamu terima tawarannya?" Olivia makin penasaran.Ayuna menggeleng. "Belum."Olivia menghela napas lega. Entah mengapa gadis itu kurang setuju jika Ayuna datang ke acara bersama Bara. Bukan karena Bara sahabatnya Raga, tetapi karena ....Ah sudahlah!Olivia menggeleng cepat. Mengenyahkan pemikiran tentang Bara. "Tapi ada bagusnya juga kamu bawa pasangan ke sana. Kamu bisa menunjukkan pada semua orang bahwa kamu sudah move on dari Raga." saran Olivia."Entahlah, Liv. Aku ...."Olivia paham perasaan sahabatnya. Gadis itu berpindah duduk ke samping Ayuna untuk memeluk tubuh sang sahabat. "Yang kuat, Yun. Kamu pasti bisa melupakan Raga," bisiknya seraya mengelus punggung Ayuna. "Aku kok gini banget ya, Liv. Aku cengeng, aku sok tegar di hadapan orang-orang
"Kamu cantik sekali, Sayang."Prita menatap kagum sang putri yang sedang berdiri di depan cermin. Gaun yang ia persiapkan untuk Anggia telah melekat sempurna di tubuh ramping putrinya. "Terima kasih, Ma." Anggia tersipu. "Jujur aku gugup sekali. Aku takut Mas Raga tidak menyukai penampilanku malam ini," lirihnya."Hei, itu tidak mungkin. Kamu akan menjadi wanita paling cantik di acara ini. Mama yakin, Raga akan terpesona melihatmu."Lagi, Anggia dibuat tersipu oleh pujian mamanya. "Sekarang ayo kita keluar. Para tamu sudah banyak yang datang. Raga juga pasti sudah menunggumu di sana."Anggia mengangguk. Gadis itu bertambah gugup saat membayangkan reaksi Raga melihat penampilannya malam ini. Benarkah yang dikatakan sang Mama bahwa pria itu akan terpesona? Atau ... justru Raga akan terlihat biasa saja?Anggia berjalan digandeng oleh Prita. Keduanya tersenyum lebar saat mulai memasuki tempat acara yang di adakan di pekarangan rumah mewah milik Bram dan Prita. Tempat tersebut sudah disu
"Jadi gadis itu putri pertama Bramantyo?""Ya. Lebih tepatnya, putri pertama dan dari istri pertama."Lelaki yang berdiri di sebelah Sadewa menarik napas panjang. Sebenarnya ia sudah mendengar desas desus bahwa pria yang menjadi tunangan putrinya Bramantyo adalah mantan calon suami putrinya yang lain. Namun, ia tidak terlalu peduli karena toh bukan urusannya. Akan tetapi, ketika putranya ternyata jatuh hati pada salah satu putri rekan bisnisnya tersebut, tentu saja ia harus menyelidiki kejadian yang sebenarnya agar Sadewa tidak salah memilih pasangan. Bisa saja Raga memutuskan pertunangan karena gadis itu memang tidak layak dipertahankan. Ia tidak ingin putra sulungnya jatuh cinta pada gadis yang salah. "Se-istimewa apa gadis itu sampai kamu bertingkah gila seperti ini? Berpura-pura menjadi anak sopir hanya demi seorang wanita. Bukankah akan lebih baik kamu mengatakan siapa sebenarnya dirimu? Papa yakin, gadis itu tidak akan menolak putra sulung keluarga Danureja."Sadewa menggelen