Brandon dan Emily rupanya berada di gazebo sudut taman setelah pulang sekolah. Mereka berdua duduk berhadapan dan saling bercerita tentang keadaan masing-masing. Bahkan, kali ini Emily tidak sungkan lagi menceritakan kenyataan pahit dalam hidupnya. Gadis berwajah ayu dengan kulit putih bersih itu sering dianiaya oleh ayahnya. Brandon yang sejak lahir tidak merasakan kasih sayang seorang ayah pun merasa kasihan.
"Ayo kita pulang! Kasihan ibumu pasti mencari ke mana-mana." Gadis itu mengajak Brandon pulang sambil menatap langit yang mulai gelap.
"Bagaimana jika ayahmu menemukan dan memukulmu lagi?" tanya Brandon. Bocah lelaki yang berusia 12 tahun itu tampak cemas.
"Tenanglah! Aku akan baik-baik saja. Hal itu juga sudah terbiasa. Aku akan tetap pulang ke rumah," balas Emily berusaha menenangkan hati Brandon yang merasa cemas.
"Aku mengkhawatirkan dirimu. Bagaimana jika kamu pulang ke rumahku saja?" Brandon mencoba membujuk gadis itu.
"Aku sebenarnya tadi
Sinar mentari pagi telah menerobos ke dalam kamar melalui celah-celah dinding. Camilia tampak berdiri di depan cermin sedang merapikan rambutnya yang dibiarkan terurai. Bekas perawat itu tampil tidak seperti hari biasanya. Dia memakai rok selutut dan atasan blazer berwarna merah marun. Camilia tampak anggun.Camilia yang telah selesai berdandan kemudian menghampiri ranjang. Dia berusaha membangunkan anak semata wayang yang masih tampak terlelap."Sayang, bangunlah!" seru Camilia sambil mengelus lengan sang anak.Brandon tampak menggeliat usai mendengar suara Camilia yang membangunkannya. Bocah lelaki 12 tahun itu terperanjat begitu membuka mata mendapati ibunya tampil tidak seperti hari biasanya."Ibu?" Brandon yang terkejut kemudian menyapa Camilia. Batin bocah lelaki itu dipenuhi dengan pertanyaan."Kamu harus ikut Ibu pergi ke suatu tempat," ujar Camilia kemudian. "Tenanglah, kita tidak akan pindah dari sini!" sambung bekas perawat itu lagi, ketika B
"Tuan Presiden?!" gumam Brandon sembari terbelalak saat bertatapan dengan Tuan Alfonso yang berdiri tidak jauh dari dirinya.Brandon masih terpaku di tempat sambil terus memandangi orang-orang yang juga menatapnya. Tak berapa lama tampak Tuan Alfonso meletakkan minuman yang digenggamnya ke meja saji, kemudian berusaha berjalan mendekati Brandon."Ayo pergi dari sini!" hardik Tuan Reinhard yang tiba-tiba muncul di belakang Brandon. Asisten pribadi itu sigap mencengkeram dan menarik lengan bocah lelaki 12 tahun itu. Melihat keadaan itu, seketika Tuan Alfonso menghentikan langkah."Apa yang terjadi? Bagaimana anak ini bisa sampai ke sini?" tanya Tuan Alfonso yang ditujukan kepada Tuan Reinhard yang telah menggenggam kuat lengan bocah lelaki 12 tahun itu."Tidak ada apa-apa, Tuan. Lanjutkan saja pestanya! Saya akan membereskan anak ini segera," sahut Tuan Reinhard membalas pertanyaan Presiden Direktur itu."Tolong ... tolong Ibu saya, Tua
"Stop! Sudahlah, Ibu, kita akhiri pembicaraan ini! Jika memang Ibu menginginkan anak ini dalam asuhan kita, aku akan merawatnya di sini," ujar Tuan Alfonso tegas, membuat Camilia sedikit bernapas lega."Sayang!" pekik Nyonya Agatha kemudian, sebagai protes jika tetap dalam pendirian yang tidak menginginkan Brandon ikut tinggal di rumah itu."Baiklah, Ibu, aku akan keluar dulu," ucap Tuan Alfonso sambil menatap Nyonya Merry yang duduk bersebelahan dengan Brandon. Tuan Muda itu seolah-olah tidak peduli dengan sikap protes istrinya."Iya, keluarlah! Kasihan para tamu sedang menunggumu." Nyonya Merry memberikan kesempatan Tuan Alfonso untuk keluar rumah menemani tamu-tamu yang hadir dalam acara pesta tersebut.Tuan Muda tampak bergegas keluar rumah diikuti sang asisten pribadinya. Lelaki yang menjabat sebagai Presiden Direktur itu sama sekali tidak melirik ke arah Nyonya Agatha yang sedang menelan rasa kecewa dan marah. Tak berapa lama, Nyonya Muda yang penampila
Lelaki itu terus mendekat dan berdiri saling berhadapan dengan Camilia. Namun, jika sebelumnya bekas perawat itu selalu gugup dan merasa ketakutan, kali ini jauh berbeda. Camilia tampak berani."Menurut anda, tindakan anda telah benar, ya?" sindir Tuan Reinhard dengan wajah sinis."Saya bertindak sesuai dengan nurani. Anak saya pantas berada di sini bersama ayah kandungnya," balas Camilia lantang."Berarti anda tidak takut mati telah mengusik ketenangan saya," ujar Tuan Reinhard dengan nada ancaman."Apapun yang saya lakukan ... demi anak, saya tidak takut mati meskipun harus berlumur darah sekalipun," tegas Camilia."Oke. Pergilah sekarang dan pastikan jaga diri anda baik-baik!" seru sang asisten pribadi Tuan Alfonso itu, seolah-olah memberikan peringatan kepada Camilia yang telah menyatakan genderang perang dengan dirinya.Tak menunggu waktu lama, Camilia bergegas membalikkan badan, kemudian melangkah cepat menuju pintu gerbang rumah mewah terse
Brandon menatap sekeliling begitu tiba di ruang keluarga. Bocah lelaki berusia 12 tahun itu lantas duduk, usai mendapat isyarat kedipan mata dari Nyonya Merry."Mana mamamu?" tanya Nyonya Besar yang mengarah kepada anak-anak Nyonya Agatha."Mama pergi ke villa, Oma. Dia ingin menenangkan pikiran. Besok baru pulang." Nona Alice memberikan jawaban kepada neneknya tersebut.Nyonya Merry lantas bergumam tidak jelas begitu mendengar jawaban salah satu cucunya tersebut. Wanita lanjut usia itu, seolah-olah mengumpat menantunya yang memilih menghindar, saat akan membahas keberadaan Brandon.Waktu membahas Brandon akhirnya dimulai tanpa kehadiran Nyonya Agatha. Nyonya Besar berbicara di depan Tuan Alfonso beserta anak-anaknya tentang hak dan kewajiban Brandon di rumah mewah tersebut. Anak dari Camilia hanya diam menunduk begitu sang Nyonya Besar membahas dirinya beberapa saat lamanya.Kesepakatan tentang keberadaan Brandon telah dicapai meskipun tanpa Nyonya Aga
Waktu terus berjalan. Sejak Nyonya Agatha kembali dari menenangkan diri di villa, kehidupan keluarga itupun dimulai dengan kehadiran Brandon. Bocah lelaki berusia 12 tahun itu mulai beradaptasi dengan lingkungan yang baru, baik di keluarga besar ayah kandungnya maupun di sekolah. Bahkan perlakuan Nyonya Muda yang merupakan ibu tirinya mulai tidak dimasukkan ke hatinya karena selalu mengingat pesan Camilia.Kehadiran Brandon di rumah mewah tersebut, selain menjadi ancaman bagi Nyonya Agatha juga menjadi ancaman bagi Jason. Anak hasil dari perselingkuhan Nyonya Agatha dengan asisten pribadi suaminya itu merasa iri dan cemburu. Dengan adanya rasa itu, Jason pun memainkan segala taktik dan intrik agar Brandon pergi atau diusir dari rumah tersebut."Apakah kamu melihat jam tangan milikku di atas meja belajar?" Nona Alice diikuti Nona Brenda dan Tuan Jason tiba-tiba datang ke kamar Brandon untuk menanyai anak Camilia tersebut.
Bocah lelaki berusia 12 tahun itu diseret paksa dengan keadaan mulut masih dibekap, menjauh dari bangunan itu. Brandon berusaha meronta, tetapi tenaganya tidak cukup untuk melawan. Batinnya begitu geram dengan perlakuan seseorang yang telah menyeretnya itu."Auu ...! Dasar, Setan Kecil!" teriak Tuan Reinhard saat jari tangannya digigit oleh Brandon. Anak itu bergegas berlari, kembali ke bangunan rumah yang membuatnya penasaran itu.Brandon berlari kencang dan menerobos masuk. Namun, dia justru tak sengaja menyenggol tumpukan papan kayu yang diletakkan di atas meja berukuran panjang. Alhasil papan kayu jatuh berserakan dan menimbulkan bunyi yang membuat konsentrasi Tuan Alfonso yang berada di dalam rumah itu, terganggu. Bocah itupun jatuh tersungkur.Brandon segera berdiri. Dia lantas menoleh ke sana ke mari sambil menggigit ujung jemarinya. Tubuhnya seketika gemetar saat Tuan Alfonso dan Tuan Reinhard memergoki dir
Brandon termenung sejenak, seolah-olah berpikir untuk mencari cara agar ayahnya tersebut tidak memasuki kamar. Bocah lelaki berusia 12 tahun itu lantas sebelah tangannya memegangi perut sambil meringis. Sesekali dia mendesis seolah-olah kesakitan."Hei, kenapa?" tanya Tuan Alfonso saat melihat Brandon yang tiba-tiba meringis sembari memegangi perut."Bisa minta tolong, Ayah! Bawakan miniatur ini ke kamarku terlebih dahulu! Tiba-tiba perutku mules, Ayah." Brandon menyodorkan berjalan mendekat dan menyodorkan miniaturnya."Baiklah," sahut Tuan Alfonso sambil tersenyum. Lelaki yang menjabat sebagai Presiden Direktur itu kemudian membalikkan badan dan bergegas menuju kamar Brandon di lantai atas.Brandon menghela napas. Dia merasa lega karena ayahnya tidak memergoki ibu tirinya di dalam kamar bersama Tuan Reinhard yang sedang membicarakan dirinya. Saat suara handel pintu kamar terdengar dari luar, Brando