Share

Sembuh dari Luka

“Ah entahlah! Kenapa aku harus mengurusi orang lain. Hidupku saja sekarang tidak karuan seperti ini. Tidak ada waktu untuk memikirkan orang lain. Aku harus segera terbebas dari kutukan sialan ini,” gerutu Renata dalam hati.

Tidak berselang lama, dia mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Pintu kamar terbuka perlahan. Dia melihat sosok lelaki bertubuh tinggi dan gagah serta berwajah tampan seperti aktor drama korea memasuki ruangan itu dengan membawa nampan berisi semangkuk susu. Perlahan lelaki mulai mendekati Renata yang masih terbaring di atas kasur.

“Rupanya kamu sudah bangun, kucing manis,” ucap Erwin dengan nada suara lembut dan mengenakkan untuk didengar.

“Dia ... dia pria yang waktu itu?” batin Renata, terkejut saat melihat sosok pria di depannya.

“Bagaimana dia bisa kembali pulih tanpa luka sama sekali? Bukankah dia hampir mati saat itu? Apa dia juga yang membawaku ke sini? Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Renata pada dirinya sendiri. Rasa bingung bercampur heran memenuhi benaknya saat ini.

“Kamu pasti lapar. Aku bawakan semangkuk susu untukmu. Minumlah!” ucap Erwin sambil menyuguhkan semangkuk susu untuk Renata.

“Susu? Aku paling benci susu dari kecil. Apa tidak ada yang lain?” Ucap Renata sambil menatap wajah si pria. Namun ucapannya tidak bisa dimengerti oleh pria itu. Hanya suara kucing mengeong yang didengarnya.

“Iya, ini untukmu. Minumlah, biar tenagamu pulih,” kembali ucap Erwin yang tidak paham kalau sebenarnya Renata menolaknya.

Renata yang memang tidak suka susu tidak tahu bagaimana harus menolaknya. Ucapannya saat ini tidak bisa dimengerti oleh manusia. Namun, perutnya benar-benar kosong saat ini. Sudah beberapa hari dia terpaksa minum air di kolam taman.

“Mungkin aku harus minum susu ini dari pada aku mati kelaparan,” ucap Renata dengan suara mengeong bernada pasrah.

Dengan ragu-ragu Renata mulai meminum susu yang disuguhkan pria itu. Saat pertama kali dia minum air sebagi seekor kucing, dirinya kesulitan. Sampai dia melihat kucing lain menjulurkan lidahnya untuk minum. Dia pun akhirnya terbiasa melakukan hal yang sama layaknya seekor kucing.

“Eh ... kenapa susu ini rasanya enak sekali? Apa lidahku yang sekarang benar-benar seperti kucing yang lain?” batin Renata. Dirinya kini mulai menikmati susu yang diberikan untuknya.

Erwin merasa gemas melihat kucing di depannya begitu nikmat meminum susu. Tanpa sadar tangannya mencoba mengelus bulu kucing itu di bagian punggung. Namun, Renata yang menyadari tubuhnya disentuh seorang lelaki langsung kaget dan meloncat dari atas kasur.

“Dasar mesum!!! Apa yang mau kamu lakukan? Berani sekali menyentuh tubuhku,” gerutu Renata. Dia mengeong layaknya kucing yang sedang marah. Ekspresinya terlihat sangat garang.

Kebanyakan kucing akan senang bila dielus-elus namun berbeda dengan Renata. Dia yang sebenarnya seorang gadis, tentu saja tidak mau jika sembarangan disentuh lelaki. Hal ini membuat pria itu kebingungan.

“Kamu kenapa? Apa aku membuatmu takut?” tanya Erwin sambil mendekati Renata. Namun, bukannya membuat Renata tenang. Dia malah membuat Renata semakin ketakutan sehingga berlarian dan meloncat-loncat di kamar itu.

“Oke ... oke ... aku tidak akan mengganggumu minum. Kamu habiskan minumanmu, aku pergi keluar sebentar beli makanan,” ucap Erwin sambil berlalu meninggalkan kamar.

Renata yang sudah tenang segera melanjutkan meminum susu yang ada di atas tempat tidur. Rasa laparnya membuatnya begitu lahap menghabiskan minumannya.

Selang beberapa saat, dia langsung merebahkan kembali tubuhnya di atas kasur. Dia menatap cermin yang tertempel di dinding sebelah tempat tidur. Matanya yang sayu menatap bayangan wajahnya di cermin. Dia masih belum percaya dengan takdirnya sekarang. Dulunya dia yang tidak suka kucing, sekarang harus menjalani hari-harinya sebagai seekor kucing putih.

“Seharusnya saat ini aku sedang bekerja di rumah sakit sebagai dokter dengan jas putih yang keren,” batin Renata sambil membayangkan pekerjaan yang seharusnya dia lakukan saat ini karena dia telah lulus dari fakultas kedokteran.

Sementara itu, Erwin yang tadi keluar, saat ini sedang berada di mini market untuk membeli beberapa barang dan makanan. Dia mengenakan jaket hitam serta masker hitam. Dia membeli beberapa mie instant, camilan, dan juga minuman kaleng. Saat ingin pergi ke kasir, dia melihat makanan kucing di salah satu rak.

“Sepertinya aku harus beli ini,” ucap Erwin sembari memilih merek makanan kucing.

“Yang mana ya enaknya? Mungkin ini saja lah,” sambung Erwin, mengambil makanan kucing dengan harga yang paling mahal.

Setelah selesai membayar di kasir, dia segera bergegas pulang ke apartemennya. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti ketika ponselnya berdering.

“Halo! Iya aku sudah di rumah,” ucap Erwin pada seseorang di telfon. “Sekarang kamu dimana? Aku segera pulang,” sambungnya.

Dia langsung mempercepat langkahnya seperti terburu-buru karena khawatir akan sesuatu. Saat sampai di depan gedung apartemennya, tampak seorang gadis yang sedang menunggunya. Seorang gadis berwajah menawan dengan sorot matanya yang indah, serta rambut hitamnya yang panjang. Namun, raut wajahnya tampak begitu gelisah.

“Enola, kenapa ke sini? Bagaiman kalau ada yang tahu persembunyianku” tanya Erwin gadis yang menunggunya, Enola.

“Erwin, kamu baik-baik saja?” gadis itu malah bertanya balik dengan tatapan tidak percaya kepada Erwin yang ada di depannya. Ternyata gadis itu adalah Enola, teman Erwin.

“Kita masuk dulu, jangan sampai ada orang yang melihat kita,” kata Erwin sambil menarik tangan Enola menuju ke apartemennya.

Tidak berselang lama mereka sudah berada di dalam apartemen Erwin. Seakan takut ada orang yang mengetahui keberadaannya, Erwin langsung mengunci pintu apartemennya rapat-rapat.

Sementara itu, Enola menatap Erwin seakan tidak percaya kalau Erwin baik-baik saja. Air matanya menetes tanpa dia sadari. Wajahnya menunjukkan perasaan terharu. Erwin yang menyadari hal itu, langsung mendekati Enola dan menepuk kedua pundaknya.

“Hei! Kamu baik-baik saja?” tanya Erwin, mengagetkan Enola dari lamunannya.

“Win ... ka ... kamu enggak kenapa-kenapa? Kamu baik-baik saja?” Enola malah bertanya balik.

“I’m fine. Aku enggak kenapa-kenapa. Kamu bisa lihat sendiri kan?” jawab Erwin meyakinkan Enola.

“Ta ... tapi di video itu kamu terluka parah, wajah kamu penuh darah. Bagaimana aku bisa tidak khawatir,” ucap Enola yang masih belum bisa tenang.

“Video apa? Apa yang kamu bicarakan?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status