Bagian 17
“Ayo, kita cek.” Papa langsung turun meninggalkan mobilnya yang sudah dia panaskan. Aku pun turut mengikuti langkah beliau. Berjalan di balik punggungnya sembari memegang ujung kemeja Papa. Jujur, aku masih sangat syok. Terbayang gorokan di leher tubuh yang terbaring di jok belakang mobil. Sekilas saja aku melihatnya. Namun, sangat berbekas di ingatan. Aku memang seperti mengenal wajah itu, meski pipi dan dahinya tampak ada luka-luka besetan. Matanya, ya, matanya yang membelalak tapi mirip seseorang. Akan tetapi, apa mungkin …?
Papa melongok dari celah pintu kemudi yang tadi kubuka lebar, tanpa mau menyentuh apa pun di sana. Lelaki itu berseru keras sembari memundurkan langkahnya, hingga hampir menubrukku.
“Itu Fitri! Ya, itu Fitr
Bagian 18 “Pa, aku ingin tetap di sini. Aku percaya Papa.” Aku mengatakan kalimat tersebut dengan keteguhan hati yang mulai tumbuh. Aku yakin jika Papa sungguh tak akan membuatku kecewa. “Terserahmu. Itu adalah pilihanmu sendiri. Aku tidak memaksamu untuk tinggal atau pun pergi.” Papa memberikan tatapan tajamnya. Aku tidak merasa tertekan atau bagaimana sebab menangkap sorot matanya tadi. Namun, malah timbul sebuah semangat untuk terus menjalani setiap kejadian tak terduga yang bakal diciptakan oleh lelaki yang bakal menjadi mantan suamiku tersebut. Suara notifikasi pada ponsel yang tergelatak di atas kasur, tiba-tiba berbunyi. Anehnya, bunyi penanda ada pesan masuk di aplikasi WhatsApp tersebut berderet-deret. Seperti ada beberapa bahkan pu
Bagian 19 Lama kelamaan kesadaranku timbul. Pendengaran ini mulai muncul. Suara derap langkah yang hilir mudik, gonggongan anjing, dan bunyi orang ngobrol-ngobrol. Ada bau minyak angin yang menguar. Menusuk hidung sampai paru-paru. Sontak mataku membuka lebar. Kuperhatikan sosok Papa menatap dengan posisi telapak tangannya yang disungkupkan ke wajahku. “Sudah sadar kamu, Git?” tanyanya dengan nada yang khawatir. Aku refleks memegang pelipis. Rasanya kepalaku berat. Aku menyapu dengan pandangan, mencoba menerka di mana sekarang berada. Ternyata aku tengah berbaring di atas sofa ruang tamu. Kulihat polisi-polisi berseragam tersebut hilir mudik berpencar ke seluruh sudut rumah. Sibuk meneliti ini dan itu. Membuka laci-laci pada meja panjang yang diletakkan
Bagian 20 “Sabar, Gita,” ucap Papa sembari cepat merangkul bahuku. Beliau pasti mengerti bahwa aku tengah syok gara-gara kabar mendadak ini. Bukan, aku tak sedih bila Mas Haris tiba-tiba ditemukan tewas dalam keadaan gantung diri. Namun, aku masih bertanya-tanya, mengapa semuanya terjadi begitu cepat bagai gasing yang berputar dan kali ini gasing itu tak kunjung menunjukkan tanda-tadnda bakal berhenti. Aku heran luar biasa. Apalagi tentang kamar yang terbakar. Ada apa? “Tim kami akan mendalami kasus ini. Termasuk kematian suami Bu Gita.” Polisi berambut cepak dengan kulit kuning langsat tersebut mengangguk tipis. Dalam dekapan rangkul Papa, aku hanya bisa diam dan setengah menahan limbung. Tidak, aku harus kuat. Aku tak boleh jatuh pingsan lagi dan merepotkan Papa. Lelaki paruh baya di samping ini telah banyak dis
Bagian 21 Mobil Papa laju melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi. Membelah jalanan yang mulai sepi, sebab malam sudah semakin beranjak larut. Aku mencoba untuk tenang dan berpikiran positif. Mengenyahkan rasa was-was yang sempat hinggap. Ah, Papa pasti memiliki maksud yang baik. Begitu pikirku sepanjang jalan. Jika aku terus mencurigai orang lain, lantas siapa lagi yang patut dipercaya? Selamanya aku bakalan tak bertemu dengan orang yang baik kalau prasangkaku selalu buruk. Memang, hidup di dunia ini penuh dengan misteri dan teka teki. Menikah dengan seorang yang awalnya kuduga berbaik hati, mana pernah kuduga bakal akhirnya serumit ini. Namun, aku yakin pasti masih ada orang baik di sekitarku dan Papa adalah salah satunya. Kami akhirnya tiba di depan sebuah hot
Bagian 22 “P-pa-pa!” Aku berteriak sekencang mungkin. “Huah!” Napasku tersengal-sengal. Mataku membuka selebar-lebarnya. Keringat bercucuran deras. Si*lan! Ternyata aku bermimpi buruk. Kulihat tubuhku. Masih berpakaian lengkap dengan kardigan dan kupluk yang Papa berikan tadi di parkiran. Kulihat ke arah jam di dinding. Pukul satu malam. Namun, semua mimpiku tadi terasa begitu sangat nyata. Bahkan, kini bulu kudukku merinding. Segera aku membongkar kresek yang Papa berikan dan menaburkan seluruh isinya di atas kasur. Mataku membeliak besar. Benar, ternyata tak ada satu pun buku maupun kartu yang kulihat. Mimpiku bagai nyata. Tungkaiku jadi lemas dan gemetar. Segera kus
Bagian 23 Aku langsung bergegas angkat kaki untuk kembali ke kamar 1202. Setibanya di dalam, bedcover dan sprei tadi kucampakkan ke atas kasur dengan sekenanya. Masih agak merinding, aku memaksakan diri untuk buru-buru melepas seluruh pakaian dan menyambar handuk yang berada di dalam lemari dekat pintu toilet. Dingin, pikirku. Masih terlalu pagi buat mandi. Namun, bagaimana lagi. Ucapan Papa seperti masih terngiang-ngiang di kepala. Bahaya. Bahaya apa? Aku masih meraba-raba. Sesungguhnya apakah ada yang sedang disembunyikan oleh Papa dariku? Buru-buru aku mandi dengan shower air hangat, padahal aku ingin sekali mencicipi berendam di dalam bathtub. Tidak waktu untuk itu, Gita. Aku harus segera menyelesaikan ritual bersih-bersih tubuh ini. Papa bilang waktuku cuma se
Bagian 24 “Pa, kita mau ke mana? Katanya mau pulang ke rumah orangtuaku?” Aku mencengkeram lengan Papa dengan erat. Kulepaskan kacamata dan topi kupluk yang sedari tadi terpasang di kepala serta wajah. Kupandangi Papa lekat-lekat dengan hati yang gamang. Mau dibawa ke mana diriku? “Kita butuh liburan beberapa hari sebelum menghadapi pemeriksaan polisi. Kamu tenanglah, Gita. Aku tidak membawamu ke mana-mana, kecuali ke tempat yang baik.” Namun, kali ini hatiku menolak. Ada perasaan tak enak yang tiba-tiba meliputi. Pasti ada yang tak beres dengan semua ini. Masalah foto dan buku tadi malam, apakah itu adalah … paspor dan KTP-el palsu? “Papa! Papa sudah mema
Bagian 25 Aku terus dirangkul Papa dengan cengkeraman tangan yang erat menunju pintu keluar nomor tiga lantai dua yang terhubung ke garbarata. Seorang penjaga wanita berhijab meminta tiket kami dan dia mengambil bagian yang harus disobek. “Jalan lebih cepat ya, Pak. Pesawat sudah menunggu,” katanya dengan terburu-buru. Papa pun semakin cepat melangkah dengan cengkeraman yang kuat ke lenganku. Tak ada orang lagi yang menuju pesawat, sebab kami adalah penumpang terakhir. “Papa! Lepaskan aku!” Aku masih berusaha untuk meringsek keluar dari cengkeramannya. Namun, tangan Papa begitu kuat untuk menahanku. Tubuhku terkesan diseret olehnya, sampai-sampai alas kaki yang kukenak